Teknokra.co : Gelar Doktor Kehormatan atau yang dikenal dengan istilah Doktor Honoris Causa (HC) merupakan gelar yang diberikan perguruan tinggi kepada seseorang yang memiliki jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi maupun bidang kemanusiaan. Dengan mudah, gelar tersebut bisa didapat seseorang atas jasanya, tanpa perlu menempuh pendidikan doktor.
Pemberian gelar HC kerap menjadi perdebatan, sebab tak semua perguruan tinggi dapat publikasi aturan pemberian gelar tersebut untuk bisa diakses oleh civitas academica. Padahal, keberadaan aturan tersebut penting untuk mengetahui tata cara pemberian gelar, serta kriteria penerima gelar kehormatan di masing-masing perguruan tinggi.
Sebaliknya, dengan aturan baku yang tidak publikasi, bakal muncul spekulasi, bahwa terdapat transaksi tertentu antara pihak kampus dengan calon doktor kehormatan.
Itulah yang baru-baru ini dilakukan oleh Universitas Lampung (Unila), yang beberapa hari lalu memberikan gelar HC kepada alumnusnya sekaligus tokoh politikus dan juga pejabat publik di Lampung.
Pemberian gelar tersebut kepada tokoh politikus dan pejabat publik akan terus terjadi. Sudah saatnya untuk melakukan moratorium dan mengkaji ulang aturan. Secara serampangan, sudah sepatutnya perguruan tinggi menghentikan pemberian gelar doktor kehormatan kepada para pejabat publik. Dan tak semestinya, pemerintah dan pengelola kampus mengakomodasi para pejabat, politikus, dan penguasa yang sedang keranjingan menyandang gelar pendidikan secara mudah.
Yang tengah beredar di media massa, bahwa kampus hijau itu memberikan gelar HC berlandaskan salah satu program pejabat publik, khususnya di bidang pertanian yang sampai saat ini belum terlihat jelas bentuk nyata, serta kesuksesan program tersebut.
Nyatanya, tepat satu bulan yang lalu saat perayaan hari tani, ribuan para petani di Lampung lakukan aksi demonstrasi untuk menuntut berbagai hak dan menyuarakan keresahaannya. Ini sebuah isyarat, bahwa Unila hanya mampu melihat dengan kacamata kuda, sehingga tak lagi mampu melihat persoalan yang tengah ada di masyarkat.
Saya menduga, bahwa kampus hijau itu tengah mengobral gelar HC, yang diberikannya baru-baru ini kepada salah satu politikus, dan juga pejabat publik di Lampung. Jika hal itu benar adanya, maka marwah dan moralitas akademis Unila benar-benar tercoreng dan mengalami degradasi yang cukup mendalam, lantaran, saya menduga pemberian gelar kehormatan ini memiliki muatan politis yang cukup kuat, dilihat dari momentum pemberian gelar yang juga seraya dengan tahapan pemilu tahun 2024 mendatang, serta sang penyandang gelar pun juga merupakan seorang politikus.
Tepat 3 Maret bulan lalu, telah dilakukan aksi penolakan, sebagai tanggapan dari pemberian gelar HC kepada Erick Thohir. Kritik yang disampaikan massa dalam upaya penolakan pemberian gelar tersebut, salah satunya mengenai regulasi yang digunakan. Bukan tak mungkin, apabila terjadi pemberian gelar kehormatan oleh Unila terhadap tokoh non-akademik, yaitu penguasa dan politikus, maka di hadapan kita semua, hal serupa juga akan bisa terjadi.
Hal tersebut cukup menjadi alasan, mengapa pemberian gelar doktor kehormatan mengalami penolakan dari berbagai pihak? Lantaran, sebuah isu yang berkaitan dengan regulasi dan independensi perguruan tinggi dalam bersikap. Sebagai institusi perguruan tinggi, Unila hendaknya memegang teguh dan berpedoman pada prinsip-prinsip akademik dalam menjalankan kegiatan, terutama kegiatan yang berkaitan dengan akademik.
Didasari dengan upaya supremasi kebebasan akademik, hendaknya pemberian gelar kepada non- akademisi juga harus dilakukan proses seleksi yang lebih ketat, agar kompetensi dan reputasi kampus dapat dibuktikan sebagai kontribusi pengembangan keilmuan di perguruan tinggi.
Pemberian gelar doktor kehormatan secara sembarangan, dapat menjadi bentuk pengkhianatan atas dedikasi civitas academica yang telah berjuang dengan berbagai cara untuk menempuh sebuah gelar akademik. Untuk menghindari hal serupa, perguruan tinggi hendaknya melakukan penolakan pemberian gelar doktor kehormatan, maupun jabatan profesor kehormatan kepada tokoh, politikus ataupun pejabat publik yang tidak memiliki kontribusi yang signifikan dan luar biasa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Opini ini ditulis oleh Ghraito Arip H, Mahasiswa Unila Jurusan Ilmu Hukum, Angkatan 2020.