teknokra.co: Gemar beropini menggunakan akun palsu marak di media sosial. Akun palsu ini mudah dikenali mulai dari unggahan yang kosong, nama user yang nyeleneh sampai jumlah pengikuti yang sedikit. Akun palsu justru menunjukan tabiat asli pemilik akun tersebut. Sebab, akun palsu digunakan untuk menjadi diri sendiri.
Hal ini berbanding terbalik dengan akun aslinya. Akun asli digunakan untuk membangun citra baik. Seperti mengunggah foto estetik lengkap dengan caption serupa motivator.
Mereka tidak mau mengambil resiko akun asli akan diserang, atau sampai didatangi orang karena komentarnya yang tidak beradab. Dampak lainnya, jumlah pengikut berkurang sampai citra baiknya tercoreng.
Melalui akun palsu, pemilik akun merasa bisa menjaga citra baik yang telah dibangun. Mereka merasa identitas diri aslinya terlindungi. Dengan begitu, bisa bebas berbicara di media sosial.
Kebebasan berbicara ini tidak dibarengi dengan keberanian menunjukan diri dalam mengungkapkan pendapat. Alih-alih lantang bersuara dengan identitas diri, akun palsu digunakan untuk melakukan pertengkaran, menghina, merundung, mencaci, memojokan, dan merendahkan kelompok atau individu yang berseberangan.
Di Indonesia, ditemukan data mengenai perundungan siber yang merupakan hasil survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) dan Puskakom (Pusat Kajian Komunikasi) UI (Universitas Indonesia) (APJII 2015). Survei terhadap dua ribu pengguna internet di 42 kota di Indonesia ini dilakukan pada November 2014 sampai Februari 2015. Berdasarkan survei tersebut, ditemukan 7,2 persen responden menyatakan diganggu oleh akun anonim. Hal ini berarti ada 144 orang yang mengalami perundungan siber dalam kurun waktu tiga bulan.
Pengguna akun palsu bersemangat berkelahi di kolom komentar (flaming), dengan nada-nada yang agresif serta kata-kata vulgar, dan seringkali hanya didasarkan pada motif memancing keributan daripada berupaya mencapai pemahaman bersama.
Konsekuensinya, dapat memicu pengguna lain berhak menimpalinya secara agresif, bak lingkaran setan.
Contoh paling dekat adalah sengketa Pemilihan Raya (Pemira) 2020. Pertengkaran ini antara pembela pansus dan pendukung bakal calon presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Wakil Presiden BEM yang merasa dirugikan. Pendukung pansus merasa pansus sudah melakukan prosedur Pemira dengan benar. Lain halnya dengan pendukung Dua pasang bakal calon (balon) Presiden Mahasiswa-Wakil Presiden Mahasiswa (Presma-Wapresma) BEM Universitas Lampung (Unila) 2020 atas nama Septian Adi P.- Claudia N.D.P.H dan M. Julianto – Agung yang kecewa dengan kinerja pansus.
Pertengkaran daring yang sama terjadi diantara penggemar Kpop dengan pembenci Kpop. Penggemar Kpop rela membela idolanya ketika ada yang menghina. Lain halnya dengan pembenci Kpop, mereka dengan mudah mengatakan semua idola Kpop melakukan operasi plastik.
Ironis, kemampuan beropini yang membara ini tidak selaras dengan kemampuan menulis yang mumpuni. Ditambah, keberanian menunjukan jati diri. Penyebabnya adalah orang Indonesia yang gemar nyinyir di media sosial. Berdasarkan data wearesocial per Januari 2017 mengungkapkan, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal nyinyir di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Padahal opini-opini tersebut yang didukung data dapat dimuat di media. Lalu, tesis tersebut dibalas dengan opini, menjadi antitesis. Maka akan terbentuk diskusi dialektika yang substansial.
Bukan komentar biadab dibalas dengan komentar biadab. Melainkan, tulisan dibalas dengan tulisan. Sehingga, akan ada keseimbangan opini. Dengan begitu, kita bisa melihat berbagai sudut pandang.
Penulis Mitha Setiani Asih
Penulis merupakan pemimpin redaksi UKPM Teknokra Unila. Seorang jurnalis kampus yang menyukai isu lingkungan dan perempuan. Salah satu alumni Jurnalisme Keberagaman yang diselenggarakan SEJUK. Keinginan perempuan yang bercita-cita menjadi penulis ini, akhirnya tercapai, menulis sebuah buku.