Praktek Ahli Gigi yang Ilegal

552 dibaca

teknokra.co: Di sebuah bagunan bergambar gigi yang dilukis dengan cat, Iqbal (41) setiap hari menangani pasien yang bermasalah dengan gigi.

Dalam ruangan berukuran enam kali lima meter itu, terdapat ruang tamu dan ruang periksa yang disekat dengan kaca. Ruang periksa berisi satu unit bangku dental serta obat-obatan dan peralatan seadanya, tempatnya melakukan praktek layaknya dokter gigi di Rumah Sakit.

Iqbal yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas menuturkan, keahliannya menangani masalah gigi diperlolehnya secara turun temurun. Ia membuka praktek ahli gigi di bilangan lampu merah Way Halim, meneruskan kakeknya seorang tekniker gigi. Jasa yang ditawarkan berupa pembuatan gigi palsu, pemasangan, pencabutan serta penambalan gigi. Tarif yang ditetapkan pun relatif murah, ia mematok seratus ribu rupiah untuk pemasangan satu gigi palsu, dan berlaku kelipatannya tergantung jumlah gigi yang dipasang. Sementara untuk perawatan gigi, tarif yang dikenakan berkisar antara lima puluh ribu hingga tiga ratus ribu rupiah. Pasien yang datang pun beragam, dari berbagai umur dan kalangan masyasakat. Dari yang memiliki masalah gigi serius hingga yang hanya sekedar untuk kecantikan.

Selama menggeluti profesinya sejak tahun 1990, Iqbal mengaku tidak pernah menerima keluhan dari pasiennya. Walaupun tukang gigi notabenenya tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran gigi, pihaknya mengaku ahli dan terlatih menangani masalah gigi. Menurutnya, prinsip kerja yang dilakukannya dengan dokter gigi tidak jauh berbeda. Hanya saja tukang gigi tidak mengerti dasar teori dan tidak memiliki peralatan medis canggih dibandingkan dokter gigi.

Saat disinggung masalah perizinan, Iqbal mengaku tidak mengantongi surat izin praktek dari pemerintah daerah setempat. Ia berdalih, prakteknya hanya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan gigi dengan tarif terjangkau. Jadi tidak ada pihak yang dirugikan.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Lampung, Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri) Achmad Ari Nuris S menuturkan, “Saya rasa semua tukang gigi memang belajar secara turun temurun dan kami tidak memiliki perizinan, tapi sampai saat ini tidak ada keluhan dari pelanggan yang menuntut kami.” Achmad yang akrab disapa Helmy Dental itu mempertegas, pihaknya merupakan penanggung jawab yang membawahi seluruh tukang gigi yang menjadi anggota Astagiri di wilayah Lampung.

Tukang Gigi Lebih Diminati Masyarakat

“Periksa gigi sama saja di rumah sakit ataupun di tukang gigi, bedanya di rumah sakit itu jauh lebih mahal,” ungkap Aminuddin (50).

Warga Labuhan Ratu yang ditemui usai menambal gigi di Rumah Sakit itu mengeluhkan mahalnya biaya pelayanan dokter gigi. Ia harus harus mengeluarkan 150 ribu untuk satu gigi yang ditambal. Sedangkan di tukang gigi, dengan nominal 150 ribu ia sudah mendapatkan penambalan untuk semua gigi depannya.

Achmad, ketua DPC Astagiri Lampung yang juga membuka praktek di Jalan Zainal Abidin Pagaralam memaparkan, tarif yang ditetapkan tukang gigi jauh lebih rendah dibandingkan dokter gigi. Tarif perawatan gigi, seperti menambal dan membersihkan karang gigi berkisar antara 50 ribu hingga 300 ribu, sedangkan untuk pemasangan kawat gigi pasien cukup mengeluarkan 600 ribu hingga 1,5 juta rupiah, disesuaikan dengan jenis kawat gigi yang diinginkan.

Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Persatuan Dokter Gigi (PDGI) Lampung Drg. Nunung Fismahayati mengeluhkan rendahnya kesadaran masyarakat akan resiko yang ditimbulkan oleh pelayanan tukang gigi yang jelas melakukan praktek medis di bawah standar kedokteran. Masyarakat cenderung lebih memilih tukang gigi daripada dokter gigi, karena pelayanannya yang relatif singkat dengan biaya terjangkau tanpa mempertimbangkan efek jangka panjangnya bagi kesehatan. Wajar saja jika tukang gigi menetapkan tarif terjangkau, karena mereka menggunakan metode, alat, serta bahan dengan kualitas jauh di bawah standar kedokteran. Alasan utama maraknya tukang gigi membuka usaha, tentunya karena masih banyak peminatnya. Jumlah dokter gigi di Indonesia menurut data PDGI tahun 2012 tercatat hanya sekitar 22 ribu, sedangkan tukang gigi mencapai sekitar 75 ribu orang.

Belum ditindak

Pada 5 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Kementrian Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor: 1871/Menkes/Per/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi/Ahli Gigi. Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang, dan bukan merupakan kewenangan tukang gigi. Peraturan tahun 1989 yang dicabut diantaranya memuat ketentuan bahwa kewenangan tukang gigi adalah membuat gigi tiruan lepasan dari bahan akrilik dan pemasangannya. Permenkes tahun 1989 tersebut telah menegaskan batasan kewenangan tukang gigi, namun pada prakteknya tukang gigi bekerja melebihi kewenangannya.

“Seperti tercantum pada Undang–Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, seseorang tanpa gelar yang bertindak seolah-olah tenaga medis akan dikenai sanksi pidana,” tegas Nunung. Praktek ahli gigi yang selama ini melebihi kewenangannya merupakan tindak pidana karena telah merugikan masyarakat. Sanksi yang ditetapkan berupa denda dan kurungan. Nunung mengarahkan, ranah kerja PDGI hanya difokuskan pada pelayanan gigi di bawah standar serta pembinaan masyarakat. Sementara untuk menegur serta menutup akses ke lapangan secara langsung merupakan wewenang Pemerintah Daerah Setempat bekerjasama dengan pihak yang berwajib.

Permenkes tersebut mulai diberlakukan pada Maret 2012. Namun untuk wilayah Bandar Lampung, hingga kini belum ada tindakan tegas baik dari Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, maupun pemerintah daerah setempat.

Menanggapi Pemenkes tersebut, Achmad mengaku sudah mengetahuinya namun sejauh ini belum ada himbauan ataupun teguran dari pihak yang berwenang. “Kalau tukang gigi dilarang beroperasi, sama saja pemerintah menambah jumlah pengangguran. Kecuali jika pemerintah memberi lowongan pekerjaan bagi kami sebagai rakyat kecil,” ungkapnya kesal.

Hal senada diungkapkan oleh Bahri (45), tukang gigi yang membuka praktek di Jalan Teuku Umar. Ia turut menentang Permenkes terkait larangan praktek tukang gigi dengan alasan pihaknya mengaku tidak memiliki keahlian lain selain menjadi tukang gigi.

“Kalau suatu saat nanti kami ditertibkan, terpaksa kami mengikuti saja bagaimana aturan dari pemerintah. Tapi itu menjadi keputusan yang sangat berat bagi kami,” kata Achmad. Ia memaparkan, Permenkes tersebut tengah menjadi bahan perbincangan pihak Astagiri pusat di Jakarta, untuk selanjutnya dicari solusinya terkait batasan wewenang praktek tukang gigi.

Oleh: Esty Indriyani Safitri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =