Lembah Suoh, Lumbung Padi Organik di Lampung Barat

257 dibaca
Sirwanto (40) sedang menyemprotkan pupuk organik cair (POC) ke sawahnya, Rabu (16/12).

teknokra.co: Sirwanto (40) tampak sibuk menyemprotkan pupuk organik cair (POC) ke sawahnya. POC tersebut dimasukkan ke dalam tangki biru yang kemudian ia semprotkan ke tiap sudut lahan seluas setengah hektar itu. Hal tersebut ia lakukan hampir setiap hari guna menambah subur sawah miliknya di Pekon Tugu Ratu, Kecamatan Suoh, Lampung Barat.

Pertanian dengan sistem organik sudah Sirwanto tekuni sejak empat tahun yang lalu. Awalnya, ia mendapatkan pelatihan dari WWF (World Wildlife Fund of Nature) terkait pertanian ramah lingkungan.

Berangkat dari hal itu, ketertarikan Sirwanto timbul. Ia yang tergabung dalam KPO (Komunitas Petani Organik) Lembah Suoh mulai mencoba inovasi baru yang digagas komunitas tersebut yaitu bertani organik.

“Saya pelatihan angkatan ketiga. Selepas pelatihan, kita tetap sering berkumpul, kalau ada masalah kita pecahkan bersama. Kalau ada kekurangan juga kita diskusikan bersama, dan kalau ada kelebihan dan pengalamannya tetap kita bagi bersama,” ujar dia.

Bahan utama dalam membuat POC yang Sirwanto gunakan adalah urine kelinci. Penggunaan urine kelinci memiliki kandungan yang baik bagi tanaman. Urine tadi ia dapatkan dari hasil pemeliharaan kelinci dan juga beli dari peternak. Menurutnya, tanaman organik yang diberi POC urine kelinci lebih hijau, tekstur tanah dan tanamananya juga lebih baik dibanding pertanian konvensional.

BACA JUGA:

Menjaga Hutan Lampung Barat Lewat Kopi Agroforestri

Unila Kirim 464 Mahasiswa KKN-KT ke Lampung Barat

Maryati, Masih Pertahankan Kain Tapis Tradisional Lampung

Lebih Hemat Biaya Produksi                            

Dari segi ekonomi Sirwanto menjelaskan bahwa pertanian organik dapat menekan biaya produksi dibanding pertanian yang menggunakan pupuk kimia. Untuk setengah hektare lahan hanya membutuhkan kurang lebih 20 liter urine kelinci. Kalau dihitung secara nominal, pertanian organik menguntungkan.

“Kita hanya mengeluarkan ongkos bajak dan ongkos tanam, kalau untuk pupuk kan kita bikin sendiri. Jadi paling kita hanya mengeluarkan uang sekitar 200 ribuan untuk pupuk. Kalau konvensional, mereka kan harus pake pupuk urea yang setiap penen minimal empat karung, belum termasuk Foska dan HCL.”

Ia menyebutkan bahwa awal mula memulai pertanian organik, ia hanya dapat 13 karung, namun saat ini sudah dapat mencapai 17 karung. Hal ini berarti pendapatan yang diperoleh sekarang sudah normal dan bahkan bisa lebih.

“Di awal itu memang stres, karena pendapatan menurun. Biasa bisa makan enak, tapi karena pendapatan berkurang jadi beda,” ungkap Sirwanto.

Selain itu, keuntungan lain yang ia rasakan yaitu pemakaian bahan-bahan organik dapat menggemburkan tanah. Tekstur tanah pun masih tetap bagus dan lentur walaupun tidak diberi air selama tiga hari.

“Saya sudah menikmati hasil bertani organik ini, petani organik itu punya kelebihan tersendiri, kalau dulu tanah sempat rusak, kita kembalikan lagi. Selain itu ekosistem pun tetap berjalan dengan baik,” katanya.

Menjaga Ekosistem

Sirwanto bukan satu-satunya petani organik di Lembah Suoh. Salah satu petani lainnya, Sugihartono (42), sudah menekuni pertanian organik sejak tahun 2012. Menurutnya, sebelum beralih ke pertanian organik, tanah di lahan sawahnya rusak. Namun, kini berangsur-angsur membaik.

“Untuk tanah, sebelum beralih organik itu rusak kondisinya. Saat dicangkul dan dibajak susah karena keras. Kelebihan bertani organik, beras juga menjadi makin sehat dan ekosistem lebih terjaga,” jelasnya

Ada dua jenis kompos yang ia gunakan yaitu kompos padat dan cair. Ia mengibaratkan kompos padat sebagai ‘nasi’ untuk tanah, sedangkan POC serta PPC (pupuk pelengkap cair) sebagai ‘lauk’ makanannya.

Ketika selesai masa panen, jerami hasil produksi sebelumnya tidak dibakar tapi dibiarkan di lahan, dan selanjutnya disemprot MOL (mikro organisme lokal) agar tidak busuk. Kemudian lahan tersebut barulah dibajak. Untuk pemberian pupuknya ada dua cara yaitu sebelum dibajak atau sesudah ditanam dengan cara disebar.

“Prinsipnya apa yang kita ambil dari lahan ya kita kembalikan lagi. Karena bertani organik artinya mempertahankan ekosistem yang ada di dalamnya seperti keong, laba-laba, katak, tidak ada alat atau bahan lain. Jika pakai non-organik pasti hewan-hewan tidak ada yang mau datang,” lanjut Sugihartono.

BACA JUGA:

Tinggalkan Kawasan TNBBS, Petani Teba Liokh Beternak Lebah

Harimau Sumatera Terancam Punah, TNBBS Adakan Pelatihan Advokasi

Kukang Laris di Pasar Daring

Komunitas Petani Organik

Sugihartono dan Sirwanto adalah dua dari 100 petani yang tergabung dalam Komunitas Petani Organik (KPO) Lembah Suoh, yang anggotanya berasal dari Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat. Sebanyak 37 anggota di komunitas tersebut telah memiliki sertifikat pertanian organik.

Edi Santoso, Ketua KPO Lembah Suoh menjelaskan untuk mendapatkan sertifikat pertanian organik, petani harus melalui berbagai persaratan. Sarat-sarat itu menurut Edi antara lain: tidak boleh menggunakan bahan-bahan kimia, air yang masuk ke lahan harus difilter dengan tanaman eceng gondok untuk mensterilkan residu kimia dari lahan sebelumnya, dan di keliling lahan itu harus ada buffer zone.

Buffer zone gunanya untuk mengantisipasi tetangga yang memakai racun kimia agar tidak mengenai lahan kita yang organik. Tetapi kalau misalnya lahan itu sumber airnya dari sumber mata air langung bisa langsung hanyut,” jelasnya.

KPO secara rutin mengadakan pertemuan agar petani mulai beralih ke organik. Menurutnya, mengajak petani untuk beralih ke organik membutuhkan perjuangan yang tak mudah. Tiap pertemuan diadakan evaluasi dan pengembangan komunitas. Lewat komunitas, kerap juga dilakukan pelatihan-pelatihan bagi petani.

“Dulu kita mengadakan pertemuan rutin setiap satu bulan untuk membahas permasalahan di tengah petani. Karena untuk mengajak teman-teman untuk bertani organik ini perjuangan sangat luar biasa. Namun karena kesibukan, kita putuskan untuk melakukan pertemuan setiap enam bulan sekali,” ujarnya.

Kendala Akses dan Pasar

Beras organik Suoh Lampung Barat dibandrol dengan harga yang variatif tergantung varietasnya. Paling murah dibandrol dengan harga Rp12.000,00 per kilogram. Untuk yang paling tinggi, yaitu jenis beras hitam, dibandrol dengan harga Rp20.000,00 per kilogram. Untuk beras biasa (non-organik) biasa dibandrol dengan harga Rp8.000,00.

“Kalau untuk harga kita berpatokan pada bensin, kalau di sini ecerannya sekitar sepuluh ribu. Makannya kita patok standar paling nggak satu kilo gabah (padi) itu kita dapet satu liter bensin,” kata Edi.

Harga tersebut memang relatif lebih mahal di tingkat konsumen. Menurut Edi, hal ini karena proses bertaninya yang lebih sukar bila dibandingkan dengan pertanian konvensional. Selain itu, aspek lain juga dipengaruhi oleh akses transportasi yang sulit.

“Untuk masalah biaya bergantung lahannya juga. Tapi yang kita tekankan yaitu ke sehatnya dulu, sehingga alamnya terjaga sehatnya dapat,” jelas Edi.

Ashadi Maryanto, salah satu konsumen beras organik dari KPO Lembah Suoh mengungkapkan lebih memilih beras organik karena aspek kesehatan. Selain itu, sebagai apresiasi terhadap petani yang telah memuliakan lahan dengan berorganik. Ashadi mengonsumsi beras organik sejak tiga tahun yang lalu.

“Faktor utamanya jelas karena faktor kesehatan, tetapi dengan membeli beras organik kita juga mengedukasi tentang pemuliaan tanah,” ujar dia.

Menurut Ashadi, mengonsumsi beras organik membuat lebih cepat kenyang. Dia mengungkapkan sekali makan dengan beras biasa bisa menghabiskan 200 gram, dengan beras organik hanya 100 gram sudah kenyang.

“Beras organik ini agak beda, sebenarnya tidak terukur secara laboratorium, tetapi bisa kita rasakan. Dari segi tampilan, di kelompok Lembah Suoh sudah bagus, tidak ada bedanya sama beras biasa,” ungkapnya.

Ashadi bahkan tidak keberatan merogoh kocek lebih dalam demi mendapatkan beras organik. Menurutnya, sudah menjadi konsekuensi beras organik lebih mahal karena pengelolahan yang ekstra. Namun, menurutnya dapat lebih murah jika akses jalan yang bagus.

“Mahal itu tidak sebanding dengan nilai kesehatan yang ditawarkan dengan beras itu. Sehingga kita perlu juga mengapresiasi petani dengan sistem organik,” kata Ashadi.

Cocok untuk Pertanian Organik

Kuswanta Futas Hidayat, Akademisi Universitas Lampung sekaligus Ahli Tanaman Pangan, mengungkapkan bahwa tidak ada kriteria khusus mengenai tanah atau sumber daya lain untuk pertanian organik. Namun, salah satu hal penting yang harus diperhatikan yaitu sumber pengaliran yang dipakai untuk bertani organik.

“Kualitas yang dihasilkan dari produk pertanian bergantung dengan air yang dipakai. Hal ini karena air digunakan sebagai media. Sumber air tidak boleh bercampur dengan pengaliran yang konvensional, karena hal tersebut akan mencemari pertanian organik,” ujarnya.

Sejalan dengan hal tersebut, jika dilihat dari segi pengairan pertanian di Lembah Suoh yang berasal langsung dari TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan), maka Kuswanta pun berpendapat bahwa dapat dipastikan kualitas yang dihasilkan akan bagus.

“Karena air kan membawa berbagai unsur hara. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka bisa saja pertanian organik tersebut jadi tidak murni lagi,” lanjut Kuswanta.

Ia juga menjelaskan bahwa pertanian organik pada dasarnya memanfaatkan sumber daya lokal yang tidak ada efek untuk mencemari lingkungan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar lingkungan bisa tetap lestari dan dapat digunakan secara berkelanjutan.        

“Jadi kita bisa memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sana, misalnya di Lampung Barat banyak peternakan sapi, kambing, atau unggas. Nah pupuk yang digunakan bisa dari bahan-bahan tersebut,” jelasnya.

BACA JUGA:

Kopi Agroforestri Solusi Deforestasi Desa Ujung Rembun

Fenomena Alam Langka Ombak Berwarna Biru Neon di Pesisir Barat, Berikut Foto-Fotonya

Dukungan dari Pemerintah

Onni Violetta Saragi, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung Barat mengatakan pemerintah kabupaten akan berupaya membantu petani organik dalam segi pemasaran.

Menurut Onni, hal tersebut dilakukan agar beras organik Lampung Barat dapat bersaing di pasar yang lebih luas dan mendapat kepercayaan masyarakat. Sehingga petani bisa mendapatkan harga yang lebih baik yang akan berdampak pada kesejahteraan mereka.

 “Kita sudah sosialisasikan hal ini, dan sudah ada salah satu CV di Bandar Lampung yang sudah taken kontrak. Mulai Januari dari provinsi sudah akan ada yang menampung beras organik dari Suoh,” katanya.

Upaya lainnya yang dilakukan pemerintah kabupaten adalah dengan mnyediakan sarana prasarana, mengadakan pelatihan, dan memfasilitasi sertifikasi organik.

“Kendala yang dihadapi pemerintah daerah adalah terbatasnya anggaran sehingga masih kurang dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Sehingga selama ini masih mengharapkan adanya bantuan dari pemerintah pusat,” katanya.

Harapan Onni beras organik dapat menjadi ikon dan dapat dipasarkan di luar Lampung. “Jadi, ketika mendengar Suoh, hal pertama yang terpikirkan yaitu beras organiknya,” pungkasnya.

Penulis: Annisa Diah Pertiwi

Exit mobile version