Teknokra.co: Di balik padatnya permukiman dan jalan menanjak di kawasan Kedamaian, aroma masa lalu masih terasa lembut berhembus. Di sinilah Situs Keratuan Balaw berdiri peninggalan sejarah yang menjadi saksi awal peradaban adat Lampung di Kota Bandar Lampung. Meski tak banyak orang tahu, kawasan ini menyimpan kisah panjang tentang keratuan tua yang pernah menancapkan pengaruhnya di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai.
Menjelang sore, suasana situs mulai sepi. Cahaya matahari jatuh miring menembus sela-sela daun, menerangi batu-batu nisan tua. Di tempat sunyi ini, waktu seolah berhenti. Situs Keratuan Balaw tetap berdiri sebagai saksi diam kejayaan leluhur Lampung menyimpan kisah, kebanggaan, sekaligus pengingat akan pentingnya menjaga akar sejarah di tengah derasnya arus modernitas. Namun sayang, lahan yang dahulu menjadi wilayah adat masyarakat Lampung Kedamaian kini berpindah tangan tanpa kejelasan.
Saat ditemui tim Teknokra pada Kamis, (23/10), Abidin, tokoh adat sekaligus keturunan marga Balaw mengatakan, bahwa Wali Kota Bandar Lampung pernah menyampaikan rencana menjadikan wilayah Keratuan Balaw sebagai cagar budaya. Namun hingga kini, janji tersebut belum juga terealisasi.
“Bunda Eva selaku Wali Kota Bandar Lampung pernah menyampaikan wilayah ini akan dijadikan daerah cagar budaya. Sementara kami punya wilayah jalan saja hanya 4×6 meter. Belum ada kelanjutannya. Saya yakin beliau masih mengingat, karena saat itu sudah terkonsep,” ujarnya.
Abidin menambahkan, hak ulayat dalam hukum adat sejatinya memiliki kekuatan yang besar dan bisa menjadi dasar perjuangan untuk merebut kembali tanah adat tersebut.
“Kami sebagai masyarakat adat, karena hak ulayat berbicara dalam tanah adat. Dalam hukum adat itu lebih kuat. Kenapa tidak jika masih ada celah untuk diperjuangkan,” tambahnya.
Sementara itu, Romli, Penyimbang Adat Kedamaian, juga menyayangkan perpindahan kepemilikan tanah yang terjadi tanpa sepengetahuan para keturunan maupun tokoh adat setempat.
“Sebenarnya kami tidak mengetahui bagaimana proses perpindahan tangan itu. Tapi tanah ini sudah berpindah sejak tahun 2000-an,” ungkapnya.
Ia berharap agar mahasiswa turut mengangkat persoalan ini agar tidak tenggelam begitu saja.
“Mahasiswa dapat mengangkat persoalan ini, dan kami akan menyambut. Permasalahannya, tanah ini bukan di tangan kita lagi, sudah berpindah tangan,” katanya.
Tak ada pemberitahuan resmi, tak ada perundingan adat, bahkan sebagian masyarakat baru mengetahui setelah tanah itu mulai dimanfaatkan oleh pihak luar. Kini, sebagian lahan yang dulu dikenal sakral sebagai kawasan Keratuan Balaw telah berubah rupa menjadi lahan pribadi.
Padahal, tanah itu bukan sekadar ruang fisik. Ia adalah simbol keberlanjutan identitas, tempat kebudayaan adat Lampung tumbuh, dan tempat para leluhur dimakamkan.
Tanah itu kini mungkin bukan lagi milik masyarakat adat di atas kertas. Namun dalam ingatan kolektif dan doa mereka, Keratuan Balaw tetap hidup menjadi simbol keberanian mempertahankan identitas di tengah arus modernitas dan ketimpangan hukum yang belum berpihak pada akar budaya.
