Budaya  

Memaknai Helatan Sin Cai

414 dibaca
Ratusan lilin merah berbagai ukuran berbaris di ruangan utama hingga halaman wihara menjelang malam perayaan Imlek, 4 Februari. Lilin-lilin setinggi hingga 2 meter itu disusun berpasangan sesuai nomor urut. Semakin besar nominal nomor, makin besar juga ukurannya.
Ratusan lilin merah berbagai ukuran berbaris di ruangan utama hingga halaman wihara menjelang malam perayaan Imlek, 4 Februari. Lilin-lilin setinggi hingga 2 meter itu disusun berpasangan sesuai nomor urut. Semakin besar nominal nomor, makin besar juga ukurannya.

 

Ukuran lilin disesuaikan dengan besaran sumbangan pemesan untuk wihara. Tubuh lilin dipasang secarik kertas bertulis aksara mandarin. Ada juga yang pakai tinta emas. “Aksara mandarin adalah sebuah syair. Saya juga tidak begitu tahu maknanya,” ujar Romo Anton sambil tertawa. Ia adalah wakil romo di Wihara Thai Hin Bio sekaligus ketua muda-mudi Tionghoa Lampung

Menjelang malam, suasana wihara semakin ramai. Warga Tionghoa satu persatu menaja sembahyang. Altar tempat pemujaan para Dewa di ruangan utama wihara dipenuhi asap hio hingga memedihkan mata.

Perayaan Imlek atau disebut juga Sin Cia dihelat untuk menyambut tahun baru dalam penanggalan Tiongkok atau disebut juga penanggalan Lunar. “Imlek bukanlah perayaan untuk agama tertentu saja. Imlek dirayakan oleh etnis Tionghoa di seluruh dunia,” kata Djohan selaku sekretaris umum wihara.

Menurut Djohan, warga Tionghoa punya kebiasaan setiap perayaan Imlek. Rumah-rumah disolek; dibersihkan dan ditata. Warna merah jadi simbol yang umum dipakai sebagai lambang kecerahan dan kesejahteraan.

Replika lampion digantung di beberapa bagian rumah. Selain sebagai alat penerangan, lampion juga bermakna harapan untuk tahun baru yang lebih terang.  Sementara hiasan naga merujuk pada sejarah kemunculannya. Ia dipakai  bangsa Tiongkok untuk mengusir roh jahat dan penolak bala.

Kue keranjang manis dan buah-buahan pun ramai ditata dan dihidangkan untuk penganan. Kue yang manis punya makna harapan yang lebih manis di tahun baru.  Aneka buah-buahan dimaknai sebagai bentuk bumi yang bulat dan pelambang kesatuan.

Pada hari pertama Imlek, kalangan muda Tionghoa berkunjung ke yang lebih tua untuk meminta maaf. Dalam tradisi Cina penghormatan kepada yang lebih tua merupakan suatu kewajiban.

Hari kedua, warga mengunjungi teman atau kerabat. Para orang tua memberi angpau—amplop berisi uang, kepada anak atau kerabat. Angpau hanya boleh diberikan oleh yang sudah berkeluarga terutama yang punya penghasilan lumayan. “Angpau merupakan tanda untuk berbagi rezeki. Besarnya tergantung kemampuan. Namanya take and give, jadi besarnya dibebaskan,” kata Djohan.

Satu ritual yang wajib adalah membakar lilin di malam perayaan. “Ritual ini untuk memperoleh harapan, rezeki, kebahagiaan, serta kehidupan yang lebih cerah di tahun yang baru,” ujar Anton yang malam itu akan memimpin ritual pergantian tahun menurut kalender Cina.

“Saya memang tidak terlalu mengerti makna lilin itu, saya hanya mengikuti istri saya,” ujar Tanto salah satu jemaat. Tanto ke Wihara Thai Hin Bio bersama istrinya setiap perayaan Imlek. Malam itu, ia membakar lilin dengan nomor urut 99. “Saya berharap tahun yang datang menjadi tahun yang lebih baik dan banyak rezeki.”

Setiap Shio dalam penanggalan Tionghoa punya makna sendiri. “Tahun ini, kita memasuki tahun kelinci. Kelinci itu  identik dengan kegesitan, jadi kita harus lebih gesit dalam mengejar rezeki,”kata Djohan.

Acara yang paling ditunggu-tunggu warga Tionghoa maupun masyarakat umum adalah atraksi barongsai. Ia menjadi salah satu ciri khas perayaan Imlek. “Barongsai dulunya bertujuan untuk mengusir roh jahat dan pembawa hoki.Namun seiring perkembangan zaman, barongsai menjadi hiburan dan salah satu jenis olahraga yang digemari,” kata Djohan.

Di Indonesia khususnya Lampung, barongsai tidak hanya dimainkan oleh kalangan Tionghoa melainkan etnis lain yang berminat dan tertarik memainkannya. Menurut Djohan, yang juga anggota Forum Komunikasi Adat Lampung, ada sekitar 15 ribu warga Tionghoa yang tinggal di Lampung. Masyarakat Tionghoa sudah mendiami Lampung sejak zaman penjajahan Belanda. Wihara Thai Hin Bio yang sebelumnya bernama Wihara Kuan Im Thing merupakan wihara pertama yang didirikan di Lampung sejak 1896.

Pada 1927, seorang biksu dari Tiongkok datang ke Lampung untuk membimbing berbagai ritual di wihara tersebut. Kehadirannya mengundang animo masyarakat Tionghoa untuk beribadat hingga tak mampu menampung jumlah warga yang datang. Sejak saat itu, bangunan wihara diperbesar dan berganti nama menjadi Wihara Thai Hin Bio.

***

Malam semakin larut. Udara malam yang dingin disertai rintik hujan mulai menyergap tubuh. Kawasan wihara semakin dipadati penonton yang sengaja datang untuk menyaksikan pertunjukkan barongsai. Tak hanya dari kalangan etnis Tionghoa, masyarakat dari berbagai etnis pun menikmati keceriaan. Atraksi Barongsai yang dimainkan oleh sejumlah pemuda dari Yayasan Swaka Mandiri di sekitar jalanan wihara disertai pesta kembang api membuat ratusan penonton bersorak. Mereka larut dalam kemeriahan menyambut tahun kegesitan.

Exit mobile version