Opini  

INDONESIA sebagai Poros Maritim Dunia Dalam kacamata ekonomi

289 dibaca

Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu”, (Bung Karno ; Munas Maritim 1963)

 

Konsep “Poros Maritim Dunia” Pemerintahan Jokowi-JK kini mengglobal karena dipaparkan langsung oleh Presiden RI di beberapa forum global seperti APEC, East Asis Summit dan G-20. Konsep ini kelanjutan “Pendulum Nusantara” SBY pada program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang telah dihentikan oleh Jokowi-JK. Inti Pendulum Nusantara adalah sistem transportasi barang menggunakan kapal ukuran besar (kapasitas 3000-4000 TEU) yang melewati sebuah jalur laut utama dari ujung Barat hingga ujung Timur Indonesia secara rutin seperti gerakan pendulum ketika digoyangkan, maka program ini disebut “Pendulum Nusantara”.


Sedangkan Tol Laut, istilah lain Poros Maritim Dunia, awal gerakan justru kebalikan Pendulum Nusantara yaitu dari Timur bergerak ke Barat, kemudian mengayun kembali dari Barat ke Timur, dst. Tak ada beda sama sekali. Berpola sama seperti “pendulum” bergoyang. Hakiki kedua konsep tadi merupakan strategi pemerintah dalam rangka mengurangi atau kalau perlu menghilangkan disparitas harga barang dan jasa yang cukup mencolok antara wilayah Barat terutama Jawa, Sumatera, dll dengan wilayah Timur seperti Maluku, Papua, dan lainnya.

Potensi perikanan laut Indonesia yang cukup besar perlu dimanfaatkan secara efisien untuk dapat meningkatkan devisa dari sektor kelautan. Namun, menurunnya jumlah populasi ikan di laut akibat pencemaran, peningkatan keasaman air laut, dan over eksploitasi serta diikuti dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM) menjadikan hasil tangkapan ikan dan pendapatan nelayan Indonesia menurun.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura sendiri pada tahun 2001-2013 mencapai Rp520 trilliun. Angka yang sangat fantastis walau perlu diuji kesahihannya, namun secara umum kerugian akibat illegal fishing di perairan Indonesia oleh negara lain terbilang sangat besar. Untuk itu diperlukan upaya pengawasan yang lebih efisien dan maskimal sehingga bisa dibayangkan potensi perikanan yang bisa diraup Indonesia sebagai devisa negara sangat fantastis.

Indonesia adalah negara kelautan yang ditaburi oleh sekitar 17.504 pulau dengan lokasi yang sangat strategis. Kapal-kapal yang mengangkut barang barang yang diperdagangkan di kawasan Asia-Pasifik tersebut melintasi tiga selat kita, yakni Selat Lombok, Selat Makassar, dan Selat Malaka.Mantan Menteri Perikanan Rokhmin Dahuri memperkirakan nilai barang yang melintasi kawasan kita mencapai USD 1.500 triliun per tahun. Ini kira-kira setara dengan Rp 17.250 biliun, atau hampir 10.000 kali lipat dari APBN kita untuk tahun 2014.

Presiden RI, Joko Widodo menyatakan, Indonesia menyadari sebuah trasformasi besar sedang terjadi di abad ke-21 ini. Pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur.Negara-negara Asia sedang bangkit. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh

persen per tahun, dengan total GDP sekitar USD40 triliun, kawasan Asia Timur merupakan kawasan paling dinamis secara ekonomi. Sekitar 40

persen perdagangan dunia ada di kawasan ini.

Permasalahannya adalah kurangnya komitmen dari para pemimpin kita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus mampu membuat kebijakan pembangunan yang berorientasi dalam bidang kelautan dan meningkatkan anggaran APBN untuk bidang kelautan sehingga infrastruktur di daerah pesisir dan antarpulau, serta meningkatkan kualitas SDM bidang kelautan, kualitas pelabuhan menjadi bertaraf internasional, pengawasan dan produksi perikanan, penelitian dan kesehatan lingkungan laut, serta pengembangan serta pemanfaatan teknologi kelautan.

Oleh : Dany Afriandro A.P

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 4 =