Memahami Akar, “Ketertinggalan” Literasi Indonesia

380 dibaca
sumber gambar: https://images.app.goo.gl/6ejkNoxYBZyHjjjVA

teknokra.co: Sebagaimana tulisan-tulisan yang sudah saya baca, dapat disimpulkan bahwa literasi di Indonesia memang harus diakui masih rendah. Silakan teman-teman semua untuk membaca data-data yang berkembang baik di internet maupun buku-buku. Semuanya terungkap bahwa memang literasi bangsa Indonesia ini sangat rendah.

Namun ketika mendapat hal seperti itu lantas kita menjadi negara yang “menyerah” begitu saja. Bukankah seorang ulama hebat di Indonesia mengatakan bahwa “mujahid pantang menyerah!”

Ibarat kita mendapat rapor kita yang jeblok. Peringkat 60 dari 61 alias juara dua terakhir. Tetapi ini bukan akhir cerita, ini adalah awal cerita.

Walaupun saya pribadi dalam tahap belajar pasti paham betul, bahwa untuk mengajak bangsa ini menjadi rangking 1 ditingkat dunia perlu perjuangan berdarah-darah. Tetapi minimal kita bisa menyusul hingga menjadi di urutan rangking pertengahan.

Untuk membereskan masalah literasi ini tentunya tidak seperti David Covervil, ahli sulap yang dapat dengan sekejap saja membalikan keadaan. Tentu butuh tahunan bahkan puluhan tahun untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang unggul dalam literasi.

Kebijakan pemerintah yang mendukung pada literasi memang sangatlah penting. Literasi bukanlah persoalan program yang hanya membuang “uang” semata.

Tapi literasi harus menyentuh mental bangsa. Jangan sampai literasi menjadi bisnis “kapitalism” baru yang menguntungkan sekian pihak. Hanya menggelar acara, setelah selesai, semua kembali kepada mental semula.

Literasi juga bukan masalah hebatnya singkatan program-program, namun literasi harus masuk kedalam “darah” masyarakat Bangsa Indonesia.

Saya yakin bahwa literasi menurun ini bukan masalah pendidikan rendah, kualitas pendidik, kualitas siswa, atau kualitas ini dan itu. Tetapi rendahnya ini adalah karena dari “akarnya” yang bermasalah.

Saya meyakini bahwa kerendahan literasi ini adalah “efek panjang” dari generasi-generasi yang tidak “kembali” kepada titah ilahi. Sudah jelas perintah Tuhan adalah untuk “beriqra,” akan tetapi malah tidak dikerjakan. Ketika titah Tuhan tidak dikerjakan, maka dipastikan akan celaka, tidak bahagia, dan tidak terhormat.

Jadi ketika kita meningkatkan literasi, jangan karena “efek PISA” tetapi berliterasilah karena memang itu perintah Tuhanmu. Dengan demikian efek kesadarannya akan lebih kuat. Karena bagi bangsa Indonesia , khususnya umat islam, kedasaran teologis adalah kesadaran yang paling baik untuk mengajak umat Islam menjadi sadar akan pentingnya berliterasi.

Saya membaca sebuah artikel dimana rendahnya literasi terutama yang berurusan dengan minat membaca ini antara lain terjadi sejak kemerdekaan akibat dihapuskannya secara bertahap buku bacaan wajib di sekolah. Ini berarti ada semacam “bunuh diri” secara bersama-sama ketika penghapusan buku bacaan tersebut. Jangan sampai ini terjadi lagi untuk bangsa Indonesia di masa mendatang.

Dulu di era sebelum kemerdekaan pelajar AMS (sekolah setara SMA untuk pribumi di zaman pendudukan Belanda) diwajibkan membaca 25 judul buku dan pelajar HBS (sekolah setara SMA untuk anak Eropa dan bangsawan pribumi) sebanyak 15 judul buku. Maka wajarlah disebut dengan tragedy nol buku. Artinya sebuah Tsunami tingkat tinggi ketika sebuah sekolah tidak mewajibkan membaca buku.

Saya membaca buku dari karya Milan Kundera Ceko yang mengatakan jika ingin menghancurkan sebuah Negara jauhkanlah negara tersebut dari buku. Maka terbuktilah sudah apa yang ditulis oleh penulis tersebut.

Kembali pada judul awal, dapat disebutkan bahwa rendahnya literasi di Indonesia sebenarnya diawali dengan “pelecehan” terhadap budaya membaca dan menulis. Padahal sebenarnya itu adalah ayat pertama dalam Al-Quran. Maka agar frame berpikir masyarakat Indonesia menjadi sehat kembali, dan literasi menjadi kuat kembali. Maka sadarilah bahwa berliterasi sesungguhnya adalah bagian dari ibadah!

Allahu’alam Bissawab

Benang yang kusut, mampu diluruskan. Air yang keruh, pandai dijernihkan. Jika Iman Senantiasa hanya terpatri kepada Allah SWT. Lalu, ilmu yang kita punya di berikan kepada sesama. Hingga pada akhirnya mengamalkan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Penulis opini: Wildan Hanafi

Mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Exit mobile version