Untung Sulam Usus & Kain Perca

Kerajinan Kain Perca
311 dibaca

teknokra.co-“Modalnya nol rupiah, hanya dengan kemauan keras akhirnya saya bisa menjadi seperti sekarang ini,” tutur Marni Nazaruddin, pemilik butik sulam usus “Nabilla” Natar, Lampung Selatan.

Produk sulam usus Lampung karya Marni ini turut diikutsertakan dalam ajang Pameran Kedutaan Besar Republik Indonesia sejak 2006 di beberapa negara, yaitu Malaysia, Dubai, Jepang, Singapura dan Amerika. Karena banyaknya permintaan, produk sulam usus yang semula hanya dapat ditemukan di butik kediamannya mulai ia distribusikan ke beberapa wilayah di tanah air.

Di Jakarta misalnya, sulam ususnya dapat dijumpai di Gedung Smesco, Pancoran. Bukit Pands Collection di Semarang, Jawa Tengah, serta di Samarinda tepatnya di butik Jalan Juanda Komplek Wijaya Kusuma. Di Lampung sendiri, produknya  dipamerkan di Hotel Sahid serta Hotel Grand Anugerah. Tak hanya menjadi konsumsi domestik, berkat ajang Life Style Inacraft Malaysia yang diikutinya setiap tahun, sejak 2006 peminat sulam usus dari negeri Jiran cukup banyak. Ia mengaku sampai kewalahan karena banyaknya pesanan baik dari dalam maupun luar daerah.

Omzet yang ia peroleh kini mencapai sekitar 100 juta rupiah, dengan pendapatan bersih rata-rata 30 juta per bulan. Harga jual produk sulam ususnya relatif tinggi, berkisar antara lima ratus hingga tujuh juta rupiah, tergantung bahan dasar yang digunakan dan kerumitan desain pakaian.

Marni tak memiliki latar belakang pendidikan desain ataupun mode. Ia hanya lulusan Sekolah Menengah Atas.  Dulu, ia hanyalah seorang penjahit, yang hanya bekerja saat menerima pesanan. Karena himpitan ekonomi sejak suaminya di PHK dari Bank swasta tempatnya bekerja. Penghasilannya pun tak mencukupi. Tak jarang mereka berpindah dari satu kontrakan ke kontarakan lain. Ia pun sempat bekerja sebagai distibutor kue kering, dan akhirnya bangkrut kehabisan modal.

Kesulitan ekonomi itu yang memaksanya nekat mengembangkan usaha menjadi desainer sulam usus dengan memanfaatkan kain bekas yang diperoleh dari kakaknya. Hanya dengan belajar secara otodidak, wanita asal Kebumen itu memulai karirnya menjadi pengusaha butik sejak tahun 2005. Tak berselang lama, di tahun berikutnya, 2006  karirnya kian gemilang.

Sebagai pelengkap produk sulam ususnya, Marni memadukan beragam aksesoris yang dikreasikannya dari kain perca. Ternyata kain perca yang biasa dibuang ini bisa disulapnya menjadi aksesoris cantik. Aksesoris yang diproduksinya berupa bros, jepit rambut, bandana, gelang dan kalung. Aksesoris ini dijual secara terpisah, harga jualnya pun beragam dari tiga ribu higga seratus ribu rupiah.

Kain perca adalah sisa potongan kain dari penjahit atau industri garmen, yang biasanya tidak dipakai lagi. Penggunaan kain perca sebagai bahan untuk membuat kerajinan dapat mengurangi sampah yang akan dibuang, serta dapat menambah penghasilan. Peralatan yang diperlukan untuk membuat beragam aksesoris dari kain perca ini cukup sederhana, yaitu gunting, jarum,  benang jahit, penjepit dan lem. Proses pembuatannya pun relatif mudah. “Hanya diperlukan ketekunan, bahan yang bewujud limbah ini bisa ditingkatkan nilai ekonomisnya,” ungkap Marni.

Produk aksesoris buatannya pun cukup diminati masyarakat. Banyak permintaan datang dari berbagai daerah. Way Kanan misalnya, daerah itu merupakan pemasok tetap aksesoris perca milik Marni. Seperti halnya sulam usus, kain perca turut ia pamerkan dalam setiap ajang pameran.

Upaya pemanfaatan limbah perca ini pun menuai pujian dari masyarakat setempat. Tak jarang Marni diundang sebagai pemateri pemanfaatan limbah di berbagai kegiatan berskala daerah. Antara lain, sebagai pemateri pada pelatihan pemanfaatan limbah di Way Kanan, serta menjadi tutor dalam rangka program pemberdayaan perempuan di Pringsewu.

“Untuk menjadi pengusaha, kita harus berani mencoba dan jangan pernah takut gagal,” ungkapnya memberi saran. Ia sangat menyayangkan, rendahnya minat remaja dan pemuda untuk belajar berwirausaha. Banyak pelatihan dan pembekalan ia berikan di beberapa daerah dirasa kurang memotivasi kaum muda.

Tidak ada perubahan yang nyata pasca pelatihan. Karena mengedepankan nilai gengsi yang tinggi, para pemuda cenderung enggan berwirausaha yang harus dirintis dari nol. Marni pun mengaku sangat antusias jika ada kaum muda yang ingin belajar ke rumahnya. Menurutnya, berbagi ilmu dan pengalaman itu takkan ada habisnya.

Laporan : Esty Indriyani Safitri

Editor : Vina O.

Exit mobile version