Teknokra.co : Sri Atmiyatun merupakan wanita tangguh yang berasal dari Sumber Makmur. Dimana perjuangan R.A Kartini dalam membela emansipasi wanita Indonesia. Semangat kartini ini lah yang di tunjukkan oleh Sri Atmiyatun, wanita asal Sindang Asih, Lampung Tengah yang kini menetap di hutan register 22 Sumber Makmur, Kabupaten Tanggamus.
Sebagai Kelompok Tani Hutan (KTH). Selama sembilan tahun ia menggantungkan kehidupannya dari hasil kebun seluas satu hektar yang ditanami kopi, kemiri, durian, petai, dan jengkol. Selain itu, ia juga mengurus ternak kambing miliknya dan kambing bergulir hasil hibah dari Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).
Di tengah dominasi petani laki-laki di kawasan hutan, Sri menunjukkan bahwa perempuan pun bisa menjalani peran ganda dengan penuh semangat. Setiap pagi ia turut membantu suami di kebun, lalu mencari rumput untuk ternaknya. Di sela-sela kesibukan, Sri juga membuka warung kecil yang menjual kebutuhan pokok warga sekitar.
“Aktivitas di kebun saya sama kayak laki-laki. Kalo waktu nunas, ya nunas. Waktu mutil, kita mutil. Habis itu ngarit, dan buka warung kecil-kecilan,” ungkap Sri.
Sri pun mengikuti Sekolah Lapang yang difasilitasi oleh YIARI bersama 43 petani lainnya. Di sana, ia belajar membuat pupuk organik cair, pupuk padat, pestisida nabati, hingga minyak kemiri.
“Minyak kemiri, pupuk organik cair, pupuk organik padat, pestisida nabati emang kami di sini buat dari sekolah lapang,” tuturnya.
Meskipun cara pembuatan pupuk organik cukup rumit dan mayoritas petani masih bergantung pada pupuk kimia, Sri tak patah semangat. Berkat ketekunannya, ia kini bisa memanfaatkan kotoran kambing untuk membuat pupuk organik, sehingga dapat menekan biaya pembelian pupuk kimia.
“Lebih ringan di bidang uang kalo pupuk organik,” ujarnya.
Sri berhasil mengurangi penggunaan pupuk kimia dari 100 persen menjadi hanya 60 persen, sementara sisanya digantikan oleh pupuk organik buatan sendiri.
“Pengurangnya itu dari 100% pupuk kimia, jadi 60% yang kimia, 40% yang organik,” jelasnya
Sebagai petani kopi, Sri telah delapan kali memanen hasil kebunnya dengan rata-rata produksi lima kuintal per tahun. Namun, tak semua musim membawa hasil manis. Tahun lalu, iklim ekstrem menyebabkan gagal panen dan hasil panen anjlok hingga hanya satu kuintal.
“Tahun kemarin kami agak gagal. Biasanya dapat minimal 5 kuintal, tahun kemarin cuma dapat 1 kuintal,” keluhnya.
Meskipun hidup dengan keterbatasan tenaga, akses jalan, listrik, dan air menjadi tantangan tersendiri bagi Sri, namun tekadnya untuk terus berkembang membawa Sri menjadi wanita satu-satunya yang menetap di tengah-tengah hutan kawasan, di saat petani wanita lebih memilih untuk tinggal di desa.
“Aku disinilah tinggal, jadi gimana caranya disinilah aku pingin maju, dari sini aku pingin berhasil”, tekadnya.
Sejak 2024, Sri resmi bergabung dengan KTH dan dipercaya menjadi ketua kelompok. Baginya, kehadiran NGO telah membawa angin perubahan, meski perlahan.
“Kalau dari aku, alhamdulillah semenjak ada NGO yang mendampingi kami, meningkat sedikit demi sedikit,” ujarnya.