Teknokra.co : Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung melakukan konferensi pers terkait korban penggusuran tanah Desa Sabah Balau di Kantor YLBHI-LBH Bandar Lampung pada Rabu (19/02). Dalam konferensi pers ini, LBH Bandar Lampung menghadirkan tiga korban dari penggusuran Sabah Balau.
Prabowo Pamungkas selaku Kadiv Advokat LBH Bandar Lampung menyampaikan bahwa penggusuran secara paksa bermula dari klaim Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung atas tanah di Desa Sabah Balau berdasarkan sertifikat hak pakai. Menurutnya, klaim ini dinilai bermasalah lantaran sudah ada rumah warga yang berdiri di lokasi tersebut sejak lama.
“Akar masalah ini adalah penelantaran aset oleh Pemprov Lampung. Proses penggusuran ini telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang hak pengelolaan tanah,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti warga desa yang mendapatkan kriminalisasi oleh aparat karena dianggap melawan. Tercatat sebanyak tiga korban, salah satunya seorang ibu hamil mengalami pendarahan. Menurutnya, tindakan ini dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia.
“Masyarakat mendapatkan kriminalisasi oleh aparat karena dianggap melawan, bahkan diantaranya adalah ibu hamil yang mengalami pendarahan,” tambahnya.
Prabowo menegaskan bahwa LBH Bandar Lampung akan mendampingi warga dan mengawal proses hukum agar permasalahan ini terselesaikan.
“Penggusuran dengan kekerasan seperti ini akan terus terjadi bila tidak ada upaya penyelesaian dari pemerintah. Kami akan terus mendampingi warga dan mengawal proses hukum,” tegasnya.
Jamal, salah satu warga Desa Sabah Balau yang menjadi korban penggusuran menceritakan bahwa tanah yang digusur awalnya merupakan milik PTPN VI.
“Tahun 1985, tanah tersebut diberikan kepada karyawan PTPN untuk digarap agar menambah penghasilan. Namun, tahun 1997, Pemprov Lampung datang dan mengklaim tanah tersebut dengan membawa sertifikat,” ujarnya.
Ia juga menegaskan perkara ini telah menghasilkan keputusan bahwa tuntutan ke dua belah pihak tidak diterima.
“Putusan pengadilan menyatakan status quo, artinya tuntutan Pemprov dan warga sama-sama ditolak. Tidak ada sertifikat asli yang dapat dibuktikan,” tegasnya.
Jamal menjelaskan bahwa korban penggusuran terdiri dari tiga kelompok, yaitu karyawan PTPN yang memenuhi syarat, warga yang membeli tanah dari karyawan PTPN, dan warga yang hanya berstatus sebagai penggarap. Tak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa dirinya termasuk sebagai penggarap.
Lebih lanjut, Jamal menyampaikan telah mendatangi Kepala Desa dan Camat untuk meningkatkan status tanah dengan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT).
“Kami mendatangi Kepala Desa dan Camat untuk membuat Surat Keterangan Tanah,” ujarnya.
Namun, Pemprov Lampung menyatakan SKT tersebut telah dibatalkan sepihak oleh Kepala Desa tanpa melalui pengadilan. Hal ini kemudian dijadikan alasan Pemprov untuk melakukan penggusuran.
“Surat itu kemudian dibatalkan sepihak oleh Kepala Desa tanpa pengadilan, dengan dasar itu Pemprov melakukan eksekusi,” ujarnya.
Jamal mengecam kejadian tersebut bahwa seharusnya tanah diserahkan kembali ke PTPN. Tindakan yang dilakukan oleh Pemprov Lampung dinilai melanggar hukum.
“Jika SKT dibatalkan, seharusnya tanah diserahkan kembali ke PTPN, bukan ke Pemprov,” tegasnya.
Tidak hanya menyoroti soal hak sengketa tanah, Jamal juga mengecam Pemprov Lampung yang telah merusak dan menghilangkan properti miliknya. Ia menuntut agar Pemprov segera menggantikan properti warga yang rusak akibat penggusuran.
“Kami kehilangan tempat dan hidup terkatung-katung, saya ingin agar Pemprov segera menggantikan properti kami yang rusak dan hilang,” keluhnya.
Asmawati, salah satu korban penggusuran dan kekerasan turut menyampaikan keluhan dan harapannya kepada Presiden RI Prabowo Subianto agar warga mendapatkan tempat tinggal yang layak.
“Teruntuk Presiden Prabowo tolong bantu kami seadil-adilnya, karena kami belum punya tempat tinggal, kami hidup terkatung-katung sana sini, kadang di sana kadang di sini, tidak ada tempat berteduh,” harapnya.
Reni Yuliana Meutia, selaku Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Sebay Lampung turut hadir dalam konferensi pers ini. Ia menyampaikan perihal uang ganti rugi yang diberikan oleh Pemprov dinilai jauh dari kata layak. Tak hanya itu, menurutnya aparat kini menjadi alat untuk mengintimidasi masyarakat bahkan bertindak represif.
“Uang ganti rugi jauh dari kata layak, bahkan kini aparat menjadi alat pemerintah untuk menakut-nakuti masyarakat,” jelasnya.
Menanggapi kasus ini, Komunitas Solidaritas Perempuan Sebay Lampung memberikan tujuh tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut.
1. Usut tuntas pelaku tindakan represif terhadap warga Sabah Balau.
2. Berikan ganti rugi yang layak atas bangunan dan tanaman warga yang hancur.
3. Sediakan pemulihan trauma bagi warga terdampak, sesuai Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997.
4. Sediakan pemukiman layak huni gratis atau bersubsidi bagi warga miskin ekstrem, termasuk akses air bersih.
5. Berikan ruang pengelolaan lahan kosong tidak produktif kepada warga dengan perjanjian yang mengikat.
6. Berikan pelatihan soft skill dan ciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Lampung.
7. Cabut kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, terutama perempuan.