Teknokra : Mahasiswa dapat disebut sebagai “Agent of chance social control and iron stock.” Hal ini dapat dibuktikan dengan sejarah kemahasiswaan di masa lampau yang ikut andil dalam perubahan Indonesia, contohnya pada masa Orde Baru. Hingga saat ini, wujud dari respon mahasiswa terhadap kebijakan yang kurang berkenan merupakan sebuah gerakan mahasiswa, yang dijadikan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasinya.
Namun, tak sedikit yang mempertanyakan eksistensi dari sebuah gerakan mahasiswa, terlebih banyaknya isu negatif membumbui gerakan mahasiswa yang tersiar di lingkungan kampus bahkan masyarakat. Hal itu menjadi topik yang dibahas dalam diskusi yang diadakam oleh Komunitas Pojok Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Lampung (Unila) pada Rabu,(6/9)
Dalam diskusi tersebut dihadirkan sejumlah pemantik, diantaranya Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Unila, Rafi Dhiaulhaq Islam (Ilmu Administrasi Negara’20). Dirinya berujar, bahwa untuk menyalurkan aspirasi, mahasiswa tak perlu dalam naungan organisasi, lantaran setiap individu dapat berperan sebagai aktivis. Dan dalam gerakan tersebut dapat muncul dengan sendirinya, sebagai respon dari kebijakan–kebijakan negatif yang diterapkan.
Tak hanya itu, menurutnya demonstrasi mahasiswa menjadi opsi terakhir dalam penyampaian aspirasi.
“Aksi demonstrasi merupakan metode terakhir dalam upaya menyampaikan aspirasi, setelah melakukan metode sebelumnya seperti membuat karya tulis dan gebrakan di sosial media, yang justru mungkin lebih efektif dan dampaknya lebih nyata,” ujarnya.
Senada dengan Rafi, Hasyika Nabilla Maharani (Ilmu Komunikasi’20) juga ikut berpendapat, bahwa masih ada banyak cara bagi mahasiswa menyuarakan aspirasinya, termasuk menyumbang prestasi.
“Kontribusi aku adalah aku ikut lomba, selain menambah prestasi di tingkat nasional dan internasional,, jadi gerakan mahasiswa nggak cuma turun ke jalan, ” ucapnya.
Tak hanya Rafi dan Hasyika, Ghraito Arip (Ilmu Hukum’20) juga turut menyampaikan gagasannya. Menurutnya gerakan mahasiswa masih disalah artikan, terutama di kalangan mahasiswa sendiri.
“Sering kali mahasiswa mengklaim dirinya seorang aktivis, pejuang, padahal dirinya hanya terglorifikasi dan termistifikasi oleh gerakan-gerakan Reformasi tahun 1998, bukanlah sebuah gerakan mahasiswa. Namun, lebih tepatnya adalah gerakan masyarakat sipil yang didalamnya ada kontribusi mahasiswa yang diikuti aksi – aksi besar di tahun sebelumnya,” ucapnya.
Ia juga menyinggung universitas yang tak memberi akses mimbar akademik yang luas bagi mahasiswa, dan mengomentari besarnya pengaruh media sosial, seperti halnya fenomena “No viral, no justice.”
“Saya belum pernah melihat sebuah aksi revolusioner yang di gerakkan oleh hanya dengan sosial media. Seperti di Thailand, anak–anak muda yang berhasil menyumbangkan golongan tua di sana, tidak hanya melakukan gerakan di sosial media. Yang artinya, DNA mahasiswa dan gerakan mahasiswa masih dibutuhkan saat ini, ” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan dalam gerakan mahasiswa harus menghindari kooptasi oleh para golongan kepentingan tertentu yang berfokus hanya pada tujuan. Bahkan masih banyak aksi – aksi mahasiswa yang kurang melibatkan masyarakat.
Dalam hal ini, juga perlu menyiapkan upaya mitigasi dalam gerakan mahasiswa untuk mencegah hal buruk yang menimpa mahasiswa.
“Iya, memang tidak ada perlindungan dari pihak kampus. Oleh karena itu perlu membangun jejaring dengan koalisi dan masyarakat sipil, contohnya LBH, ” ucapnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unila, Feri Firdaus, juga ikut menanggapi. Feri mengajak mahasiswa untuk bisa memperdalam pemahaman tentang gerakan mahasiswa, untuk memahami tujuan yang ingin dicapai.
“Rumuskan gerakan mahasiswa dulu itu apa, sehingga kita mampu menjawab penting nggak nya gerakan mahasiswa itu, jangan – jangan itu nggak penting untuk mencapai tujuan itu, sehingga kita tahu goals nya apa. Selama ini kan yang dipahami bahwa gerakan mahasiswa itu demo, aksi, padahal itu hanya salah satu metode yang bisa kita lakukan untuk pergerakkan, ” tandasnya.