Opini : Pelayanan Publik di Era Digital, Antara Inovasi dan Kenyataan

Ilustrasi : Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung Angkatan Tahun 2024, Regita Kurnia Kanikova
116 dibaca

Teknokra.co : Pada era digital saat ini, ketika teknologi informasi telah merambah hampir seluruh aspek kehidupan, pelayanan publik di Indonesia seharusnya mengalami transformasi yang signifikan. Namun, kenyataannya masih banyak layanan publik yang tetap mengandalkan proses manual, yang ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara harapan digitalisasi dan realita di lapangan.

Digitalisasi pelayanan publik bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan aksesibilitas layanan kepada masyarakat. Dengan berbagai aplikasi dan platform daring yang dikembangkan, seharusnya proses administrasi menjadi lebih cepat dan lebih mudah diakses oleh semua orang. Namun, banyak layanan yang masih memerlukan kunjungan fisik, pengisian formulir manual, bahkan proses verifikasi yang berbelit-belit. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip dasar digitalisasi yang mengedepankan kemudahan dan kecepatan.

Menurut laporan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) pada tahun 2023, hanya sekitar 30% dari total layanan publik di Indonesia yang sepenuhnya menggunakan sistem digital. Sementara, data dari Survei Kepuasan Masyarakat yang dirilis Ombudsman Republik Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan, bahwa lebih dari 50% responden yang mengaku masih mengalami kesulitan dalam mengakses layanan publik secara daring. Hal ini menandakan, bahwa digitalisasi masih belum sepenuhnya efektif dan menyeluruh, meskipun ada kemajuan.

Salah satu contoh nyata, yakni pendaftaran berbagai dokumen administratif seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau akta kelahiran yang masih sering memerlukan kehadiran langsung di kantor pemerintah. Data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) mengungkapkan, bahwa sekitar 40% dari pengurusan KTP di daerah-daerah tertentu masih memerlukan kehadiran fisik di kantor pelayanan.

Laporan Tahunan 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan, bahwa sekitar 45% dari pendaftar KTP di daerah rural masih harus menghadapi proses yang lama dan rumit yang menyiratkan, bahwa digitalisasi belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah. Meskipun sudah ada sistem daring, prosesnya sering kali terhambat dengan masalah teknis, kurangnya sosialisasi, atau bahkan birokrasi yang tidak siap beradaptasi. Akibatnya, banyak warga negara yang masih harus rela antri lama atau bolak-balik kantor hanya untuk menyelesaikan urusan yang seharusnya bisa diselesaikan secara daring.

Sektor kesehatan tidak kalah pentingnya. Pada masa pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu, layanan telemedicine dan aplikasi kesehatan daring seperti “HaloDoc” dan “SehatQ” mengalami lonjakan pengguna. Namun, data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukkan, bahwa hanya 25% dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit yang memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung layanan digital secara penuh. Hal ini menciptakan ketimpangan antara fasilitas kesehatan yang berteknologi tinggi dan mereka yang masih bergantung pada metode konvensional.

Kendala ini juga terlihat pada sistem pelayanan berbasis aplikasi yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan baik. Beberapa aplikasi yang diperkenalkan seringkali mengalami gangguan teknis atau tidak ramah pengguna, yang pada akhirnya membuat masyarakat enggan menggunakan layanan digital tersebut. Ini mengindikasikan bahwa meskipun teknologi tersedia, implementasinya sering kali tidak optimal. Selain itu, kurangnya pelatihan dan pemahaman tentang penggunaan teknologi di kalangan pegawai publik juga berkontribusi pada ketidakefektifan sistem digital. Tanpa adanya dukungan penuh dari semua pihak, baik dari sisi penyedia layanan maupun masyarakat, proses digitalisasi akan menjadi sia-sia dan tidak memberikan manfaat yang diharapkan.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, penting untuk memperbaiki infrastruktur teknologi, memastikan jaringan internet yang lebih merata dan akses yang lebih baik di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil. Kedua, pelatihan intensif bagi pegawai publik harus diutamakan, dengan fokus pada keterampilan digital yang diperlukan untuk menjalankan sistem dengan efisien. Ketiga, harus ada mekanisme umpan balik yang efektif untuk masyarakat agar mereka dapat melaporkan masalah, dan memberikan saran perbaikan terhadap sistem yang ada.

Pada intinya, penting bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menyusun strategi digitalisasi yang tidak hanya fokus pada pengembangan teknologi, tetapi juga pada aspek penerimaan dan kesiapan sistem. Sosialisasi yang intensif, pelatihan bagi pegawai, serta perbaikan sistem yang berkelanjutan adalah langkah-langkah yang perlu diambil untuk memastikan, bahwa digitalisasi pelayanan publik benar-benar dapat memberikan kemudahan dan efisiensi bagi masyarakat.

Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan dari digitalisasi pelayanan publik, diperlukan lebih dari sekadar meluncurkan aplikasi atau platform baru. Dibutuhkan juga komitmen untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem yang ada, serta memastikan bahwa setiap warga negara dapat memanfaatkannya dengan mudah dan efektif. Hanya dengan cara tersebut, kita dapat memastikan bahwa inovasi teknologi benar-benar menjadi alat yang memberdayakan dan memperbaiki kualitas pelayanan publik di Indonesia.

Opini ini ditulis oleh Regita Kurnia Kanikova (Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung Angkatan Tahun 2024)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 10 =