Air Payau, Sumber Alternatif Air

360 dibaca

teknokra.co : Krisis air kini kerap mendera masyarakat suatu negara, terlebih bila memasuki musim kemarau. Bukan hanya di Indonesia, sumber air bersih semakin menipis dengan adanya konversi lahan basah menjadi pemukiman. Perkembangan industri juga turut memberi efek seperti dampak pencemaran

Menyadari ancaman kelangkaan air bersih yang semakin serius, banyak negara menyadari bahwa sumber air tradisional tidak mungkin lagi dapat diandalkan terus-menerus. Karena kesadaran itulah, salah satu langkah yang terus dikembangkan dewasa ini adalah pengolahan air laut.

Disamping jumlahnya yang tidak terbatas, air laut juga masih dianggap bebas dari pencemaran sehingga air tawar yang dihasilkan aman untuk digunakan. Untuk tujuan tersebut, berbagai metode penyisihan garam (desalinasi) terus dikembangkan.

Namun faktor mahalnya biaya teknologi yang mesti dikeluarkan seperti harga membran (alat penyaring) yang tinggi serta tingginya kadar garam (salinitas) air laut menjadi kendala tersendiri. Penggunaan membran hanya diterapkan di negara-negara maju. Sementara untuk negara berkembang teknologi ini belum terjangkau.

Hal inilah yang kemudian memicu Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unila, Washington Simanjuntak dan rekannya Kasimah Pandiuhan melakukan penelitian selama hampir tiga tahun. Mereka dibantu beberapa mahasiswa bimbingannya. Penelitian ini memilih air payau sebagai objek penelitian yang memiliki kadar garam rendah dibanding ar laut.

Air payau merupakan alternatif yang potensil perolehan air dari sumber non tradisional. Air payau bisa didapati dalam jumlah tak terbatas di daerah pantai dan pada dasarnya masih bebas dari pencemaran.

Kadar garam yang lebih rendah memungkinkan dilakukannya proses desalinasi dengan metode yang lebih sederhana dan murah. Kendalanya adalah kandungan bahan organik, yang secara umum dikenal sebagai natural organic matter (NOM), yang menjadi penghalang desalinasi secara langsung.

Untuk mengolah pengolahan air payau menjadi air bersih, dua komponen utama dalam air payau menjadi dasar pengembangan metode pengolahan. Strategi dasar yang digunakan adalah penyisihan bahan organik terlebih dahulu yang dilanjutkan dengan penyisihan garam (desalinasi).

Proses pengolahannya diawali dengan menyiapkan seperangkat alat percobaan, terdiri dari bejana tempat sampel air payau. Air dialirkan ke dalam perangkat elektroagulasi dengan laju alir tertentu. Alur air diatur menggunakan pompa sirkulasi kecil yang ditempatkan antara bejana dan perangkat elektroagulasi.

Perangkat elektroagulasi terdiri dari sebuah wadah kaca dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 10 cm dan tinggi 20 cm. Wadah ini digunakan sebagai wadah air payau yang dialirkan dari bejana. Elektroagulasi ditempatkan di atas alat pengaduk magnetik agar selama pembiakan mikroorganisme, sampel dapat diaduk secara kontinu.

Pada bagian atas wadah ditempatkan elektroda, sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Elektroda lalu dihubungkan dengan catu daya agar bahan organik mengapung. Kemudian dilakukan proses filtrasi (pemisahan) agar bahan organik tidak tercampur dengan air bersih. Proses ini menghasilkan air air jernih tetapi belum sepenuhnya bebas garam.

Selanjutnya proses desalinasi (pemisahan garam ). Air dialirkan kembali menuju perangkat adsorpsi (penyerap) berupa paralon yang dimasukan bahan campuran padatan. Perangkat ini dihubungkan dengan elektroagulasi dengan menggunakan pipa sirkulasi kecil.

Bahan campuran padatan itu dinamai Absorben berupa batu zeolit yang berasal dari alam yang sudah diaktifasi dan dipanaskan di laboratorium dan arang batok kelapa yang sudah diolah dengan cara khusus.

Proses adsorpsi ini bertujuan menghilangkan kadar garam dan zat-zat berbahaya yang terdapat dalam air. Proses selanjutnya, air dialirkan ke penampungan. Dari proses ini, air payau sudah berubah menjadi air bersih dan layak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. “Tapi belum belum bisa dikonsumsi,” ujar Washington, dosen Kimia FMIPA.

Washington menuturkan, hingga kini ia masih terus meneliti komposisi adsorben yang tepat agar menghasilkan pengolahan optimal. Air tersebut tak hanya bisa dipakai untuk keperluan rumah tangga, seperti mencuci dan mandi namun benar-benar bisa siap dikonsumsi.

Pengolahan arang itu sendiri memiliki teknik khusus,supaya menghasilkan kualitas arang yang baik dan juga asap dari pembakaran arang tersebut bisa dimanfaatkan. Caranya dengan menyiapkan drum berisi air yang dicampur pecahan batok kelapa. Lalu dibakar menggunakan kayu bakar dengan posisi telungkup serta dilapisi tanah liat di bagian atasnya.

Di bagian tengah drum, diberi lubang kecil untuk memasukan pipa logam. Siapkan drum satu lagi dengan posisi tegak yang sudah berisi air. Pipa logam dihubungkan dengan drum dan di ulir-ulir. Pada bagian bawah drum diberi lubang untuk menangkap asap cair. Asap cair dari pengolahan batok kelapa inilah yang bisa dimanfaatkan untuk mengendapkan karet cair (lateks) supaya bisa menjadi bahan karet.

Menurut washington pengendapan karet cair menggunakan asap cair lebih efektif dibanding asam cuka yang biasa digunakan petani. Asam cuka mudah menguap dan beracun. Asap cuka dicampurkan dengan karet cair dan selama dua menit karet cair tesebut menjadi padat hingga menghasilkan warna putih yang lebih menarik.

Washington menuturkan, hingga saat ini penelitiannya masih berskala kecil. Ia berharap dapat mengaplikasikan penelitian yang berskala rumah tangga agar bisa diterapkan dan memiliki nilai guna bagi masyarakat. Biaya yang dibutuhkan sebesar Rp2,5 juta. “Bagaimana mendesain teknologi efisien tinggi dengan biaya semurah mungkin, sehingga masyarakat yang sederhana sekalipun bisa  mengoperasikanya,“ ujar Washington.

Oleh: Rikawati

Exit mobile version