Teknokra.co: Gelapnya arah demokrasi dan hilangnya kedaulatan rakyat menjadi sorotan dalam Aksi Kamisan bertajuk “Krisis Kedaulatan dan Demokrasi di Bawah Satu Tahun Rezim Pemerintahan Oligarki-Militeristik Prabowo – Gibran” di Tugu Adipura, Bandar Lampung pada Kamis, (30/10) pukul 16.00 WIB.
Aksi ini dilakukan dua hari setelah peringatan Hari Sumpah Pemuda, bertepatan dengan satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Momen ini menjadi ruang refleksi untuk menilai kembali peran pemuda dan arah demokrasi Indonesia di tengah menguatnya praktik kekuasaan yang dinilai elitis dan represif.
Kegiatan diikuti oleh Lembaga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Forum Literatur, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, serta berbagai mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Lampung. Dalam kegiatan ini turut diselenggarakan Kuliah Jalanan bersama Hendri Sialoho, jurnalis media Konsentris, sebagai pembicara utama.
Dalam pemaparannya, Hendri menilai gagasan “kedaulatan rakyat” kini telah kehilangan makna. Ia menyebut, selama setahun terakhir rakyat tidak memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah kebijakan negara.
“Kalau kedaulatan masih di tangan rakyat, mestinya suara rakyat didengar. Tapi faktanya, berbagai kebijakan yang ditolak publik tetap disahkan,” ujarnya.
Menurutnya, struktur kekuasaan saat ini semakin memperkuat dominasi oligarki dan militer dalam proses politik dan ekonomi nasional.
“Kekuasaan hari ini bukan lagi kekuasaan sipil. Kita hidup di bawah sistem yang dikuasai oleh oligarki ekonomi dan militer yang punya kekuatan koersif. Mereka tidak takut pada kritik rakyat,” tambahnya.
Hendri menilai situasi tersebut sebagai tanda kemunduran demokrasi. Ia mencontohkan gerakan besar seperti Reformasi Dikorupsi dan penolakan terhadap Omnibus Law yang belum menghasilkan perubahan substansial.
“Dari 2019 sampai 2025, semua gerakan mahasiswa dan rakyat gagal menggagalkan satu pun kebijakan bermasalah. Ini bukan karena kurang marah, tapi karena kedaulatan sudah tidak di tangan rakyat,” ujarnya.
Ia juga menyoroti menurunnya militansi gerakan mahasiswa yang kini dianggap kehilangan arah dan mudah terpecah oleh kepentingan politik.
“Gerakan anak muda hari ini bukan lagi gerakan moral. Banyak yang bisa dipengaruhi senioritas, dekat dengan pejabat, bahkan bangga bisa foto bersama jenderal,” kritiknya.
Hendri menambahkan, lemahnya kapasitas intelektual dan emosional mahasiswa turut menghambat efektivitas gerakan sosial.
“Banyak mahasiswa sekarang minim literasi dan mudah baper dalam forum. Dalam dialektika, perbedaan pendapat itu biasa, tapi sekarang yang muncul justru adu perasaan,” jelasnya.
Ia mengaku pesimis terhadap gerakan mahasiswa saat ini, namun masih melihat potensi perubahan dari rakyat kecil yang memperjuangkan keadilan secara alami. Ia mencontohkan aksi warga di Lampung Tengah yang memprotes dugaan penyelewengan bantuan sosial hingga berujung pada konflik.
“Kalau yang dibunuh itu aktivis besar, pasti viral. Tapi karena dia rakyat kecil, suaranya sepi,” ucapnya.
Hendri menilai demokrasi Indonesia masih memiliki standar ganda.
“Kalau aktivis besar berjuang dianggap heroik, tapi kalau rakyat kecil bersuara dianggap rusuh,” ujarnya.
Sementara itu, Puja, mahasiswi Universitas Lampung yang turut menjadi peserta aksi, menyatakan bahwa tahun pertama pemerintahan Prabowo – Gibran telah memperlihatkan kemerosotan di berbagai sektor, termasuk ekonomi, pendidikan, dan kebebasan berpendapat.
“Kalau masih ada anak muda yang tidak marah melihat kondisi negara sekarang, saya tidak tahu lagi. Dari ekonomi sampai demokrasi, semua makin rusak,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penahanan terhadap pengunjuk rasa.
“Hampir 900 orang masih ditahan karena bersuara. Pemerintah seolah tak takut lagi dengan kritik rakyat,” tambahnya.
Puja menilai Aksi Kamisan menjadi ruang penting bagi masyarakat untuk menjaga semangat perlawanan di tengah tekanan politik.
“Kita butuh tempat seperti ini untuk marah bersama, berpikir bersama, dan tetap percaya bahwa kita masih bisa melawan,” katanya.
Dalam wawancara usai kuliah jalanan, Hendri menegaskan bahwa kedaulatan rakyat kini bergeser ke tangan elite politik dan ekonomi, yang tampak dari berbagai kebijakan publik yang disahkan meski mendapat penolakan luas.
“Problem besar kita adalah penyelenggaraan kekuasaan yang menindas posisi rakyat. Jurnalisme harus menatap tajam ke arah kekuasaan, karena di sanalah sumber banyak persoalan sosial bermula,” ujarnya.
Ia mencontohkan dampak kebijakan seperti penggusuran lahan petani, penurunan kualitas hidup, dan eksploitasi tenaga kerja melalui Omnibus Law Cipta Kerja. Hendri juga mengingatkan peran media sebagai pengawas moral terhadap praktik kekuasaan.
“Jika media berdiam diri, rakyat kehilangan mata; jika mahasiswa berdiam diri, rakyat kehilangan suara,” katanya.
Koordinator lapangan aksi, Jendi Tebai menyampaikan, bahwa pelanggaran HAM, khususnya di Tanah Papua, masih menjadi masalah mendesak yang belum terselesaikan.
“Masalah paling serius adalah pelanggaran HAM di Papua. Tanah mereka dirampas, sumber daya dicuri, dan kekerasan masih terus terjadi,” ujarnya.
Jendi menegaskan pentingnya Aksi Kamisan sebagai ruang solidaritas dan edukasi publik mengenai isu kemanusiaan di berbagai daerah.
Peserta aksi lainnya, Raden Leo menilai, kegiatan tersebut penting untuk menjaga ingatan kolektif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Aksi ini penting agar peristiwa kelam tidak terulang. Semoga aksi ini terus berlanjut dan mendapat perhatian serius dari pemerintah,” ujarnya.
Aksi Kamisan kali ini juga memperkenalkan pasar gratis sebagai bentuk solidaritas terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit. Namun, pelaksanaan aksi sempat terhambat karena kurangnya dukungan pengamanan dan pengaturan lalu lintas dari pihak kepolisian.
Asep Suryana dari Forum Literatur menjelaskan, bahwa surat pemberitahuan telah disampaikan tiga hari sebelumnya, namun tidak direspons dengan baik.
“Kami sudah penuhi ketentuan, tapi di hari pelaksanaan polisi tidak membantu. Mobil masih lalu-lalang di tengah aksi,” ujarnya.
Puja menambahkan bahwa pasar gratis tersebut terbuka untuk seluruh masyarakat.
“Kami mengumumkan seminggu sebelumnya agar siapa pun bisa berkontribusi baik pakaian, buku, sayur, atau obat-obatan. Ini aksi bersama tanpa batas organisasi,” pungkasnya.
