Budaya  

Iwan Fals Tak Cuma Mendendang

Tangan Iwan Fals mengayun ke atas, saling menepuk kedua lengan. Perlahan ia rebahkan, mengibas kiri dan kanan.
394 dibaca
Tangan Iwan Fals mengayun ke atas, saling menepuk kedua lengan. Perlahan ia rebahkan, mengibas kiri dan kanan.
Tangan Iwan Fals mengayun ke atas, saling menepuk kedua lengan. Perlahan ia rebahkan, mengibas kiri dan kanan.

 

Kedua tangannya mengepal erat. Makin lama, tempo geraknya makin cepat penuh energi. Sesekali ia menahan laju nafasnya, lalu menghentaknya keras-keras.

Ribuan penonton yang memadati Lapangan Gelanggang Olahraga Saburai dibuat terenyak, takjub menyaksikan khusyuknya ia menyanyikan laguCinta. Setiap gerakan tangan, tubuh pun suara yang keluar darinya, sekelebat ditiru penonton kebanyakan.

Itulah lagu terakhir Iwan Fals malam itu, Senin 18 Juli dalam tur sprititualnya bersama Ki Ageng Ganjur—grup marawis asal Jogyakarta. IkonOrang Indonesia (Oi) itu menembangkan enam lagu yang sudah akrab di telinga para pemujanya. Mereka bernyanyi, berjingkrak, melambaikan tangan atau sekadar kikuk ikut-ikutan meniru liriknya.

Penampilan Iwan Fals malam itu tak biasa, tak sekadar konser belaka. Ia bersama belasan pemusik mawaris Ki Ageng Ganjur berbaur mengusung pesan dakwah. Lirik lagunya diaransemen ulang, dipadu khasnya suara gamelan. Pesan lagu dibedah, dipadankan maknanya dengan nilai-nilai ajaran Islam.”Kita mengaji versi Iwan Fals,” seru Al Zastrow, pimpinan grup mawaris sekaligus pendamping Iwan saat tampil.

Pentas bertajuk Perjalanan Spiritual Iwan Fals Bersama Ki Ageng Ganjur tak sebatas tema. Ia benar-benar mengajak kepada yang hadir, para santri, bapak dan ibu-ibu pengajian—yang sengaja diundang, dan ribuan penggemar Iwan Fals untuk berkhidmat. Terlebih mengingatkan agar umat muslim mendekatkan dirinya pada sang pencipta menjelang datangnya bulan suci Ramadan.

Zastrow, pria berlogat Jawa itu rajin menafsir setiap lagu Iwan, menyusupinya dengan nilai-nilai agama. Simaklah bagaimana Zastrow berdakwah saat Iwan hendak menembangkan lagu pertamanya Sore Tugu Pancoran yang bercerita tentang getirnya perjuangan seorang bocah miskin menghadapi kerasnya kehidupan.

“Sekarang makin banyak orang miskin. Orang kaya pada pelit gak mau berbagi dengan si miskin. Islam menganjurkan agar orang kaya mau berbagi pada si miskin,”ujar pria berambut gondrong berbalut blankon hitam itu.

“Mungkin yang salah pak kyai nya juga, gak bisa nasehatin orang kaya untuk saling memberi,” celetuk Iwan.

“Sudah, kyai sudah sering nasehatin, tapi tetap saja orang kayanya pada pelit,” sanggah Zastrow sambil guyon.

Selain Sore Tugu Pancoran dan Cinta, Iwan Fals membawa penonton yang disebut Al Zastrow, campuran antara penonton santri, Oi, dan Slankers itu dengan lagu Kota, Sarjana Muda, Ku Menanti Seorang Kekasih dan Tanam Siram Tanam. Nampaknya, lagu-lagu itu sengaja benar dipilih karena punya pesan nilai yang kuat, greget dan ngena dengan kondisi kekinian.

Kota, lagu bertema kompleksitas masalah perkotaan semisal berjejalnya masyarakat miskin, pengangguran, sikap tak acuh, juga penuh janji palsu itu dibumbui dengan ajakan agar masyarakat kota menuju perubahan ke arah yang lebih baik.

“Jangan seperti kota di jauh sana, kota metropolitan tapi masyarakatnya sering tawuran, banyak pengangguran. Islam terbuka ke arah perubahan tapi perubahan ke arah yang lebih baik,” ujar Zastrow. “Seperti kota Bandarlampung yang mengalami perubahan tapi masyarakatnya tetap kondusif,” disambut sorak sorai penonton.

Iwan Fals lalu menghentak penonton yang umumnya anak muda itu dengan lagu Sarjana Muda. Sebuah lagu penuh sindiran untuk para jebolan perguruan tinggi yang menganggur. Tak punya bekal mencari kerja. Ilmu yang didapat di bangku kuliah berasa sia-sia. Terlebih si mahasiswa umumnya tak punya skill, cuma mengandalkan ijazah semata.

Tapi toh lagu ini nyaris dilantunkan semua penonton yang hadir, apalagi bila sudah sampai pada refnya “engkau sarjana muda, susah mencari kerja…” Boleh jadi buat penyandang predikat itu, merinding mendengarnya. “Gimana mau dapat kerja orang yang dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan,” seloroh Zastrow. “Mungkin karena pengaruh lingkungan juga,” Iwan menimpali.

Iwan Fals lalu mengajak penonton untuk rajin menanam pohon lewat tembangnya Tanam Siram Tanam. Lebih jauh lagi menanam “pohon kehidupan” sebagai bekal hidup masa mendatang. Ini lagu spesial, karena perjalanan Iwan diwarnai dengan aksi tanam pohon bersama para santri di setiap tempat yang disambangi. Di Bandarlampung, rombongan mengunjungi pondok pesantren Gustanul Falah di Kaliawi dan bersama-sama menanam pohon.

KEMUNCULAN IWAN Fals sudah dinanti penggemarnya sejak magrib. Berduyun-duyun orang berdatangan, menyusup ke pagar pembatas panggung. Namun, mereka rupanya mesti bersabar karena tokoh idola baru muncul sejam kemudian.

Agak kontras, muda-mudi yang sengaja datang untuk berdendang bersama Iwan Fals dengan para santri atau bapak dan ibu-ibu yang datang untuk pengajian. Santriwan dan santriwati memakai pakaian putih-putih, berpeci dan berjilbab. Para muda-mudi, penggemar Iwan Fals—Oi berbaju hitam-hitam, mengusung berbagai bendera; Merah putih, Oi, Slankers.

Sebuah pesan singkat meluncur dari seorang teman, “Haha…salah kostum nih…” Boleh jadi itulah gambaran di benak para penonton kebanyakan. Ini baru soal pakaian.

Pentas malam itu dibuka dengan suguhan musik mawaris—ketimuran. Para pemusik juga pendendang mengenakan jubah dan peci putih. Mereka menari Zapin—tarian khas Arab—meliuk membungkuk dengan tangan dan kepala yang mengangguk-angguk.

Tak lama, sekitar pukul 20.00 sajian musik dihentikan. Pembawa acara membaca susunan acara; pembukaan, pembacaan silsilah, istigasah—doa meminta pertolongan. Terasa membosankan,kaku dan penonton dibuat kikuk.

Tapi toh penonton mestinya sadar, acara itu memang didesain spesial; lebih pada dakwah lewat tumpangan lagu-lagu Iwan Fals. Tak laju bersorak saat para kyai duduk bersila di panggung, membaca doa dan puji-pujian kepada sang khalik. Atau bertepuk tangan saat pembacaan doa usai. Meski sebenarnya ekspresi itu ditujukan karena penonton saking tak sabar bersua idola.

Perjalanan spiritual, benar-benar multi makna, multi efek. Penonton tak sebatas berjingkrak, namun mendapat bekal siraman jiwa. Al Zastrow adalah otak dari pertunjukkan itu. Ia memadukan misi dakwah dengan sajian berbeda. Tak seperti umumnya, lewat ceramah di masjid atau tempat lainnya yang berfokus tok pada si penceramah. Ia cerdik, mengajak duet Iwan Fals yang punya lagu-lagu sarat pesan kehidupan cum digemari banyak kalangan.

Penonton yang umumnya awam, diajak dekat dengan Islam. Mengenalkan simbol ajaran, lewat penuturan sejarah nabi hingga pandangan terhadap kehidupan pesantren. “Pesantren bukan sarangnya teroris. Pesantren tempat menimba ilmu agama,”ujar Zastrow. Pesan budaya pun dibungkus lewat instrumen musik seperti gamelan. Atau pada selendang biru bermotif tapis yang terkalung di pundak Iwan Fals.*

Oleh : Supendi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =