Potret Jemaat Ahmadiyah di Lampung: Dikucilkan Pemerintah hingga Diserang Warga

Masjid Minan Ur Rahman milik jemaat Ahmadiyah di Bandar Lampung. Hingga kini pemerintah enggan menerbitkan izin mendirikan tempat ibdah tersebut. foto: Teknokra/Arif Sanjaya
935 dibaca

Teknokra.co: Baliho “love for all hatred for none”  terpampang dengan jelas di masjid Minan Ur Rahman milik jemaat muslim Ahmadiyah daerah Lampung. Pemerintah hingga kini enggan menerbitkan izin mendirikan bangunan Masjid yang teletak daerah Teluk Betung Utara tersebut, sehingga bangunan tersebut hanya terdaftar sebagai rumah pribadi, bukan sebagai tempat ibadah.

Kami disambut hangat oleh jemaat Ahmadiyah dalam kunjungan kami ke masjid tersebut. Mereka mengaku sangat senang dikunjungi oleh jurnalis yang mendukung kelompok marjinal seperti mereka.

Saat memasuki ruang tamu, perhatian kami kemudian tertuju pada sejumlah poster yang ada di dinding masjid. Poster-poster tersebut bergambar Kelima wajah khalifah jemaat Ahmadiyah. Termasuk poster wajah Ghulam Ahmad, sosok pendiri kelompok islam Ahmadiyah pada abad 19 yang dipercayai merupakan perwujudan dari Imam Mahdi yang akan membangkitkan ajaran islam.

Tak lama kemudian, kami disuguhi minuman rempah Chai Masala khas india serta sejumlah cemilan. Televisi sengaja dinyalakan untuk menunjukan sebuah saluran multi bahasa bernama “Muslim Television Ahmadiyya” yang menjadi satu-satunya saluran Ahmadiyah yang bisa ditonton. Dari situ kami mulai berbincang dengan jemaat soal eksistensi muslim Ahmadiyah di Lampung.

Abdur Rohim, salah satu jemaat Ahmadiyah yang berbincang dengan kami, memejamkan matanya saat mengingat kembali tragedi penyerangan masjid Ahmadiyah di kawasan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998.

Saat itu, Abdur Rohim bersama jemaat Ahmadiyah lainnya mendirikan sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah. Masjid tersebut dibangun di lingkungan islam sunni yang berbeda dengan mereka.

Sejumlah warga yang intoleran merasa terusik dengan keberadaan masjid tersebut. mereka menolak diimami oleh Ahmadiyah, mereka juga tak mau mendengar khutbah-khutbah dari pemimpin agung Ahmadiyah.

Puncaknya, pada malam kedua setelah lebaran, masjid tersebut diserang oleh sekelompok orang. Pada dini hari sekitar pukul 01.00 waktu setempat, masjid Ahmadiyah tersebut dibakar dan dirobohkan oleh pelaku penyerangan.

Abdur Rohim menuturkan, Polda Lampung ikut turun menyelesaikan masalah tersebut. Namun, aparat keamanan tak bisa menyelamatkan komunitas Ahmadiyah. Hingga kini, puing-puing masjid masih bisa dilihat di kawasan tersebut.

“Polda turun, tapi nggak jelas semua solusinya,” tuturnya.

Setelah serangan tersebut, Abdur Rohim kemudian mengalih fungsikan rumah mendiang mertuanya untuk dijadikan tempat beribadah kelompok Ahmadiyah.

“Akhirnya untuk ibadah kami menggunakan rumah, yang mana mertua saya sudah meninggal,” katanya.

Yang membuatnya merasa aneh adalah respon dari masyarakat, beberapa hari setelah kejadian tersebut, masyarakat tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa. Seakan-akan penyerangan tersebut tak pernah terjadi.

“Nampaknya seperti tidak ada yang punya (perasan) salah ya setelah kejadian itu, kami juga tak membalas,” ujarnya.

Tragedi pembakaran masjid tersebut merupakan yang teparah yang pernah terjadi terhadap kelompok ahmadiyah di Lampung. Namun,  beberapa individu jemaat ahmadiyah lainnya di lampung juga mengaku pernah mengalami pengalaman buruk terhadap intoleransi.

Riskiana, seorang jemaat wanita Ahmadiyah yang kini berprofesi sebagai guru sekolah dasar ikut duduk bersama kami dalam pertemuan tersebut. Ia memiliki pengalaman buruk tumbuh besar sebagai jemaat Ahmadiyah di Lampung. Semasa berkuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung (Unila) tahun 1997, ia sempat ditentang oleh dosennya sendiri.

Riskiana menuturkan, kejadian tersebut bermula saat ia masih menjadi mahasiswa baru. di ruang kelasnya terjadi diskusi soal Imam Mahdi di antara dosen dan mahasiswa muslim sunni yang merupakan kelompok mayoritas. Saat itu, Riskiana kemudian memberanikan diri  menjelaskan kepercayaanya soal imam mahdi menurut ajaran Ahmadiyah yang ia anut.

“Kalau menurut keyakinan saya, menurut tanda-tanda dari Ta’ala, imam mahdi sudah datang pak,” ujarnya kepada sang dosen.

Diskusi langsung berubah menjadi perdebatan yang cukup panas, Riskiana kemudian mulai beradu argumen dengan sang dosen soal perbedaan antara Sunni dan Ahmadiyah. Sang dosen pun merasa jengkel. Ia kemudian meminta Riskiana dan seorang mahasiswa beragama kristen menghadapnya di ruangan dosen setelah kuliah usai.

“Kamu mau keluar dari ahmadiyah nggak?,” tutur riskiana meniru perkataan si Dosen.

Tubuh Riskiana lemas, matanya memerah dan tangannya gemetaran saat ditekan sang dosen untuk meninggalkan Ahmadiyah. Secara halus, Riskiana menolak desakan dosen untuk meninggalkan aliran kepercayaan yang telah dianut keluarganya sejak kecil.

Ia mengaku pasrah jikalau nantinya sang Dosen tak meluluskannya dalam mata kuliah yang dipelajarinya. kepada orangtuanya, Riskiana kemudian mengadukan kejadian tersebut. Orangtua Riskiana mendukungnya apapun yang akan terjadi, Keluarga mereka menyerahkan semuanya pada Tuhan.

Namun, nasib baik didapat Riskiana, ia berhasil lulus dalam mata kuliah tersebut meskipun sempat terjadi perdebatan antara dirinya dan dosen. Menurutnya, pengalaman yang pernah ia rasakan merupakan suatu bentuk pengorbanan untuk menjadi seorang jemaat Ahmadiyah dalam masyarakat Lampung.

Rizal, seorang pemuda Ahmadiyah yang berkuliah di IIB Darmajaya Bandar Lampung, bercerita kepada kami soal aktivitas mahasiswa Ahmadiyah di Lampung. Menurutnya, terdapat sebuah organisasi kemahasiswaan bernama “Asosiasi Mahasiswa Ahmadiyah” atau lebih dikenal sebagai “Amsa”, organisasi tersebut merupakan naungan bagi anak muda Ahmadiyah untuk berorganisasi sesuai aliran kepercayaan.

Namun, sayangnya  Rizal tak pernah memiliki kesempatan untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Menurutnya, organisasi tersebut hanya berkembang di pulau Jawa saja.

“Organisasi mahasiswa Ahmadiyah ada, cuman di Lampung belum kebentuk,” jelasnya.

Sejumlah Kisah tersebut, mengingatkan kita bahwa kelompok Ahmadiyah merupakan kelompok minoritas rentan yang diisolasi dan dipersekusi oleh masyarakat di Lampung.

Ahmad Asyari, seorang Mubaliq yang memimpin 12 cabang kelompok Ahmadiyah di wilayah Lampung, menuturkan bahwa masyarakat memiliki stigma dan pemahaman yang keliru soal Ahmadiyah. Menurutnya, desas-desus soal kelompoknya yang dipahami oleh warga merupakan kekeliruan dari pihak luar.

“(Pemahaman) Ahmadiyah yang beredar di kalangan masyarakat bukan konteksnya dari  Ahmadiyah, tapi dari yang lain sehingga informasi  yang didapat juga lain,” tuturnya.

Menurutnya terdapat tiga pembeda utama antara ajaran Ahmadiyah dan Sunni, ketiganya adalah kepercayaan soal imam mahdi, kematian nabi isa dan keyakinan soal turunnya wahyu Allah SWT.

“Ahmadiyah ini sudah mengakui kalau imam mahdi itu sudah datang dalam wujud penidiri Ahmadiyah, yang kedua kami menganggap nabi Isa itu sudah wafat karena nabi itu (hanyalah) manusia, yang ketiga adalah pintu wahyu allah itu masihh terbuka,” terangnya.

Memperjelas soal wahyu allah, menurutnya wahyu terbagi menjadi dua, yakni wahyu syariat dan non-syariat. Wahyu syariat adalah wahyu yang mengandung aturan soal agama. Menurutnya, wahyu semacam itu sudah tidak ada lagi, yang ada hanya wahyu non-syariat yang bisa diterima oleh siapapun bahkan hewan.

Selain ketiga perbedaan mendasar di atas, tak ada lagi yang berbeda antara Ahmadiyah dan Sunni. Namun, ia menekankan bahwa institusi kekhalifahan yang dijalankan oleh Ahmadiyah hanya bersifat kerohanian layaknya vatikan di eropa, Khalifah tak pernah ikut campur politik praktis atau pemerintahan negara.

“Apapun bentuk negaranya, liberalis, kapitalis, komunis, kita nggak masalah. Karena bukan negaranya yang kita rubah, tapi orangnya,” ujarnya.

Ia mengaku heran dengan sebagian masyarakat yang penuh kebencian terhadap Ahmadiyah, menurutnya perdamaian merupakan suatu hal yang harusnya dipromosikan.

“Fanatik boleh, tapi jangan sampe begitu,” katanya.

Kini, kelompok Ahmadiyah rutin menggelar berbagai bakti sosial untuk masyarakat, mulai dari posyandu hingga donor danar dan organ tubuh bagi yang membutuhkan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk misi kemanusiaan yang terus diperjuangkan oleh jemaat Ahmadiyah yang ada di Lampung.

Sama seperti kelompok agama marjinal lainnya, kelompok jemaat Ahmadiyah di Lampung dan di wilayah lain indonesia lainnya terus memperjuangkan hak dan kebebasan beragama. sejumlah aktivis Hak asasi manusia nasional juga terus menyuarakan toleransi terhadap jemaat Ahmadiyah kepada pemerintah dan masyarakat umum.

*Tulisan ini merupakan bagian dari workshop jurnalisme keberagaman bagi pers mahasiswa Lampung yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) bulan September lalu.

Exit mobile version