Diskusi Senja Kritisi Militerisasi di Universitas Udayana

Foto : Teknokra/ Asnia Sundari
66 dibaca

Teknokra.co : Taman Diskusi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) menggelar Diskusi Senja bertajuk “Militerisasi yang Terjadi di Kampus Udayana” di belakang Gedung Serbaguna (GSG) Unila, pada Jumat (18/04).

Kegiatan ini menyoroti kerja sama antara pihak rektorat Universitas Udayana dengan militer yang dinilai sebagai ancaman terhadap kebebasan akademik dan berekspresi di lingkungan kampus. Kehadiran militer di ruang akademik dipandang dapat membatasi aktivitas mahasiswa, terutama dalam diskusi dan gerakan mahasiswa.

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang belum lama ini disahkan turut menjadi fokus pembahasan. Revisi tersebut dinilai membuka ruang bagi militer untuk terlibat dalam kegiatan sipil, termasuk di lingkungan perguruan tinggi.

Mega Aulia Putri, perwakilan dari Forum Literatur sekaligus pemantik diskusi, menyampaikan bahwa revisi UU TNI memberi peluang keterlibatan militer dalam berbagai sektor sipil, termasuk pendidikan tinggi.

“Revisi ini memungkinkan militer terlibat di banyak bidang sipil, termasuk pendidikan tinggi. Kita bisa lihat contohnya di Universitas Udayana yang menjalin kerja sama dengan pihak militer,” sampainya.

Mega juga menyoroti keberadaan 14 kementerian yang kini dapat diisi oleh unsur militer. Menurutnya, hal tersebut menggeser prinsip meritokrasi, yakni sistem yang menempatkan individu berdasarkan keahlian dan kompetensi.

“Jika posisi strategis seperti ekonomi atau pangan diisi oleh orang yang tidak memiliki latar belakang yang sesuai, tentu akan berdampak buruk. Bayangkan jika orang tersebut tidak memahami ekonomi mikro maupun makro, tetapi tetap diberi kewenangan mengatur kebijakan negara,” jelasnya.

Ia juga menuturkan keterlibatan militer dalam sektor sipil dapat mempersempit ruang demokrasi dan berpotensi membungkam gerakan mahasiswa yang bersifat kritis terhadap pemerintah.

“Berbagai gerakan masyarakat, termasuk dari kalangan mahasiswa, yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan yang cenderung otoriter, berpotensi untuk dibungkam, salah satunya melalui keterlibatan militer dalam institusi sipil seperti kampus,” tuturnya.

Peserta diskusi lainnya, Shanin, menyoroti aturan jam malam yang berlaku di Unila. Menurutnya, beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) terpaksa ditutup akibat konflik internal antarjurusan. Ia juga mengungkapkan bahwa sekretariat UKM yang dahulu berada dekat rektorat, kini dipindahkan ke area parkir.

“Dulu sekretariat UKM berada tepat di samping rektorat. Namun, dalam tiga tahun terakhir, gedungnya dipindahkan ke lokasi yang jauh, sehingga kami tidak bisa lagi mengawasi langsung aktivitas rektorat,” turutnya.

Branden Jaya Tivantara (Sosiologi ’21) turut menanggapi isu bela negara yang menurutnya kerap disalahpahami. Ia berharap pemerintah tidak memiliki pandangan sempit mengenai konsep bela negara.

“Bela negara tidak selalu berarti ikut perang. Hal sederhana seperti belajar dan aktif berorganisasi juga merupakan bentuk bela negara jika dilakukan demi kebaikan bangsa,” harapnya.

Ia juga menyinggung ketimpangan sosial yang masih terjadi di masyarakat, meskipun banyak yang merasa kehidupannya baik-baik saja.

“Banyak orang merasa sudah merdeka hanya karena bisa makan dan bernapas, padahal mereka tidak menyadari sedang dikerdilkan. Kita membayar pajak, tetapi tidak tahu dialokasikan ke mana,” singgungnya.

Sementara itu, Wahyu Saputra (Pendidikan Matematika ’22) mengkritisi kehadiran militer di kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berdiskusi dan menyampaikan gagasan.

“Kampus seharusnya menjadi tempat paling nyaman untuk berdialektika. Tidak semestinya ide dan gagasan mahasiswa dihadapkan dengan pihak yang dilatih menggunakan senjata,” kritiknya.

Ia juga menyoroti proses pemilihan rektor yang menurutnya telah dikomersialisasikan akibat campur tangan kementerian.

“Sebanyak 35 persen suara pemilihan rektor berasal dari kementerian. Ini bisa menjadi alasan untuk mengendalikan rektor. Jika rektor dipilih kementerian, maka ia akan tunduk pada kepentingan mereka,” tambahnya.

Sultan, mahasiswa Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) sekaligus anggota komunitas Sindikat Baca, juga menyampaikan pandangannya. Ia menyoroti kampus yang kini justru menjadi tempat konflik antarmahasiswa, bukan ruang ilmiah yang mendukung perkembangan intelektual.

“Alih-alih menjadi ruang ilmiah, kampus sekarang justru jadi tempat pertikaian antarmahasiswa. Mengapa itu terjadi? Karena tidak ada agenda produktif yang benar-benar dijalankan mahasiswa,” jelasnya.

Diskusi Senja menjadi ruang penting bagi mahasiswa dalam menyampaikan pandangan kritis terhadap kebijakan negara dan kampus, sekaligus memperkuat kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kebebasan akademik dan ruang sipil yang demokratis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + thirteen =