Teknokra.co : Marxisme mungkin menjadi topik yang sensitif bagi masyarakat, apalagi jejak doktrin orde baru membuat ideologi kiri tersebut menjadi sesuatu yang tabu dan mencipatakan paranoia berlebihan saat gagasannya muncul di ruang diskusi publik.
Namun meskipun demikian, gagasan Karl Marx tetap menarik untuk dipelajari, apalagi di kampus yang menjadi tempat yang membuka ruang untuk kebebasan berpikir, terlepas dari apakah civitas academica bersikap pro maupun kontra terhadap Marxisme.
Dalam diskusi komunitas pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Unila (15/8), dua dosen Fisip, Vito Frasetya dan Dodi Faedulloh mengangkat tema “Digital Labour dalam Late-Capitalism: Pergerakan Lanskap Kerja di Era Digital”yang mengkritik isu eksploitasi digital di era modern dengan menggunakan dasar berpikir Karl Marx.
Menurut Vito, perusahaan digital raksasa seperti Google dan Meta melakukan eksploitasi kepada konsumen dan kreator digital yang menggunakan layanan mereka. Misalnya, pengerukan data pribadi pengguna untuk kepentingan targeting iklan perusahaan-perusahaan tersebut.
Hal ini merugikan pengguna, Dosen Ilmu Komunikasi tersebut mengatakan jika penambangan data pengguna platform digital telah mampu menghasilkan kekayaan dan modal industri yang lebih besar dibandingkan industri pertambangan seperti minyak atau batubara. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemunculan konglomerat perusahaan digital yang mampu menggeser konglomerat dari industri lama.
“Kita tidak sadar bahwa kita dijadikan seorang Labour oleh media sosial tanpa upah sama sekali, karna mereka mengambil data yang ada pada kita saat screentime seperti saat kita me-like, komen atau men-share sesuatu, dan mereka menggunakan data itu sebagai cara memancing kita untuk terus (menambah) screentime agar platform tersebut mendapat penghasilan,” jelasnya.
Kecanggihan Kapitalisme, lanjut Vito, adalah kemampuannya untuk memanipulasi pengguna digital untuk tidak sadar akan eksploitasi tersebut, kita merasa senang-senang saja menggunakan platform seperti Instagram, Tiktok atau Google, bahkan kita cenderung meremehkan isu eksploitasi data tersebut.
“Kita secara tidak sadar di eksploitasi oleh perusahaan besar yang bergerak di bidang media sosial, oleh karna itu kita harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar,” lanjutnya.
Konten kreator digital juga merasakan imbas dari ekosistem industri digital yang memerah mereka untuk terus menghasilkan konten dengan jumlah view yang banyak, Vito mencontohkan perkembangan Youtube yang awalnya menciptakan euforia akan kemunculan menjadi media alternatif dari Industri TV yang hanya mementingkan kuantitas dan rating.
Namun, Youtube kemudian justru malah ikut mengembangkan ekosistem yang sama dengan industri TV, hal ini memunculkan kekecewaan bagi kalangan Youtuber, misalnya Da Lopez bersaudara yang kemudian menghentikan aktivitas channel Skinnyindonesian24 karena tak lagi nyaman dengan Youtube.
“YouTube sudah seperti TV. Yang dimana YouTube sekarang mengejar view yang hampir sama dengan TV yang mengejar rating untuk mendapatkan iklan,” katanya.
Sejumlah peserta diskusi yang hadir, banyak yang menanggapi, ada yang setuju dan tak setuju terhadap kritik berpikir Marxisme, bahkan ada pula yang menyinggung soal magang mahasiswa magang yang tak mendapat uang saku dari kampus dan dianggap sebagai bentuk eksploitasi tenaga kerja.
Situasi diskusi kemudian menjadi menarik, Dodi yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut, berharap agar forum semacam ini dapat terus berkembang di Fisip, sehingga dialetika dosen dan mahaiswa dapat terus hidup.
“Sebelumnya diskusi ini bukan hal yang baru karna di FISIP sendiri ada diskusi yang dinamakan selasaan tapi yang hadir bukan benar-benar ingin diskusi tetapi mengincar sertifikatnya saja,” pungkasnya.