Wartawan yang Baik ialah Komposer yang Baik

Foto: Rika Andriani/TEKNOKRA
298 dibaca
Foto: Rika Andriani/TEKNOKRA
Foto: Rika Andriani/TEKNOKRA

teknokra.co: Kamis sore, (12/5), 21 peserta Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) Almamater, LPM Teropong, UMSU, kembali mengikuti materi pelatihan di ruang sidang The Z Suite Hotel, Medan. Kali ini, Imam Shofwan, Ketua Yayasan majalah Pantau yang menjadi pematerinya. Materi jurnalisme sastrawi (narative reporting) pun ia sampaikan dengan bersahabat. Ia menekankan kepada pers pemula untuk terus menulis tanpa henti.

“Jika ingin menulis, seriuslah!! Menulislah dengan baik, menulis dengan disiplin, serta menulis dengan jujur,” tegasnya.

Pria yang akrab disapa bung Imam ini memaparkan, penulisan jurnalisme sastrawi sangat erat dengan gaya penulisan novel. Penulis acap menyajikan adegan demi adegan, menuliskan dialog secara utuh, dan kerap kali menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tak hanya itu, proses pengumpulan data, dan proses peliputan jurnalisme sastra membutuhkan waktu lama.

“Mengapa butuh waktu lama. Karena, dalam penulisan jurnalime sastrawi, membutuhkan banyak narasumber yang beragam. Kita butuh pengamatan yang dalam,” ungkap bung Imam.

Baginya, tantangan menjadi seorang penulis narative reporting adalah mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan penuh dan akses kehidupan pribadi seluas-luasnya dari narasumber.

Salah satu peserta, Khusnul Fadilah dari LPM Unhas, Makassar, bertanya,”Apakah diperbolehkan jika karya tulis jurnalisme sastra bukan pengalaman pribadi penulis melainkan kisah hidup orang lain ?”. Bung Imam pun langsung memberikan komentar, baginya tulisan seorang wartawan akan lebih alami dan bermakna jika hasil dari peliputan atau pengalaman wartawan (namun, tidak menutup kemungkinan bila jurnalisme sastra berasal dari kisah hidup orang lain-red).

“Jam terbang wartawan akan menentukan kompetensi seorang wartawan,” ungkapnya.

Pertanyaan lain muncul dari LPM Suara Kampus, IAIN Imam Bonjoel, Padang, Lisa Fauziah. Ia menanyakan perbedaan kedalaman penulisan jurnalisme sastrawi dengan jurnalisme investigasi. Bung Imam menjawab, tidak ada batasan ukuran kedalaman sebuah berita. Hanya saja, berbeda dengan jurnalisme investigasi, jurnalis sastrawi tidak memiliki kewajiban untuk mengungkap suatu kebohongan ke publik.

“Tulisan yang penting harus disampaikan secara memikat dan relevan. Wartawan yang baik harus menjadi komposer yang baik pula,” ujar Bung Imam mengakhiri.

Oleh: Rika Andriani

Penyunting: Wawan Taryanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − seven =