Berbagi Nasi Untuk Sesama

Dhia Fadillah Fatin
270 dibaca

teknokra.co: Jum’at dini hari (26/9), seorang kakek duduk di sebuah sofa yang sudah koyak sambil mendengarkan radio tua. Di sampingnya, wanita paruh baya tertidur pulas berselimutkan sarung kusam. Tak nampak jelas corak maupun warnanya. Di depan sebuah ruko daerah Teluk Betung ini, mereka menghabiskan malam.

Demi melihat sepasang kakek nenek itu, Dhia Fadhilah Fatin yang dibonceng rekannya bergegas turun membawa dua bungkus nasi ditangannya. Tanpa canggung, gadis yang akrab disapa Dhia ini mencium tangan sang kakek, bak cucu yang mencium tangan biyungnya.

“Apa kabar kek?,” sapa gadis berdarah minang itu sambil memberikan sebungkus nasi yang dibawanya tadi.  Tak berselang lama, Dhia menghampiri dan perlahan mencoba membangunkan si nenek tadi dengan penuh kelembutan. Si nenek pun terbangun dan langsung berbincang dengan mahasiswi Jurusan Matematika, FMIPA angkatan 2011 ini.  Terlihat sekali keakraban diantara keduanya.

Setelah memberikan nasi bungkus sambil berbincang santai, Dhia mulai menyusuri jalanan daerah Teluk Betung bersama rekan-rekannya. Udara dingin yang menusuk hingga tulang tak menyurutkan tekad Dhia.  Dibalut jaket hitam miliknya, ia terus menyusuri jalanan untuk menemukan orang-orang yang terpaksa tinggal di pinggir jalan.

Pencetus Gerakan Berbagi Nasi Lampung

Pertemuan pertamanya dengan seorang nenek yang kerap tidur di emperan Bambu Kuning menciptakan rasa empati mendalam. Terlebih, nenek renta yang kerap disapa Halimah itu ternyata menderita katarak yang sudah membuat penglihatannya kabur.  Meski demikian, Halimah tak mau berpangku tangan menunggu belas kasihan seseorang. Jika pagi mulai datang, Halimah bergegas pergi ke bawah Ramayana untuk menjaga toilet. Penghasilannya pun ia gunakan untuk membeli makanan.

Perjuangan sang nenek itulah yang memotivasi Dhia untuk mulai berbagi kepada orang-orang kurang beruntung yang tinggal di jalanan atau emperan toko.  Anak ketiga dari lima bersaudara ini, merupakan pencetus gerakan berbagi nasi pertama di Lampung. Menurut gadis kelahiran 23 Agustus 1993 ini, muncul kebahagiaan saat melihat orang-orang memakan nasi pemberiannya.

Rutinitas berbagi nasi yang telah dilakoninya setahun ini membuat jiwa kemanusiannya terus tumbuh. Ia menyadari masih banyak orang yang kurang beruntung. “Jangankan rumah untuk berteduh, sesuap nasi pun masih sulit didapat,” ujarnya.  Dhia bertekad akan terus menjalankan misi mulia itu.

Berawal dari Hal Kecil  yang Konsisten

Bukan tanpa alasan kegiatan berbagi nasi ini dilakukan hingga dini hari. Dhia ingin niat baik anggota komunitasnya tak salah sasaran. Ia ingin nasi pemberiannya didapatkan oleh orang-orang yang membutuhkan. Besar harapan agar aksi komunitasnya menular pada orang-orang di luar sana. “Harapannya sih, lebih peka, dan lebih menghargai makanan aja. Soalnya di sini banyak yang kurang makanan,” ujarnya. Menurutnya, kegiatan berbagi nasi ini dapat terus berjalan karena semua anggota konsisten pada niat.

Pernah, suatu hari, Dhia menemukan seorang kakek bernama Bajuri.  Bajuri yang berprofesi sebagai tukang becak ini ia temui pertama kali di depan salah satu ruko Ramayana. Meski terkadang pernah sesekali kakek tua ini terlihat tidur dalam becaknya.

Perantauan asal Palembang ini tidak mempunyai sanak-saudara di Bandar Lampung. Hidup lama tanpa memperhatikan kesehatan dan kebersihan tubuh membuat tubuh rentanya dihinggapi penyakit kusta.  Tak tega melihat penderitaan Bajuri, Dhia dan para pejuang nasi berunding untuk membawa kakek tersebut ke rumah sakit.

Setelah dirawat selama seminggu di rumah sakit, Sang kakek akhirnya diperbolehkan keluar.  Seketika itu, kebingungan kembali menggelayuti Dhia dan rekan-rekannya. Wajar saja, sang kakek yang tak memiliki tempat tinggal tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Melihat kondisi tersebut,  muncullah ide untuk mengembalikan sang kakek ke kampung halamannya, di Prabumulih, Sumatera Selatan.

Setelah mencari dana kesana-sini, bantuan muncul dari Dompet Peduli Umat Daarul Tauhid (DPUDT). Akhirnya, empat anggota berbagi nasi berangkat untuk mendampingi perjalanan Bajuri hingga sampai tujuan.

Pengalaman itu makin membulatkan tekat Dhia untuk membantu sesama. Ia pun meyakini bahwa tak ada kebaikan yang tidak dibalas dengan kebaikan.  “Semua hal yang besar, berawal dari hal kecil yang konsisten,” ujarnya meng­akhiri.

Oleh: Rika Andriani

Exit mobile version