Pemprov Lampung Sewakan Lahan, Petani Kota Baru Masih Kecewa

Pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Lampung (Unila) menyelenggarakan diskusi sekaligus nobar "Tandur" di Taman Fisip Unila. Foto : Teknokra/Faridh Azka Alfathani
694 dibaca

Teknokra.co : Kekecewaan para petani terkait permasalahan pertanian, tanah dan kebijakan pemerintah membuat para petani sulit untuk mempertahankan tanah mereka lantaran akan diambil oleh pemerintah dan harus menyewa lahan sendiri.

Hal ini diungkapkan oleh Bunda Tini selaku Petani Kota Baru, Lampung Selatan dalam diskusi film dokumenter berjudul “Tandur” yang menyoroti tentang permasalahan pertanian, tanah, dan kebijakan pemerintah yang berkolaborasi bersama Walhi, Konsentris.id, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung yang diselenggarakan oleh Pojok Fisip Unila di Taman Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (Fisip) Universitas Lampung (Unila) pada Selasa, (7/11).

“Gimana petani mau berjaya, kita nanam aja disuruh nyewa, kalo engga mau nyewa diambil (lahannya),” ungkapnya.

Tini juga mengatakan, beberapa Satuan Tugas berkumpul untuk mendatangi lahan di Kota Baru dan menyuruh Tini untuk menandatangani buat lahan yang ia sewa. Ia sangat bingung di kala situasi itu.

“Posisi satgas berkumpul ada sekitar empat puluh’an, lahan mau digusur bulan dua belas itu terakhir, aku harus gimana.” katanya.

Selain itu Maryono, petani di Kota Baru, Lampung Selatan, menjelas sedikit sejarah dari lahan itu. Pada tahun 1955, lahan itu digarap oleh masyarakat. Kemudian Dinas Kehutanan Lampung Selatan membentuk kelompok untuk menanam kayu-kayuan seperti karet untuk jangka panjang.

Ia menjelaskan, pada saat itu, status tanahnya register, tetapi bisa dibikin suporadik (surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah). Masyarakat juga tetap membayar pajak sampai saat ini. Masyarakat menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan bertani. Lalu pemerintah dengan kebijakan mulai mengatur lahan tersebut.

Pada saat itu, pemerintah mengganti uang belas kasih sebagai bentuk ganti rugi karena tanahnya diambil pemerintah.

“Semakin ke sini, kebijakan berubah dan bertambah, yang membuat para petani merasa dirugikan,” jelasnya.

Maryono menambahkan bahwa, dilihat dari lahan Kota Baru semakin sedikit dan akan digunakan untuk infrastruktur bangunan.

“Di Kota Baru bisa dilihat sekarang, lahan untuk petani semakin sedikit. Sudah banyak yang diambil alih oleh pemerintah untuk dijadikan infrastruktur bangunan,”tambahnya.

Menurut Maryono, keputusan tersebut sangat disayangkan karena lahan yang biasanya digunakan untuk pertanian akan dibangun bangunan.

“Itu berdampak tidak bagus untuk para petani,” turutnya.

Ia juga menyimpulkan, para petani merupakan pelaku utama pembangunan pertanian sekaligus produksi dan kemandirian pangan di Indonesia.

Exit mobile version