Jatuh Bangun Toefl Unila

900 dibaca
1.-jttoefl
Foto: Repro Internet

teknokra.co: Ruang tunggu lantai 2 Balai Bahasa Unila (BBU) mulai dipenuhi puluhan mahasiswa yang hendak mengikuti tes kecapakan berbahasa Inggris atau English Proficiency Test, Kamis 3 November.

Beberapa mahasiswa berdesakan ingin melihat nama yang terpampang di papan pengumuman. Tertera dalam daftar hadir, 117 nama beserta ruang tesnya. Ada empat ruang, A-D. “Harap disiapkan kelengkapan tes seperti pensil, dan jangan lupa membawa KTM asli,” suara dari panitia terdengar memberi aba-aba tes akan segera dimulai. Para peserta tes segera meninggalkan ruang tunggu menuju kelas masing-masing.

Arief Nugroho (Alumni Pendidikan Kimia ’06) sudah dua kali mengikuti tes EPT namun tak kunjung lulus. Skornya masih dibawah 400 sebagai standar kelulusan untuk angkatan 2006 kebawah. Ia lalu disarankan oleh rekannya untuk ikuti kelas intensif.

Arief pun mendatfar intensif di BBU dengan biaya Rp275 ribu. Kesepakatan awal, intenstif dilakukan dengan 16 kali pertemuan atau minimal 12 kali pertemuan. Kenyataannya Arief hanya 4-5 kali pertemuan saja. ”Itu pun 2 kalinya hanya absen saja,” kata Arief.

Mimpi Arief untuk mendapat skor lulus pun terwujud saat kembali mengikuti tes. Anehnya, ia dan sesama rekannya yang mengikuti kelas intensif itu mendapat skor sama, 413.

“Seolah-olah selama ini BBU sengaja tidak meluluskan yang reguler dan memaksa mahasiswa mengikuti intensif dengan cara halus. Yang ikut intensif dijamin lulus. “Saya belum melihat yang sudah ikut intensif dan tidak lulus,” ujar Arief yang kini bekerja di PT Sucofindo.

Cara serupa ditempuh M. Azis (Alumni Sosiologi ’06). Ia baru lulus tes setelah ikut kelas intensif dan hanya mengikuti 5 kali pertemuan. Sebelumnya, ia sudah tiga kali mengikuti tes, namun tak kunjung lulus dari skor standar yang ditentukan.

Hisna Caca Hayati (Alumni Komunikasi ’06) mengaku sempat membaca buku wisuda. Ia heran setelah melihat skor EPT mahasiswa berderet nilai 450 hampir di setiap lembar. “Kan aneh banget, kayak ada manipulasi,” ujar wanita yang kini Redaktur Berita Web Unila ini.

Caca termasuk peserta yang ikut kelas intensif. Namun, ia tidak tahu menahu masalah kepastian lulus atau tidaknya. “Saya ikut intensif semata-mata hanya ingin menyiapkan diri menghadapi EPT agar tidak mengulang lagi,” ujarnya.

Caca mengatakan hasil EPT ini tidak bisa ia gunakan untuk mengajukan beasiswa ke luar negeri atau melanjutkan S2 di universitas lain. “Toefl Unila hanya untuk syarat lulus saja,” keluhnya.

Caca yang ingin melanjutkan Strata 2 di UGM ini berujar, ia pernah mengikuti Institutional Testing Program (ITP) yang diadakan UKM Eso yang bekerja sama dengan FKIP Bahasa Inggris dan The Indonesian International Education Foundation (IIEF).

Pelaksanaan tes setara EPT tersebut menurutnya, sangat jauh berbeda dengan EPT di Unila. Selain berbeda dari kualitas soalnya, soal ITP selalu baru. “Soal yang sekarang dipakai tidak dipakai lagi untuk tes berikutnya. Sedangkan EPT di Unila soalnya sama. Banyak coretan dan sudah ada titik-titik jawaban di soalnya,” ujarnya kecewa.

Hal tersebut dibenarkan Gilang Ria Amarta (Alumni Agribisnis ’07) yang sudah tiga kali mengikuti tes. Soal tes pertama dengan soal tes ketiga yang ia ikuti sama persis. Hanya soal kedua yang berbeda. “Kayaknya hanya beberapa tipe soal saja,” ujar Gilang yang malas mengikuti kelas intensif ini.

Mantan Presiden Unila periode 2010/2011, Feri Firdaus mengatakan, EPT di Unila masih sebatas like toefl, bukan toefl yang sebenarnya. Dari kualitas soal tentu lebih tinggi ITP yang sertifikatnya diakui nasional maupun internasioanal.

“Sebaiknya Unila sudah menyelenggarakan dan mengeluarkan sertifikat minimal tes toefl ITP. Sehingga alumni Unila yang ingin lanjut keluar negeri gak repot-repot tes ke Jawa,” ujar alumni Ilmu Komunikasi ‘06 ini.

Irma Lia (Budidaya Perairan ’06) pernah dikerumuni mahasiswa yang ingin membayar administrasi kursus paket periode Desember 2011. Awalnya, Irma ingin mengikuti kelas intensif reguler, namun sudah tutup.

Pihak BBU menyarankan Irma mengikuti kursus paket periode Desember dengan membayar Rp275 ribu. Ia ditunjuk menjadi koordinator. “Saya disuruh mencari 20 mahasiswa dan pembayarannya langsung ke saya,” tuturnya.

Irma ikut kursus karena mengejar wisuda periode Desember 2011. “Kalau ikut kursus ini lebih cepat keluar hasilnya,” ujar Irma yang pernah sekali tak lulus EPT ini.

Tes toefl di Unila telah diadakan sejak 1996. Tujuannya untuk mengetahui kemampuan penguasaan bahasa Inggris mahasiswa. Tes dilakukan dua kali, saat mahasiswa baru masuk dan ketika akan menyelesaikan studi.

Namun sejak keluarnya keputusan Rektor Unila bernomor 78/H26/DT/2008 tertanggal 25 Februari 2008, istilah toefl beralih menjadi tes kemampuan berbahasa Inggris atau English Profeciency Test (EPT) sebagai syarat mengikuti wisuda. Skor pun direvisi, untuk mahasiswa tahun akademik 2007/2008, skor minimal 450. Sementara untuk mahasiswa angkatan 2006 ke bawah skornya hanya 400.

Deddy Supriady selaku Kepala BBU mengatakan, tes kecakapan berbahasa Inggris selain sebagai syarat mendaftar wisuda juga untuk menguji kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. EPT Unila menurutnya sudah berstandar internasional atau setara dengan toefl (istilah di Amerika).

EPT Unila memiliki 6 tipe soal yang setiap tesnya diroling. “Dalam sekian tahun, BBU melakukan revisi soal yang melibatkan profesor bahasa Inggris dan tidak sembarangan.”

Mahasiswa yang hendak mengikuti tes EPT diharuskan membayar pendaftaran Rp20 ribu. “Relatif lebih murah dari pada universitas lain seperti UGM sekitar Rp70 ribu,” ujar Deddy.

Namun untuk mahasiswa S2 pendaftarannya lebih mahal, Rp 100 ribu setara dengan umum. Tes bisa tetap dilakukan meski hanya diikuti 1 atau 2 orang. “Biasanya mahasiswa S2 sudah punya penghasilan. Terjadi subsidi silang antara peserta yang sedikit dengan biaya operasional,” jelas Deddy.

Mahasiswa yang telah tiga kali gagal mengikuti tes reguler, bisa ikut kelas intensif agar lebih siap menghadapi tes. “BBU dibilang menghambat wisuda, makanya diberi pelatihan (intensif) sebagai jembatan untuk kelulusan. BBU ingin membantu mahasiswa tanpa mengurangi kualitas,” tegas Deddy.

Kelas intensif tak hanya bisa diikuti mahasiswa yang hendak mengikuti wisuda. Mahasiswa yang ingin menguji keterampilan berbahasa Inggris pun bisa mendaftar. Dengan membayar Rp275 ribu, mahasiswa akan mengikuti pelatihan selama 16 kali pertemuan.

Dalam seminggu ada dua kali pertemuan yang diasuh oleh 10 staf khusus dan tenaga profesional. Sekali pertemuan minimal satu setengah jam. Setiap ruangan terisi 20 hingga 30 mahasiswa.

Deddy menyanggah adanya dugaan bantuan BBU yang meluluskan mahasiswa peserta kelas intensif. “Tidak ada bantuan. Mahasiswa lulus sesuai dengan kemampuannya sendiri. Bila terdapat skor EPT sama itu hanya kebetulan saja. Logikanya, yang belajar atau ikut intensif lebih tahu duluan dari pada yang gak ikut,” tuturnya.

Dana kursus lanjut Deddy, akan masuk ke anggaran Unila yang disetor melalui badan usaha. “Uang ini milik Unila, bukan BBU.”

Lain halnya dengan kursus paket, Eli Zahra selaku Kepala Bagian Akademik BBU mengatakan, kursus tetap diadakan selama 16 kali pertemuan. Namun pelatihannya dilakukan secara maraton, “Dalam sehari bisa 2 hingga 3 kali pertemuan, tergantung kesepakatan mahasiswanya. Inilah yang membuat kursus paket lebih cepat,” ujarnya.

Menurut Eli, kursus paket diadakan karena banyak mahasiswa yang mengejar ujian komprehensif sementara waktu wisuda mepet. Kursus paket ini mensaratkan diikuti 20 hingga 30 peserta. Sehingga ada penunjukan koordinator kepada mahasiswa yang secara inisiatif mengumpulkan peserta.

Diakhir pertemuan, panitia memberikan post tes untuk menguji kemampuan bahasa Inggris mahasiswa setelah mengikuti kursus. Syaratnya mahasiswa harus hadir minimal 12 kali pertemuan atau tepatnya 80 persen kehadiran. “Bila tidak, mahasiswa tidak boleh ikut post tes dan tidak mendapat sertifikat kursus,” ujar Eli.

Pembantu Rektor I Prof Hasriadi Mat Akin menuturkan, selain sebagai syarat wisuda, EPT bertujuan agar mahasiswa lulusan Unila mudah mendapat pekerjaan. Buruknya penguasaan bahasa Inggris menyebabkan mahasiswa sulit mendapatkan pekerjaan. “Keluaran ITB banyak yang langsung bisa kerja di Amerika, harapannya mahasiswa Unila bisa begitu. Logikanya, bila bahasa inggrisnya kuat, kerja mudah,” kata Hasriadi.

Mengenai kenaikan skor EPT, menurut Hasriadi adalah hal wajar. “Kualitas mahasiswa Unila sekarang dianggap lebih bagus dilihat dari rating Unila yang naik. Unila mendapat urutan ke-13 terketat masuk perguruan tinggi negeri.”*

Laporan: Rukuan Sujuda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =