Opini : Unila dalam Pusaran Politik dan Kekuasaan

Ilustrasi : Ghraito Arip, (Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Angkatan 2020)
968 dibaca

Teknokra.co : Universitas Lampung (Unila) telah lama diakui sebagai tempat berkembangnya gagasan, wacana, dan pemikiran kritis. Selain menjadi pusat pendidikan, kampus juga merupakan panggung bagi berbagai perdebatan dan diskusi mengenai isu-isu penting dengan pendekatan akal sehat yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam hal ini, “akal sehat” merujuk pada pendekatan rasional, argumentatif, dan berdasarkan fakta yang mampu memicu pemikiran kritis serta mendukung audiens dalam mengambil keputusan informatif.

Pengakuan itu kian tergerus, kini ketakutan penulis akan sebuah kisah dan makna dalam film ”Oppenheimer”, yang menggambarkan betapa bahayanya jika seorang Ilmuwan beserta hasil karyanya dikooptasi kekuasaan, kian tercium dalam praktik yang diduga tukar tambah politik di beberapa Ilmuwan, yang didambakan sebagai mentor intelektual para mahasiswa di kampus.

Bongkar Tukar Tambah Politik Kekuasaan

Unila sebagai kampus idaman bagi sebagian pelajar di provinsi Lampung juga tak luput dalam hal yang dianggap sebagai “tukar tambah” politik dengan para Politisi maupun pemangku kekuasaan. Anggapan tersebut bukanlah tanpa landasan, lantaran praktik tersebut sangat mudah dibaca dengan mata terbuka. Mulai dari pemberian gelar doktor kehormatan atau yang biasa disebut Honoris Causa (HC) terhadap Politisi, dan Kepala Daerah yang menurut pasal 35 statuta Unila memiliki jasa-jasa luar biasa terhadap berbagai bidang akademis maupun sosial kemasyarakatan.

Pemberian gelar HC terhadap Gubernur Lampung beberapa waktu lalu, Unila mengklaim bahwa itu berdasarkan karya yang dinilai luar biasa dalam mewujudkan Pembangunan Lampung dengan Program Kartu Petani Berjaya (KPB).

Dalam hal ini, Penulis sangat merasa miris ketika Tim Penilai yang dibentuk oleh Rektor Unila, yang berisi para Ilmuwan dan Begawan akademik yang bertugas melakukan evaluasi terhadap karya-karya luar biasa, yang diajukan oleh calon penerima gelar HC tersebut menyatakan layak. Hal ini tentu bertolak belakang dengan film dokumenter “Tandur” yang dirilis Konsentris.id. Dalam film tersebut, menggambarkan kondisi petani yang betapa mirisnya keberlangsungan KPB sebagai program untuk kesejahteraan petani, justru memiliki keterpurukan bagi petani di Lampung.

Bila mengingat bersama, beberapa waktu sebelum pemberian gelar HC, Rektor Unila baru saja melakukan serah terima hibah tanah di Kota Baru, Lampung seluas 150 hektare. Lantas jasa luar biasa apa yang sebenarnya membuat kampus hijau yang berisi para Ilmuwan ini dengan mudah memberikan gelar HC terhadap Gubernur Lampung? Apakah karena hibah tanah 150 hektare? Atau program KPB yang  belum terdeteksi keberadaan serta manfaatnya bagi Petani?

Tak hanya kepada Kepala Daerah provinsi Lampung, gelar HC juga diberikan terhadap Politikus sekaligus mantan Walikota Bandar Lampung. Melalui situs resmi Unila, tak nampak jasa-jasa luar biasa yang diberikan oleh sang Politikus di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Namun ternyata, bila kita lihat beberapa bulan sebelumnya, istri dari Politikus tersebut menjanjikan bantuan Pembangunan Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RSPTN) Unila sebesar 50 Miliar, serta pembangunan di Fakultas Hukum (FH) Unila. Bagi Penulis, wajar ketika banyak mahasiswa dan beberapa tokoh menganggap, pemberian dua gelar doktor HC tersebut merupakan “tukar tambah” politik Rektor terhadap berbagai jasa yang dianggap luar biasa. Padahal, kampus sebagai tempat berhimpunnya para Ilmuwan semestinya menyadari bahwa elemen-elemen negara harus aktif berpartisipasi dalam melaksanakan kewajibannya yang tertuang dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa apa yang dilakukan pemerintah terhadap aspek kehidupan masyarakat harus dipahami sebagai kewajiban, bukan sebagai hal yang hanya tampak luar biasa. Bila banyaknya dugaan di atas adalah benar, maka ini sebagai landasan untuk menyatakan, bahwa bobrok dan takluknya Unila oleh Politikus dan kekuasaan.

Ke Mana Para Ilmuwan Unila ?

Universitas adalah kekuatan moral, tempat produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para Ilmuwan. Universitas adalah “rumah”, bagi  para Ilmuwan untuk mempertimbangkan masa depan umat manusia, yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pemikiran-pemikiran para Ilmuwan ini yang sejatinya dinilai khalayak sebagai independensi kalangan akademis yang tentu punya perspektif progresif dalam proses kemajuan bangsa.

Tulisan ini ditujukan untuk para Ilmuwan dan pemimpin universitas yang tampak denial dengan kondisi negara yang sedang mengalami degradasi moral, pemberian gelar HC yang ugal-ugalan, rontoknya situasi hukum, niretika dalam praktik-praktik politik dan kekuasaan. Kampus semestinya menjadi pendidik manusia yang susila dan demokratis, tentu harus menitik beratkan pada proses pendidikan karakter yang pangkalnya ialah cinta kebeneran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu hal yang tidak benar. Namun nyatanya, hanya segelintir Ilmuwan yang berani menyatakan hal itu dalam sebuah deklarasi. Penulis mempertanyakan, ke mana para Ilmuwan Unila?

Akademisi yang sehari-hari berada di kampus, memberikan berbagai macam pengetahuan di tataran teori yang ideal tampaknya hanya mampu bersuara di dalam ruang kelas. Ada yang bersuara ke publik, sebagian memang ada Ilmuwan yang mampu memberikan nalar kritis melalui pernyataannya di publik. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih dalam, sang Ilmuwan cenderung dan tampak terlihat partisan. Bagi Penulis, apabila kampus dan para Ilmuwan sudah mulai terkooptasi oleh Politikus dan kekuasaan, hal itu menunjukkan bahwa pimpinan universitas tak lagi mampu membangun landasan yang kokoh terhadap Ilmuwan yang hari ini cenderung bersifat pragmatis dan tidak tegak lurus terhadap nilai-nilai kebenaran.

Penulis menilai, bahwa jubah Ilmuwan yang dikenakan para akademisi kerap kali digunakan hanya untuk “tukar tambah’ kepentingan Politikus dan kekuasaan. Bila diamati secara saksama, para Ilmuwan partisan di kampus hijau yang sering berseteru di media massa, sederhananya dibagi menjadi dua kelompok. Di satu sisi para Ilmuwan yang selalu mengomentari kinerja Gubernur provinsi Lampung dan Walikota Bandar Lampung. Para ilmuwan yang tergabung dalam gerbong-gerbong tersebut, tampak tak objektif melihat persoalan yang ada. Penulis memberikan contoh kejadian yang mungkin akan menjadi perdebatan mengenai hal ini. Yakni saat pemberian gelar HC secara ugal-ugalan terhadap dua Politisi, yang merupakan bagian representasi dari kekuasaan Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung, ke mana para Ilmuwan yang sering berkoar itu? Penulis menduga, mereka sama-sama diam, lantaran sang atasan telah dapat bagian dari gelar HC yang diberikan secara politis tersebut.

Masuknya para Akademisi dalam politik elektoral, bukan hal yang baru di Indonesia. Baik sebagai penasihat kandidat Kepala Daerah, tim kampanye bayangan, hingga membantu dalam pemerintahan setelah kandidat terpilih. Namun, bagaimana dampaknya jika para Akademisi tersebut tidak mendeklarasikan afiliasi politiknya ke publik? Penulis mempertanyakan, apakah di Unila ada? Tentu saja ada, dari pengelompokan sederhana yang ditulis di atas banyak para Akademisi yang menikmati kursi ligna bak duduk yang lupa berdiri di kekuasaan kota Bandar Lampung, maupun di provinsi Lampung. Mulai dari Komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Tenaga Ahli, maupun Konsultan Pribadi para kandidat yang telah menang dalam pemilihan Kepala Daerah. Hal ini menjadi pertanyaan, apakah mereka mendeklarasikan afiliasi politiknya ke publik dan pimpinan kampus? Atau hanya sembunyi di balik jubah Ilmuwan yang dikenakannya?

Unila Bukan Panggung Politikus

Ketika perguruan tinggi terlalu terjun dalam politik, maka dikhawatirkan netralitas dan independensinya akan terganggu, sehingga akan berimplikasi pada kepercayaan masyarakat yang akan semakin berkurang, serta kredibilitasnya akan dipertaruhkan. Bahkan, ketika perguruan tinggi mendukung partai yang kerap melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, menindas rakyat, ingkar janji, dan lain sebagainya. Pada periode Rektor dengan slogan “Be Strong” ini banyak para pejabat dan Politikus kerap kali masuk kampus untuk membranding diri dengan agenda yang dikemas sebagai diskusi publik, seminar maupun kuliah umum. Mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Bupati, bahkan beberapa Menteri datang beberapa waktu menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024 lalu.

Kini kekhawatiran Penulis kembali muncul, di saat momentum menjelang pilkada serentak 2024 dan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Kepada siapakah kampus akan memberi panggung-panggung kampus terhadap Politikus? Sebenarnya, Penulis tidak mempermasalahkan Politikus datang ke kampus, justru kedatangannya kadang kala menjadi privilege bagi mahasiswa aktivis untuk sekaligus menyampaikan aspirasi dan keresahan. Namun, menjadi masalah ketika Politikus yang diundang melakukan kampanye di saat waktunya belum tiba, bahkan dengan menggunakan berbagai macam atribut atau identitas semiotic yang mudah dipahami mahasiswa. Pada kenyataannya, Politikus yang hadir di kampus cenderung enggan menampung dan memperjuangkan saran-saran dari para mahasiswa, lain dari pada itu, kemampuan berdialektika para Politikus sungguh diragukan, lantaran dialog interaktif atau upaya membongkar gagasan sang Politikus  tak diberi ruang lebar dalam setiap agenda kampus. Bahkan, seorang calon Kepala Daerah yang diduga tampak didukung oleh sang Rektor dengan kerap kali saling menghadiri kegiatannya dan tampak romantic pada setiap pertemuan dan aktivitas jalan sehat. Simbol-simbol semacam ini sebenarnya mudah dibaca oleh masyarakat, dengan penggambaran sang kandidat seolah peduli dan dekat dengan dunia Pendidikan.

Unila Harus Steril dari Kepentingan Politik

Unila sebagai perguruan tinggi dengan kultur akademis jika ingin benar-benar menghadirkan Politikus, seyogianya perlu mengusung konsep acara secara terbuka dan transparan bagi seluruh masyarakat kampus. Serta ditunjang dengan memprioritaskan etika akademik, sehingga diskursus yang terbangun akan berbobot dan tidak hanya berorientasi pada indoktrinasi kemenangan saja. Karena jalannya kampanye, pasti selalu diselimuti oleh unsur-unsur kebencian, Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), tindakan tidak etis, dan janji-janji manis untuk meraup suara dan pujian.

Dengan mengusung diskursus secara terbuka dan transparan, kalangan akademik punya kesempatan berdialog dan mengupas gagasan dari Politikus. Ketika dialektika forum yang terjadi adalah menguji ide dan pikiran, narasi yang dilontarkan oleh Politikus tidak akan sama dengan kampanye di pesta-pesta rakyat. Dengan begitu, kualitas Politikus bisa dinilai, dan kampus sejatinya sudah berkontribusi nyata dalam arena politik tanpa terjebak pada pandangan publik sebagai basis kawan (suara) dari partai politik.

Tak hanya itu, membuka ruang bagi Politikus untuk masuk kampus harus senantiasa ditunjang dengan regulasi yang ketat dan rigid. Misalnya, menjamin kampus yang mengundang tidak memiliki kepentingan dengan Politikus dan memberhentikan praktik “tukar tambah” kepentingan dalam setiap kerja-kerja pendidikan. Selanjutnya, memastikan bahwa tidak ada civitas academica yang menjadi anggota partai politik ataupun tim sukses Politikus. Kampus harus menjaga independensi dan dipastikan steril dari keberpihakan.

Opini ini ditulis oleh Ghraito Arip, Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Angkatan Tahun 2020

Editor: Sepbrina Larasati
Exit mobile version