Teknokra.co : Suara bising dan debu proyek bangunan kini menjadi bagian dari keseharian warga Desa Tulung Balak, Kecamatan Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur. Dikelilingi oleh lima belas rumah warga, berdiri tembok tinggi yang menutupi pandangan ke arah proyek yang kini menjadi sumber keresahan.
Proyek tersebut diketahui merupakan pembangunan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) milik PT Lampung Perdana Energi Perkasa. Jaraknya hanya beberapa langkah dari rumah warga, dan hingga kini proyek tersebut belum memiliki izin resmi.
Proyek Tanpa Izin
Pembangunan SPBE ini dimulai sejak Rabu, (20/8) tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat. Warga sekitar yang tidak mengetahui aktivitas tersebut akhirnya mendatangi Ketua RT, Aji Suryadilaga, pada Selasa (26/8). Namun, Aji mengaku tidak mengetahui perihal proyek itu.
Pertemuan warga pun digelar Kamis malam (28/8), dihadiri Kepala Desa Tulung Balak, Kapolsek Batanghari Nuban, Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan perwakilan perusahaan. Namun, tidak ada penjelasan memuaskan dari pihak desa maupun perusahaan sehingga warga semakin kecewa.
Pada Kamis (11/9), perwakilan warga bertemu dengan Joko, pihak perusahaan. Ia menyebut telah meminta bantuan kepala desa untuk mensosialisasikan pembangunan SPBE kepada warga. Namun, warga menegaskan tidak pernah ada sosialisasi.
Pertemuan kembali dilakukan pada Sabtu (20/9), namun tetap tanpa hasil. Kepala desa dianggap tidak berpihak kepada warga.
Warga Melawan
Merasa tidak didengar, warga akhirnya mengirimkan surat pengaduan resmi pada Rabu (24/9) kepada sejumlah instansi, di antaranya Kecamatan Batanghari Nuban, Polsek, Polres, DPRD, Bupati, dan Koramil Lampung Timur.
Langkah ini menjadi bentuk keprihatinan sekaligus harapan agar pemerintah segera turun tangan menghentikan pembangunan yang dinilai membahayakan keselamatan warga.
Menindaklanjuti laporan tersebut, digelar pertemuan di Balai Desa Tulung Balak pada Senin, (29/9) dengan kehadiran berbagai pihak, termasuk tim PPLHDLHL, Camat Batanghari Nuban, Sekcam, DPMPTSP, DLHPKPP, Babinsa, dan penasihat hukum perusahaan.
Dari forum itu terungkap bahwa PT Lampung Perdana Energi Perkasa belum memiliki izin usaha secara resmi dan hanya terdaftar sebagai usaha mikro dengan modal sekitar Rp15 juta.
Meski sudah mendapat kejelasan, warga tetap menolak pembangunan tersebut dan mengirimkan hasil pertemuan ke instansi terkait pada (1/10).
Warga kembali mendatangi Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Lampung Timur pada Kamis, (9/10) untuk mempertanyakan tindak lanjut, namun proyek tetap berjalan di lapangan.
Diamnya Pemerintah
Setelah pemberitaan mulai ramai, Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, akhirnya memberikan tanggapan pada Senin, (20/10). Ia membenarkan bahwa perusahaan tersebut belum memiliki izin resmi dan menyatakan dukungan terhadap warga yang merasa dirugikan.
“Semua persyaratan belum ada, Pemda belum memberikan izin jadi itu perlu dipertanyakan,” ujar Ela.
Meski demikian, hingga saat ini aktivitas pembangunan di lapangan tetap berlangsung. Warga menilai pemerintah lamban mengambil tindakan tegas terhadap proyek yang jelas-jelas menyalahi aturan.
Bahaya yang Mengintai
Teknokra mengunjungi Desa Tulung Balak pada Kamis, (16/10) setelah mendapat laporan dari warga.
Rusdianto, salah satu warga yang tinggal di sebelah kiri bangunan, hanya berjarak satu langkah dari proyek SPBE. Ia mengaku ibunya mengalami trauma akibat suara bising dan harus dipindahkan sementara ke desa sebelah di Kecamatan Seputih Banyak, Kabupaten Lampung Tengah.
“Bangunan tersebut dekat dengan kamar ibu saya,” ujar Rusdianto sambil menunjuk arah proyek.
Sejak awal pembangunan, warga tidak pernah dimintai persetujuan lingkungan. Surat izin pun tidak pernah mereka lihat.
Dalam pertemuan dengan pihak perusahaan, warga mendengar kapasitas SPBE tersebut mencapai 25 ton. Berdasarkan SNI 8460:2017, jarak aman SPBE ke area publik biasanya 100–300 meter, sementara pedoman internasional API 2510A menyarankan jarak aman hingga 1.000 meter untuk area sensitif. Namun, jarak antara proyek dan rumah warga di Tulung Balak hanya beberapa meter saja.
Ancaman dan Ketakutan
Setelah pulang dari Kantor Bupati dan DPRD pada Kamis, (9/10), Rumiyati, salah satu warga, merasa mendapat ancaman. Ia menceritakan bahwa ada seseorang yang mencoba membuka pintu rumahnya pada sore hari. Orang tersebut langsung pergi menggunakan sepeda motor setelah ia menghampiri pintu.
“Aku pikir anakku yang datang,” ujarnya.
Selain itu, Gito, warga lainnya, menegaskan jika tidak ada tindak lanjut ke depan, mereka akan membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi.
“Jika Gubernur juga tidak mampu, kami akan langsung ke Presiden,” katanya.
Dalam pertemuan pada Rabu, (29/9), warga juga mendengar Kapolsek dihubungi seseorang bernama Pak Nasir yang menyebut warga sebagai provokator dengan nada kasar.
Anggoro (nama samaran) mengatakan bahwa ia mendengar langsung percakapan tersebut.
Hingga kini, warga masih berupaya mencari tahu siapa pihak di balik proyek SPBE tersebut. Mereka meyakini proyek ini dijalankan oleh orang yang memiliki pengaruh kuat, karena meski belum memiliki izin resmi, aktivitas pembangunan tetap berlanjut.
Bagi warga, perjuangan mereka bukan hanya soal menolak proyek, tetapi tentang hak untuk merasa aman di tanah tempat mereka tinggal.
