Teknokra.co: Usulan Menteri Sosial Syaifullah Yusuf yang mengajukan Soeharto sebagai kandidat penerima gelar Pahlawan Nasional memicu gelombang protes dari pegiat hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat sipil. Salah satunya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung yang menggelar konferensi pers di kantor mereka pada Senin (3/11).
Terdapat beberapa kandidat calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang akan disahkan pada peringatan Hari Pahlawan (10/11). Salah satunya adalah Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, yang disandingkan dengan sejumlah tokoh lain seperti Marsinah. Usulan tersebut menuai penolakan karena dinilai tidak pantas mengingat rekam jejak pelanggaran HAM pada masa Orde Baru.
Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menegaskan sikap penolakan terhadap pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
“Kami, koalisi masyarakat sipil di Lampung yang terdiri dari berbagai lembaga, NGO, kelompok mahasiswa pecinta alam, dan kolektif gerakan masyarakat sipil, menyatakan dengan tegas penolakan terhadap pemberian gelar tanda jasa pahlawan kepada Soeharto,” ujarnya.
Ia menilai pengusulan ini sebagai upaya “pemutihan sejarah” atas berbagai pelanggaran selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto.
Senada dengan itu, Deri Nugraha dari Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung juga menolak wacana tersebut.
“Kami sepakat menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto karena pada masa Orde Baru adalah masa paling kelam bagi pers,” ucapnya.
Deri menyinggung kasus pembunuhan jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) yang hingga kini belum terungkap dalangnya, serta menyebut penyematan gelar ini akan menciptakan paradoks sejarah.
Penolakan juga disuarakan oleh perwakilan Solidaritas Perempuan (SP) yang menyoroti pelanggaran HAM berat pada masa Soeharto.
“Pembantaian 1965, pembubaran organisasi, hingga kekerasan seksual massal pada 1998 harus terus diingat, bukan dilupakan dengan pemberian gelar pahlawan,” tegasnya.
Perwakilan SP menilai rezim Soeharto telah menorehkan masa kelam bagi bangsa Indonesia.
“Kondisi kelam itu adalah wajah Indonesia di titik terendah. Maka, penyematan gelar pahlawan kepada Soeharto justru mencoreng nilai kemanusiaan,” tambahnya.
Perwakilan Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra yang turut hadir juga menyampaikan keresahan terhadap upaya manipulasi sejarah.
“Belakangan ini, Menteri kita, Fadli Zon, mengotak-atik buku sejarah nasional yang seharusnya terbit pada 17 Agustus, tetapi hingga kini belum jelas. Banyak tindakan Soeharto justru dihapus dari narasi sejarah,” ujarnya.
Ia menyinggung tragedi UBL Berdarah yang merenggut dua nyawa mahasiswa Universitas Lampung sebagai bukti bahwa luka Orde Baru belum sepenuhnya sembuh. Menurutnya, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto akan mencoreng nama baik bangsa.
Sementara itu, Irfan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung juga menyuarakan penolakan serupa.
“Tidak ada alasan logis untuk mengangkat seseorang yang digulingkan melalui reformasi menjadi pahlawan nasional,” pungkasnya.
