Opini : Vonis Tom Lembong, Tentang Kematian Hukum Administrasi dan Kemenangan Politik

Foto : Rilis/ Irwansyah Ahmat Saputra
200 dibaca

Teknokra.co : Ketua majelis hakim telah menjatuhkan 4,5 tahun penjara kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan Indonesia. Tom dinyatakan bersalah dalam perkara pengambilan kebijakan impor gula yang dianggap merugikan negara.

Berdasarkan fakta persidangan secara jelas menunjukkan bahwa Tom Lembong telah mengambil keputusan untuk melakukan impor tanpa melewati sejumlah prosedur formal lintas kementerian. Namun fakta persidangan juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya suap, gratifikasi, atau indikasi memperkaya diri sendiri dalam perkara tersebut, hal ini hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai pejabat yang memiliki kewenangan diskresi, dengan pertimbangan kondisi darurat terkait suplai gula nasional.

Berdasarkan tatanan teori ilmu hukum, perbuatan Lembong yakni melewati prosedur-prosedur formal dalam tata kelola pemerintahan namun tetap dalam konteks tanggung jawab jabatan dan demi tujuan kebijakan publik, semestinya hal tersebut dikategorikan sebagai maladministrasi atau diskresi yang menyimpang, bukan tindak pidana.

Hukum pidana memiliki unsur yang lebih ketat. Dalam teori hukum pidana klasik, sebuah perbuatan hanya bisa dipidana jika memenuhi unsur :

1. Actus reus (perbuatan melawan hukum)

2. Mens rea (niat jahat)

3. Asas legalitas (diatur dalam undang-undang)

4. Pertanggungjawaban pidana (pelaku bisa dimintai tanggung jawab secara pidana)

Dalam Kasus Lembong, mens rea tidak pernah tampak baik secara tersurat maupun tersirat. Ia tidak bertindak untuk dirinya sendiri, tidak merugikan publik secara disengaja, dan perbuatan Lembong masih dalam batas wewenang jabatannya. Maka, menjadikan kesalahan administratif sebagai dasar seseorang untuk di pidana bukan hanya suatu keputusan yang berlebihan, melainkan juga dapat mengacaukan logika penegakan hukum itu sendiri.

Dengan penilaian yang kompleks tersebut, maka sudah semestinya vonis hakim berisi evaluasi administratif, pemeriksaan etika jabatan, dan pembinaan tata kelola lintas kementerian oleh pemerintah.

Terjadi diskresi dinilai sebagai suatu kejahatan, dan hukum pidana diaktifkan guna menghukum pejabat yang mengambil risiko demi stabilitas ekonomi. Hal ini tentu dinilai berbahaya, sebab akan memberikan dampak ketakutan bagi para pejabat untuk melakukan ide-ide cemerlang yang semata-mata hanya untuk kepentingan nasional.

Media Sosial kini dipenuhi dengan ekspresi kekecewaan pada lembaga peradilan yang terkesan telah disusupi kekuasaan politik.

Kecurigaan ini dinilai sangat wajar sebab Lembong dikenal sebagai salah satu sosok yang aktif tergabung dalam tim pemenangan salah satu calon presiden yang berseberangan dengan kekuasaan, dan penyelidikan terhadapnya pun dimulai tak lama setelah pelantikan Presiden baru. Dengan begitu maka tidak pantas kecurigaan ini disebut sebagai paranoia.

Tak ada yang dapat memastikan bahwa vonis tersebut merupakan suatu balas dendam politik, namun sangat sulit pula bagi kita untuk menafikan aroma politik dalam proses penyelidikan hingga vonis yang dijatuhkan pada Lembong.

Ketika proses hukum yang terjadi dalam siatuasi yang sangat sensitif, maka keraguan publik adalah sesuatu yang alamiah dan sah untuk diajukan.

Exit mobile version