Mantan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni periode 2000-2008, M. Thoha Sampurna Jaya mengatakan pembubaran tidak bisa langsung dibubarkan oleh rektor. Seharusnya rektor berhak membubarkan lembaga yang terdiri anggota tetap yaitu, Wakil Rektor 3, Kepala Biro Kemahasiswaan, Dosen Pembina, Perwakilan BEM, Perwakilan DPM serta anggota tidak tetap yaitu Perwakilan UKM yang bersangkutan.
“Mereka semua harus hadir, maka disitu terjadi diskusi, terjadi perdebatan untuk memutuskan itu. Maka harus ada wakil UKM yang harus dilibatkan. Ini kan bicara demokrasi,” ujarnya.
Menurutnya pemilihan diksi pada peraturan KBM tidak tepat. DPM, BEM dan UKM sifatnya hanya koordinasi yang bermakna berarti sejajar.
“Kalau di pemerintahan, DPM itu ibarat Menteri Koordinator (Menko) bukan membawahi UKM, tapi bersifat koordinatif,” ucapnya.
Jika berbicara Keluarga Besar Mahasiswa (KBM), menurutnya harus ada payung konstitusi. Dari konstitusi itu akan menjelaskan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta menjelaskan hubungan antara lembaga.
“Itu semua harus diatur, jika tidak akan terjadi kekacauan. Saling klaim antara UKM, BEM, dan DPM,” tuturnya.
Ketua UKM Pramuka, Yopi Hidayatullah (Pend’ Geografi’18) mengatakan dalam Pertor tersebut bermasalah karena UKM dan DPM tidak ditempatkan secara sejajar. Ia mengaku tak setuju dengan BAB XI dalam Pertor tersebut yang membuat DPM memiliki kewenangan untuk mengatur UKM melalui peraturan Keluarga Besar Mahasiwa (KBM).
“Kita punya struktur sendiri gitu, dan kitapun dilantik bareng, dilantik sama-sama dengan rektor,” ujarnya.
Ia mengaku tak setuju dengan pasal dalam Pertor tersebut yang membuat DPM memiliki kewenangan untuk mengatur UKM melalui peraturan Keluarga Besar Mahasiwa (KBM).
“jadi kalau DPM dan BEM di atas kita, saya rasa tidak pas,” pungkasnya.
Penulis: Arif Sanjaya dan Sri Ayu Indah Mawarni