Jilbab Bukan Sekedar Penutup Aurat, Melainkan Identitasku Sebagai Muslimah

Jilbab Bukan Sekedar Penutup Aurat, Melainkan Identitasku Sebagai Muslimah
Jilbab Bukan Sekedar Penutup Aurat, Melainkan Identitasku Sebagai Muslimah. Sumber : Pinterest
3,785 dibaca

teknokra.co: Suatu kali saya menemukan postingan yang mengganjal dari salah satu akun ukhti bercadar yang dalam tulisannya itu menyatakan bahwa bila kamu telah berjilbab, selamat berarti kamu sudah menjauh dari keharaman. Dan bila kamu telah berjilbab, sekali lagi selamat bahwa kamu telah lebih berharga dari sampah yang dipijak dan lebih mahal dari permata.

Saya lantas berpikir bagaimana seorang muslimah yang belum berjilbab kemudian membaca pernyataan tersebut? Wahhh, kalimat-kalimat dakwah yang galak dan panas seperti ini rasanya sangat menakutkan bila didengar atau dibaca oleh telinga-telinga yang belum siap. Bukannya mendekatkan hidayah, malah memepersempit kesempatan untuk berdakwah.

Kita ini hidup dinaungi Bhineka Tunggal Ika. Kita nggak mungkin menyampaikan pemikiran yang kita dan sebagian orang yakini benar tetapi justru melukai sebagian yang lain. Lalu dimana letak jilbab yang kita pakai itu?

Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah dikutip oleh Atik Wartini dalam studinya yang berjudul Nalar Ijtihad Jilbab dalam Pandangan M. Quraish Shihab menyatakan bahwa jilbab adalah sejenis pakaian yang menutup pelipis dan hidung meskipun kedua mata pemakainya terlihat namun tetap menutup dada hingga bagian wajah.

Sedangkan ulama lainnya seperti Al Qurtubi menyatakan bahwa jilbab adalah baju kurung longgar dari selendang atau kerudung.

Ulama-ulama kontemporer di zaman modern seperti sekarang ini menggunakan beberapa ayat al-Quran dan hadist sebagai sumber hukum yang berkaitan dengan aurat perempuan seperti yang tertulis dalam QS, An-Nuur (24) : 31.

“Katakanlah kepada perempuan yang beriman; agar mereka menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya
Sebagai seorang muslimah, saya membenarkan bahwa jilbab adalah fitrah bagi perempuan muslim berikut kewajiban menutup aurat dan berpakaian sesuai syariat.”

Namun, pada konteks pernyataan tersebut saya justru teringat dengan Kalis Mardiasih dalam salah satu video YouTube-nya tentang perspektif akun-akun hijrah di media sosial khususnya Instagram yang selalu menganggap rendah orang lain yang berbeda dengan mereka. Menjadikan perempuan hanya sebagai subjek kesalahan, muara dari segala dosa, perempuan adalah sumber fitnah, dan perempuan selalu dipandang hanya sebagai objek seksualitas saja.

Padahal pergerakan perempuan khususnya mulsimah, nggak hanya dalam hal yang itu-itu saja. Banyak sekali kemajuan-kemajuan hari ini yang dilakukan oleh muslimah. Muslimah yang menjadi guru, muslimah yang menjadi pengamat politik, muslimah yang meliput berita, muslimah yang menjadi pemimpin dalam sebuah perusahaan, hingga dokter-dokter muslimah yang sedang berjuang di garda terdepan untuk menangani Covid-19 di negeri tercinta ini.

Kita sejatinya tidak bisa melihat suatu kebaikan atau keburukan pada diri seseorang, apalagi untuk menentukannya. Bila sebagai muslimah yang berjilbab lantas memandang rendah muslimah lain yang belum berjilbab, sepertinya ada yang salah dengan pemahaman kita mengenai tafsir agama.

Jilbab bukanlah kasta yang lantas dapat merendahkan derajat muslimah yang lainnya. Barangkali mereka yang kita pandang sebelah mata justru lebih diperhatikan Allah SWT atas ketulusannya menerima segala perbedaan, barangkali mereka setiap malamnya selalu mengingat Allah SWT dalam sujud-sujud di setiap tahajud, barangkali setiap geraknya mereka selalu mengucapkan dzikir memuji nama Allah dan Rasulullah. Kita sejatinya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana hubungan mereka dengan Allah SWT.

Menurutku, jilbab bukan hanya sebatas benda yang menjutai panjang hingga menutup dada. Tapi lebih dari itu, justru jilbab adalah identitas yang bila kita memutuskan untuk memakainya, maka saat itu juga kita bertanggung jawab bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga untuk Islam.

Saya yakin bahwa keimanan kita tidak hanya dihitung dari seberapa panjang jilbab itu menjuntai tapi soal bagaimana pengaplikasian jilbab itu pada kehidupan sehari-hari. Pada hubungan dengan sesama manusia, juga hubungan kita dengan sesama perempuan walaupun mempuyai banyak perbedaan.

Bagaimana orang lain akan tertarik pada Islam jika segala yang kita sampaikan asal-asalan? Bicara tanpa dasar emang nggak boleh, tapi bicara tanpa ngajeni orang lain justru nggak akan berguna sama sekali. Maka dari itu, esensi berdakwah adalah berperilaku baik bukan menunjukkan bahwa yang seperti kita adalah yang paling baik.

Opini: Nur Afifah

Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2018

 

Exit mobile version