Kisah Sedih Batua, Harimau Korban Jerat

491 dibaca

teknokra.co: Sekitar pukul empat pagi, seekor harimau sumatera tiba di Lembaga Konservasi (LK) Satwa Lembah Hijau pada 4 Juli 2019. Harimau tersebut dititipkan di LK Lembah Hjau, karena menjadi korban jerat. Empat jari pada kaki kanan bagian depan sudah terinfeksi akut. Sehingga, tindakan medis guna menyelamatkannya dengan mengamputasi kaki kanan bagian depan tersebut pada 5 Juli 2019.

Harimau sumatera tersebut bernama Kyay Batua.  Kyay yang berarti kakak. Sedangkan Batua  akronim dari Batu Ampar. Batu Ampar merupakan wilayah ditemukan Batua di Batu Ampar, Suoh, Lampung Barat.

Rasyid Ibransyah, Tim Medis LK Lembah Hijau mengatakan Batua bukan pertama kali menjadi korban jerat. Menurutnya, berdasarkan pantauan kamera trap milik WWF (The World Wide Fund for Nature) pada bulan mei 2019. Batua terpantau masih terpasang jerat sling dipinggang.

Bekas jerat sling dipinggang tersebut, menyebabkan cacat permanen. Sehingga, bagian pinggang Batua mengecil dan tidak berkembang.

“Kita belum liat organ dalamnya karena belum pernah di rontgen. Belum tahu dampak sling pada pinggang membuat organ bagian dalam terjadi kelainan bentuk atau fungsi atau tidak,” ujarnya.

Selain itu, Rasyid menuturkan Batua memiliki tiga lubang yang diduga akibat peluru. Lubang tersebut berada di pangkal ekor, pangkal leher dan ketiak kaki kanan bagian depan.

“Kita belum bisa pastikan itu peluru, karena kita gak punya metal detector. Jadi, kita gak bisa pastiin kalau itu peluru. Cuman menurut bentuknya, kalau itu luka bentuknya tidak bulat bagus,” tutur Rasyid.

Ia mengatakan hasil general check up dan pengambilan semen sperma Batua menyatakan Batua Sehat. Namun, semen sperma batua tidak dihasilkan. Penyebabnya, belum dipastikan karena masih ada tahapan berikutnya.

“Kondisi batua seratus persen sudah sehat. Luka amputasinya sudah tertutup. Sudah normal kembali,” katanya.

Saat ini, harimau yang berusia 7 tahun tersebut, tinggal di kadang yang berukuran 30 x 30 meter. Kandang tersebut terbagi menjadi enam diantaranya kandang tidur, kandang jemur, kandang breeding, kandang beranak, kandang jepit, dan kandang pengobatan.

Menurut Rasyid, saat pertama kali keluar kandang, Batua berenang. Harimau tersebut juga mencoba mencakar-cakar pohon.  

“Kalau dia akan dilepasliarkan lagi, jangan sampai ke empat kalinya menjadi korban pemburu,” ucapnya.

M. Irwan Nasution, Komisaris Utama LK Lembah Hijau mengatakan akan mendatangkan betina harimau sumatera dari Kebun Binatang Tarug Solo untuk dikawinkan dengan Batua.

“Anak-anak Unila (Universitas Lampung) kan perlu (Penelitian tentang harimau), kalau ada yang lebih dekat kan lebih mudah. Jadi manfaatnya untuk penelitian ada, edukasi ada, konservasi ada. Cita-cita kita semua menjaga kelestarian,” kata Irwan saat ditemui di LK Lembah Hijau (13/08).

Pelepasliaran Batua Butuh Kajian

Pelepasliaran Batua ke habitatnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) masih butuh kajian. Hal tersebut disampaikan Hifzon Zawahiri, Kasi SKW III Lampung BKSDA Bengkulu saat ditemui diruangannya (12/08).Kajian untuk pelepasliaran Batua mencakup aspek pakan, gangguan masyarakat, kesiapan hutan, sampai uji cek organ tubuhnya.  

Ia mengatakan tidak ada gangguan kesehatan pada Batua. Tetapi, daya tarung dan kekuatannya menurun.

“Dia (Batua) satwa yang selama ini kita beri makan ayam, kelinci atau hewan yang bergerak dia masih susah untuk beradaptasi kelincahannya. Karena kondisi kaki sebelah kanan yang diamputasi,” ujarnya.

Menurut Hifzon, jika Batua dilepasliarkan dalam kondisi menurunnya daya tarung. Batua kemungkinan bisa mati. Sebab, harimau merupakan hewan teritorial.

“kalo dia (Batua) dilepas tidak ada daya tarungnya, percuma juga. Bisa mati dia. Karena harimau ini teritorial. Gak bisa ada dua harimau jantan di daerah itu. Berantem mereka, apalagi ada betinanya mereka akan menunjukan sisi kekuasaannya,” jelas Hifzon.

Hifzon menuturkan guna mencegah terjadinya korban pemburuan kembali terjadi. BKSDA melakukan sosialisasi pencegahan perdagangan tubuh-tubuh satwa liar ke masyarakat sekitar kawasan.

Kepala Balai Besar TNBBS, Ismanto mengatakan telah memasang ratusan kamera trap yang disebar di TNBBS guna mencegah terjadi perburuan liar.TNBBS juga melakukan patroli mandiri. Selain itu, TNBBS juga melakukan operasi jerat yang dipasang oleh masyarakat tidak bertanggung jawab. Hal tersebut disampaikan Ismanto dalam Coffee Morning Live Talkshow Global Tiger Day 2020 yang mengangkat tema “17 Agustus, Harimau, dan Kemitraan Konservasi” pada Selasa, (18/08).

“Kita harap satwa dan manusia saling berbagi ruang. Kalau siang manusia yang beraktivitas, malam biar satwa yang beraktivitas agar tidak saling mengganggu,” kata Ismanto.

Prof. Dr. Gono Semiadi, Bidang Zoologi PUsat Penelitian Biologi LIPI, Peneliti Senior Bidang Mamalia menuturkan seekor satwa liar yang cacat karena prilaku manusia sebanyak tiga kali berarti tempat tinggal satwa liar sudah tidak aman. Selain itu, Harimau merupakan hewan karnivora yang teritorial.

Oleh sebab itu, aspek sosial kemampuan Batua membela diri dari serangan sesama karnivora perlu diperhatikan. Lalu, kemampuan batua dalam mencari mangsa juga menjadi aspek yang perlu dikaji.

“Yang terpenting bagaimana perilakunya terhadap manusia setelah beberapa kali disakiti.  Jadi sehat secara fisik luar harus juga dilihat sehat secara kejiwaan untuk kemampuan hidup dan bersosial,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya rencana pengawinan Batua juga belum bisa dilakukan. Sebab, belum diketahui dampak kecacatannya berpengaruh tidak pada potensi reproduksi.

“Secara teori cenderung lebih meningkat untuk dilakukan kawin terkontrol. Daripada, kemungkinan di alam yang potensi meningkatkan populasinya semakin rendah karena kondisinya. Tidak ada yang tahu pasti bila dilepas apakah akan banyak mengawinkan,” ujarnya.

Konflik Manusia dan Harimau

Saat dimintai keterangan melalui sambungan telpon terkait perburuan harimau sumatera di TNBBS. Ismanto, Kepala Balai Besar TNNBBS tidak bersedia diwawancarai (14/08).

Irham, Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan SKW III Lampung BKSDA Bengkulu mengatakan masih terjadi konflik Harimau Sumatera dengan manusia di kecamatan Pematang Sawah, Tanggamus pada bulan April dan Mei lalu.

Harimau Sumatera keluar kawasan untuk mencari mangsa. Kemudian, Harimau tersebut memakan hewan ternak milik warga. Selanjutnya, BKSDA bersama TNBBS, Lembaga konservasi bersifat khusus dan pusat rehabilitasi satwa harimau melakukan kolaborasi untuk mengatasi konflik tersebut.

“Wilayah habitat harimau sumatera terganggu. Terjadi deforestasi oleh perambah-perambah. Memaksa harimau keluar kawasan untuk mencari makan,” ujar Irham.

Butuh Perisai Baru untuk Cegah Pemburu

Dwi N. Adhiasto, Wildlife Trafficking Spesialist, Wildlife Crime Unit (WCU) mengatakan TNBBS menjadi wilayah yang diburu karena masih terdapat populasi harimau sumatera. Sebab,harimau sumatera menjadi komoditas yang memiliki nilai jual.

Bagian tubuh yang dijual belikan diantaranya kulit, taring, kumis, lutut, dan kepala. Kulit harimau biasanya dijadikan karpet yang dipasang di dinding. Banyak orang yang masih mempercayai kumis harimau diletakan di dalam dompet bisa menambah wibawa seseorang. Kemudian, kepala harimau kerap dijadikan reog.

Ia mengatakan masih banyak jerat yang beredar di masyarakat. Jerat yang kerap dipakai pemburu diantaranya, besi, kabel kopling, dan nilon. Masalahnya, jerat tersebut dapat dibeli dengan harga murah dan tidak ada peraturan yang mengatur penggunaan jerat.

“Tali nilon itu semua (Satwa) bisa kena jerat. Tapi, tergantung teknik dan jalur yang dilalui. Kalo pemburu targetnya harimau, pasti akan mencari jalur yang ada bekas jejak harimaunya,” kata Dwi.

Menurutnya, Selama ini TNBBS hanya bertumpu pada patroli untuk mengatasi perburuan satwa liar. Sedangkan, patroli hanya  sebagai pencegahan terjadinya perburuan.  Seharusnya, TNBBS meningkatkan proteksi. Salah satunya, membuat peraturan yang mengatur perburuan satwa liar.

“Penggunaan jerat, itu gampang saja. Yang patroli hanya beberapa orang, sedangkan TNBBS luasnya  segitu. Orang yang memasang jerat dimana saja tanpa ketahuan. Masalah jerat harus diatasi misalkan regulasinya, distribusinya bagaimana? Kemudian, jerat dapat dari mana? Yang seperti itu mesti dilacak,” tuturnya.

Dwi juga menyarankan TNBBS membuat pos pengecekan keluar masuk kendaraan di wilayah TNBBS. Adanya pos pengecekan dapat mengintimidasi warga agar waspada, jika ingin melakukan tindakan ilegal. Pengecekan kendaraan tersebut harus selalu ada. Meskipun, selama pengecekan tidak membuahkan hasil. Tujuannya, untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa daerah tersebut diawasi.

“Misalnya dia (warga) keluar dari mana, jam berapa, catet. Jadi, ketahuan didalam TNBBS ngapain. Meskipun didalam TNBBS ada desa-desa. Yang penting diawasi dan diminta pengecekan. Pos jaga, pencegatan jalan raya rutin, razia, hal itu harus sering dilakuin secara rutin. Tujuannya dari pencegahan bukan untuk menemukan kejahatan tapi untuk membuat orang merasa takut,” jelasnya.

Adanya fenomena harimau memakan hewan ternak warga. Menurut Dwi, Warga yang tinggal di wilayah TNBBS harus berhati-hati  jika mengetahui keberadaan anak harimau dan bekas jejak harimau. Sebab, induk harimau kerap menyerang jika keberadaan anaknya terancam.

“Harimau sumatera sebenarnya sama dengan kita. Kalau ada makanan dekat kenapa cari yang jauh-jauh. Harimau sumatera menghemat energi,” katanya.

Ia mengharapkan adanya program nasional desain kandang ternak yang aman dari jangkauan harimau. Lalu, desain tersebut harus disosialisasikan ke peternak daerah kawasan hutan lindung. Hal ini bertujuan, mengurangi konflik manusia dengan harimau.

Kemudian, ia juga menuturkan terjadinya fenomena konflik manusia dan harimau yang ada di suatu wilayah tertentu dapat mengundang pemburu.  Sehingga, petugas harus rajin memantau lokasi terjadinya konflik. Perangkat desa juga bisa ikut memantau dan memberikan laporan jika ada orang yang mencurigakan.

Selain itu, Laporan dari warga harus cepat ditindak oleh petugas. Karena, tindakan yang cepat dapat menimbulkan rasa kepercayaan masyarakat.

“Laporan dari warga harus segera ditindak. Kalau tidak ada respon dari lembaga terkait, harimaunya bisa dibunuh sendiri tanpa sepengetahuan,” ucap Dwi.

Harimau Menjaga  Rantai Ekosistem

Prof. Dr. Gono Semiadi, Bidang Zoologi PUsat Penelitian Biologi LIPI, Peneliti Senior Bidang Mamalia mengatakan kelompok karnivora adalah top management dalam rantai ekosistem.  Kelompok karnivora melalui daya jelajahnya yang luas dapat mengontrol kondisi populasi mangsanya. Lalu, suatu rantai ekosistem yang tidak diganggu aktivitas manusia membuat kondisi keseimbangan rantai kebawahnya tetap stabil.

“Kalau terlalu banyak satwa pemakan rumput atau dedaunan seperti rusa, babi. Maka, akan banyak wilayah hutan yang proses suksesi terganggu karena tumbuhan mudahnya habis dimakan oleh satwa pemakan rumput dan dedaunan. Demikian terus, kalau tumbuhan terganggu  maka berdampak pada keseimbangan kelompok serangga atau burung. Dengan begitu, berkurangnya pepohonan dan rantai energi,” jelasnya saat dihubungi via Whatsapp (18/08).

Menurut Prof. Gono, peran karnivora ini telah banyak yang diambil alih oleh manusia. Salah satunya, dengan perburuan satwa liar. Selain itu, Habitat satwa yang dikurangi melalui pembukaan lahan. Akibatnya, peran masing-masing suatu ekosistem dapat dikatakan hilang.

“Punahnya satu jenis satwa dari muka bumi adalah suatu kegagalan manusia dalam mengelola dan hidup berdampingan dengan alam. Fungsi ekologis satwa hilang dan rusak karena manusia, ketika menjadi punah dapat dikatakan sebagai kezaliman manusia terhadap alam,” tuturnya.

Ia menuturkan agar harimau sumatera tidak punah seperti harimau bali dan jawa, yaitu dengan menjaga kondisi keaslian yang ideal. Namun, Hal tersebut sangat susah, sebab kondisi habitatnya di semua bagian sudah terganggu.Oleh karena itu, pengembangan wilayah konservasi satu-satunya harapan agar habitat beserta isinya terjamin sepanjang masa.

Selanjutnya, mengubah perilaku manusia manusia yang memanfaatkan alam untuk dirinya sendiri. Tetapi, untuk kehidupan manusia di masa mendatang.

“Sayangnya idealisme seperti ini sangat susah dijalankan. Ketika, kebutuhan perut masih belum bisa memberikan alternatif lain selain dari apa yang terjadi. Dalam bentuk berbagai kerusakan seperti pembalakkan, penangkapan ilegal satwa liar,” tuturnya.

Penulis Mitha Setiani Asih

Catatan redaksi tulisan ini juga dimuat di Tabloid Teknokra Edisi 161

Exit mobile version