Teknokra.co: Cuaca sore sedang hangat di sekretariat Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Bandar Lampung, ketika Dandhy Dwi Laksono dan Benaya Ryamizard Harobu tiba dengan mengendarai sepeda motor setelah ekspedisi mereka di pulau sumatera mencapai titik ujung paling barat.
Selama setahun lebih, keduanya dan sejumlah jurnalis lain mengelilingi wilayah indonesia mulai dari timur hingga barat dalam sebuah eksplorasi jurnalisme bertajuk “Ekspedisi Indonesia Baru” yang telah menghasilkan sejumlah dokumenter mengenai isu sosial dan lingkungan yang mereka investigasi.
Pada Minggu (30/7), keduanya mampir di Bandar Lampung untuk mengikuti kegiatan nonton bareng dokumenter berjudul “Angin Timur”. Sebuah dokumenter karya mereka yang memotret berbagai problematika nelayan di pulau Jawa, mulai dari masalah anomali musim, konflik nelayan kecil dan kapal besar, hingga kerusakan laut akibat tambang yang saham perusahaannya dikuasai kroni pejabat nasional.
Dandhy, seorang Jurnalis investigasi dengan segudang pengalaman, termasuk pernah memproduksi dokumenter “Sexy Killer” yang sempat menarik perhatian nasional pada tahun 2019, membagikan sejumlah gagasannya mengenai ekosistem produksi dokumenter di indonesia kepada jurnalis Lampung yang hadir dalam kegiatan tersebut.
Menurutnya, dokumenter adalah adalah pintu gerbang bagi publik untuk tertarik dengan reportase in-depth yang komprehensif. Ia melihat jika hanya segmen masyarakat tertentu yang bisa memahami karya-karya jurnalistik dengan konten yang “berat”.
Para pegiat sinematografi juga kurang meminati produksi dokumenter, dan cenderung lebih berfokus pada produksi karya lebar. Hal ini juga memacu Dandhy untuk mengembangkan dokumenter secara lebih meluas di indonesia.
“Tantangannnya adalah menciptakan film (dokumenter) sebanyak mungkin,” katanya.
Bersama koleganya, ia membangun koperasi Ekspedisi Indonesia baru yang mengembangkan beberapa model alternatif untuk usaha media. Misalnya pada film “Angin Timur”, koperasi tersebut membagikan dokumenter mereka secara bebas di internet, namun meminta penonton untuk membayar ke rekening koperasi tanpa mematok nominal tertentu. Dengan kata lain, penonton membayar harga ‘tiket nonton’ secara sukarela.
Selain itu, mereka juga mendistribusikan dokumenter mereka di sejumlah platform online streaming. Misalnya di aplikasi streaming Bioskop Indonesia, di mana mereka menjual film mereka dengan harga sebesar Rp. 10.000 Rupiah yang relatif jauh lebih murah dibandingkan harga film di bioskop.
“Syukurnya bisa laku di platform streaming itu, salah satu yang paling banyak ditonton, bisa bersaing dengan film-film top lain,” lanjutnya.
Benaya atau akrab dipanggil Ben, adalah anak muda berusia 23 tahun dari Nusa Tenggara Timur yang ikut serta dalam ekspedisi bersama Dandhy. ia mengaku merasa senang bisa menjelajah wilayah indonesia dengan menggunakan motor meskipun ada sejumlah resiko yang dihadapi selama diperjalanan.
Ia diterima oleh tim ekspedisi tersebut setelah mengikuti audisi terbuka. Ben mengaku siap untuk tak menerima bayaran apapun selama setahun belakangan, dan hanya menerima subsidi untuk biaya logistik dan akomodasi selama proses ekspedisi. Namun menurutnya, ada kebanggaan tersendiri yang bisa ia rasakan setelah sejauh ini berhasil memproduksi delapan film dokumenter.
“Masih ada (Dokumenter) lain yang belum rilis, bagi saya ini bukan masalah uang,” pungkas Ben.