Merajut Toleransi Beragama di Kota Santri

377 dibaca
Lintya (19) bersama teman-temannya merayakan Hari Guru di SMA Negeri 3 Pandeglang, pada (25/11/17).

teknokra.co: “Tidak masalah sekolah di mana pun, yang penting saling toleransi,” ujar Lintya (19) yang baru dua tahun lalu menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Pandeglang, Banten.

Lintya merupakan salah satu siswa non-muslim yang bersekolah di lingkungan pendidikan dengan mayoritas siswanya beragama Islam. Beruntungnya, berdasarkan pengakuannya, ia sebagai pemeluk agama Buddha tidak pernah mendapatkan diskriminasi apapun dari guru dan teman-temannya. Bahkan, ia bisa aktif menjadi pengurus organisasi yang ada di sekolahnya.

Menurutnya, yang paling utama adalah sikap saling menghargai, agar terjalin keharmonisan antarumat beragama. Sehingga, ia dapat bersahabat baik dengan teman-teman yang berbeda agama di sekolahnya. Ketika perayaan Idul Fitri, perempuan yang menempuh pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas di wilayah Kabupaten Pandeglang ini rutin berkunjung ke rumah teman Muslim untuk mengucapkan selamat lebaran.

“Dari SD sampai tamat SMA, saya tidak pernah mendapatkan cacian terkait agama saya dari teman-teman maupun dari guru. Kita saling sharing satu sama lain,” kata Lintya saat dihubungi via telpon pada Senin (19/10)

Belum ada Pelajaran Agama Buddha di Sekolah

Dulu, setiap pagi Lintya bergegas menuju ke sekolah menggunakan ojek. Sesampainya di sekolah ia belajar seperti siswa lainnya. Namun, untuk pelajaran agama di sekolahnya belum ada pelajaran agama Buddha. Sehingga, ia terpaksa menunggu di perpustakaan sampai kelas agama Islam selesai. Sebab itulah ia berharap agar di daerahnya segera ada yang membangun sekolah khusus untuk agama Buddha atau sekolah negeri yang menyediakan guru pelajaran agama Budha.

“Jadi kalau belajar agama, saya ke vihara. Nanti waktu ujian gurunya minta soal ke vihara. Kita kurang dapat ajaran tentang agama Buddha. Kalau misalnya ada sekolah yang mengajarkan agama Buddha lebih bagus. Karena masih ada anak-anak yang butuh pengetahuan ajaran Buddha,” harapnya.

Toleransi serupa juga terjadi di Yayasan Mardi Yuana, Labuan, Pandeglang. Sekolah milik Katolik ini tidak hanya menerima siswa yang beragama Katolik, namun menerima juga siswa dan siswi dari agama Islam, Protestan, dan Buddha. Bahkan, mayoritas siswanya adalah Muslim. Guru-guru yang mengajar pun beragam, 4 orang beragama Katolik dan 5 orang beragama Islam.

“Mereka toleransinya sangat baik, tidak pernah konflik. Ketika belajar agama, yang Islam belajar langsung dengan guru beragama Islam. Untuk Katolik, Buddha, dan Kristen belajar budi pekerti,” tutur Agustinus Sutarji, operator Yayasan Mardi Yuana saat dihubungi (22/10).

Pembina Yayasan Dharmalokapala Labuan Pandita Sumedho mengatakan kehidupan beragama di sekolah-sekolah wilayah Labuan sangat damai. Tidak pernah ada gesekan antarumat beragama di tempat ini. Mereka saling menghargai serta menghormati satu sama lain.

Sejak mengabdi sebagai pandita di Vihara Buddha Ratana Labuan, ia tidak pernah mendengar ada konflik antarsiswa berbeda agama. Sekolah pun, menurut Sumedho, tidak memaksa siswa untuk menjadi satu agama. Para orang tua tidak risau menyekolahkan anaknya dari SD hingga SMA karena tidak ada sekat antaragama, juga tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membeda-bedakan. Hanya, ketika sudah mulai memasuki perguruan tinggi, mereka baru ke luar kota karena tidak ada universitas di sana.

“Ini luar biasa. Dari sekolah pun tidak memaksa agama. Buddha nggak ada sekolahnya, Buddha masuk aja ke Muslim. Tidak pernah saya mendengar itu,” ucapnya Sabtu sore (17/10) itu ketika berdialog dengan para jurnalis lembaga pers mahasiswa (LPM), peserta kegiatan workshop bertema toleransi dan kebebasan beragama yang diadakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Kegiatan workshop ini sendiri digelar secara online selama 10 hari, 9-20 Oktober 2020, dengan melibatkan peserta dari LPM yang berasal dari kampus di daerah Palembang, Lampung, Banten, Jakarta, Bandung, Pekalongan, Semarang, dan Kudus.

Pandita yang aktif di Kementrian Agama RI ini juga mengatakan impian umat Buddha di Labuan agar di wilayah ini segera merealisasikan sekolah khusus agama Buddha. Namun begitu, ia mengakui masih terkendala kurangnya sumber daya manusia (SDM) guru yang dapat mengajar di sekolah itu nantinya. Ia berharap suatu saat nanti harapan membangun sekolah Buddhis di area Labuan dapat terwujud.

“Keinginan mah ada buat bangun sekolahan. Tapi SDM kita belum siap karena letaknya jauh dari Jakarta. Kita sedikit kesulitan mencari guru atau pendidik pelajaran agama Buddha. Ada sekolah yang minta guru agama Budha, tapi belum kita penuhi. Kita hanya berikan layanan soal-soal untuk UTS dan UAS,” imbuhnya.

Hal ini juga, masih menurut Sumedho, sudah disampaikan kepada Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Buddha. Namun lagi-lagi terhambat guru-guru yang minim untuk mengajar agama Buddha. Oleh karena itu, perguruan tingi agama Buddha di Indonesia sekarang ditambah. Sehingga, nanti berharap ke depan bisa menciptakan guru-guru agama Buddha.

Menguatkan Toleransi di Pandeglang

Keharmonisan kehidupan lintas agama di dunia pendidikan Kabupaten Pandeglang seolah tidak mungkin jika melihat fakta-fakta intoleransi yang pernah terjadi di wilayah ini. 2018 lalu Alnoldy Bahari seorang penulis warga Kampung Gadog, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, dipenjara dengan pasal penodaan agama. Ia bersama istrinya diusir dari tempat tinggalnya. Rumahnya mendapat banyak teror dan penyerangan dari warga sekitar.

Kasus ini bermula dari status-status yang ditulis Alnoldy di akun Facebook miliknya. Dalam salah satu unggahannya, Alnoldy menulis jika seseorang bersyahadat, orang tersebut harus menyaksikan Tuhan secara langsung. Unggahan ini kemudian dipersoalkan. Polisi kemudian menangkap Alnoldy yang merupakan pemimpin sebuah padepokan di Desa Cikadu, Kecamatan Cibitung, Pandeglang.

Persekusi atas nama agama dan keyakinan lainnya terjadi pada tahun 2011 di Pandeglang, wilayah yang mempunyai sebutan sebagai kota santri. 6 Februari 2011 jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, diserang ribuan orang. Para penyerang tidak suka dengan paham keislaman jemaat yang dinilai berbeda dengan ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memfatwa sesat Ahmadiyah.

Akibat penyerangan ini, tiga orang tewas, satu mobil, satu motor, dan beberapa rumah hancur diamuk orang-orang yang tersulut kebencian. Padahal, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah melarang siapapun melakukan kekerasan dan tindakan melanggar hukum lainnya terhadap jemaat Ahmadiyah. Meski demikian, SKB tersebut dinilai jemaat Muslim Ahmadiyah dan para pembela hak asasi manusia (HAM) sebagai aturan yang diskriminatif.

“SKB tentang Ahmadiyah dan Perber 2006 (Peraturan Bersama 2 Menteri) tentang Pendirian Rumah Ibadah adalah aturan-aturan diskriminatif yang bertentangan dengan HAM,” tegas Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra yang turut mengisi materi HAM dan Kebebasan Beragama dalam workshop yang diadakan SEJUK ini.

Rumah ibadah non-Muslim yang ada di Pandeglang juga tidak satu pun yang difasilitasi oleh pemerintah untuk diberikan izin mendirikan bangunan (IMB). Sehingga, rumah ibadah umat agama selain Islam akan selalu sulit mendapatkan IMB di Pandeglang karena terkendala Perber 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah yang diskriminatif.

Namun, di balik tantangan-tantangan tersebut Lintya dan warga non-Muslim lainnya di Kabupaten Pandeglang diterima dengan baik di sekolah-sekolah mereka yang mayoritas siswanya beragama Islam. Termasuk keberadaan Yayasan Mardi Yuana, dengan Taman Kanak-kanak (TK) dan SD milik Katolik, yang berlokasi di Jl. Perintis Kemerdekaan No. 205 Labuan, dengan mayoritas siswa dan gurunya beragama Islam. Mereka hidup damai berdampingan dan tidak pernah terjadi konflik antaragama.

Ketika daerah lain di Banten terus bergumul dengan persoalan toleransi umat beragama, Pandita Sumedho justru dengan bangga menunjuk Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, sebagai tempat percontohan kerukunan umat beragama.

Penulis: Sri Ayu Indah Mawarni


Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Exit mobile version