Teknokra.co : Menyalurkan pandangan bukan hanya tentang merangkai pemikiran dalam bentuk tulisan. Di balik setiap pandangan yang kuat dan memprovokasi, ada keberanian, rasa tanggung jawab, dan integritas. Prinsip-prinsip inilah yang berusaha ditanamkan dalam In House Training (IHT) bertajuk “Kepenulisan Berita Opini” yang diadakan oleh Unit Kegiatan dan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) melalui via Zoom Meeting pada Selasa, (5/8).
Dalam IHT tersebut menghadirkan pembicara utama, seorang jurnalis berpengalaman sekaligus penulis profesional dan penggiat literasi, yaitu Maspril Aries. Dalam pemaparannya, Maspril menekankan bahwa opini yang kuat lahir dari proses berpikir kritis, membaca, riset, serta kepekaan intuisi.
“Menulis opini itu bukan soal pintar merangkai kata, tapi tentang bagaimana kita bertanggung jawab pada apa yang kita tulis,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia berpesan kepada anggota aktif UKPM Teknokra Unila untuk tidak merasa tertekan dengan kritik dan tidak terburu-buru merasa puas dengan karya pertama mereka. Ia menegaskan bahwa dalam proses menulis opini, dibutuhkan ketahanan untuk melakukan perbaikan, menambahkan informasi, memperkuat argumen, hingga karya tersebut siap untuk diterbitkan.
“Ya kalian tidak perlu ragu untuk menulis suatu artikel dan jangan takut dengan kritik, tapi jangan terlalu puas dengan karya pertama, dan perhatikan lebih teliti prosedur tulisan hingga siap diterbitkan,” tambahnya.
Salah satu topik yang turut dibahas dalam pelatihan ini adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam menulis. Maspril berbagi pengalaman menerbitkan karya yang dikembangkan AI berjudul “Obituari yang Tak Pernah Ditulis”. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam menyebutkan peran AI.
“Saya beri disclaimer bahwa tulisan itu dikembangkan oleh AI. Itu bagian dari etika,” katanya.
Menanggapi pertanyaan anggota UKPM Teknokra, Alfian Wardana, tentang konten AI tanpa sumber di media sosial, Maspril menilai hal tersebut dapat menyesatkan publik.
“Kalau ngambil dari AI, ya sebut. Ngutip jurnal, ya tulis juga. Jangan seolah-olah semua dari kepala kita,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan standar minimal penulisan opini untuk media massa. Untuk media lokal seperti Lampung Post, panjang tulisan idealnya sekitar 1.000 kata atau empat halaman ketikan agar opini utuh dan berbasis data.
“Kalau bilang RTH berkurang, buktikan. Ambil data 2010 bandingkan dengan 2025. Itulah tugas penulis opini—menyajikan fakta dan solusi,” katanya.
Ia pun berpesan agar peserta menanamkan prinsip keberanian untuk terus menulis. Maspril menyebut bahwa semua penulis pasti pernah mengalami penolakan, namun hal tersebut tidak boleh menjadi hambatan.
“Saya juga pernah ngirim tulisan dan tidak dimuat. Ya kirim lagi. Coba media lain. Bukan kita yang menentukan tulisan kita layak dimuat, biarkan redaktur yang menilai,” ungkapnya.
Maspril juga mendorong peserta untuk kembali mengaktifkan blog pribadi sebagai wadah ekspresi sekaligus latihan menulis sebelum berani mengirim ke media nasional maupun lokal.
“Penting untuk membangun portofolio. Blog itu seperti galeri tulisan kita. Jangan nunggu tulisan sempurna dulu baru berani tampil,” pungkasnya.