5 Langkah ke Kampung Sampah

261 dibaca

Jika kita berbicara mengenai masalah lingkungan, hal mendasar yang selalu menjadi primadona di kalangan masyarakat Indonesia adalah sampah,tak terkecuali di kota yang dijuluki kota siger ini.

Telisik ke pinggiran kota tepatnya di RT.12 LK.1, Kampung Rawa Laut, Kel.Panjang Selatan, Kec.Panjang. Kampung ini memiliki sekitar 300 Kepala Keluarga yang mayoritasnya bekerja sebagai tukang ojek, buruh cuci dan pembantu rumah tangga,  jangan kaget apabila saat memasuki tempat ini kita akan disuguhkan oleh aroma sampah yang khas dan menyengat terlebih saat kita melewati jembatan penghubung yang dihiasi sungai dengan warna coklat tebal berkilauan, tak hanya sungai yang menjadi pemicu bau busuk di kampung ini.

Terletak di tepi pantai justru memberikan insentif negative bagi masyarakatnya,dimana kebanyakan masyarakat dapat mengambil keuntungan dengan banyaknya pengunjung yang datang tapi justru kita akan disuguhkan oleh pemandangan berbagai jenis sampah baik itu sampah organic ataupun anorganik.

Dampaknya sudah bisa dipastikan, selokan yang mampet dan  kualitas air bersih di kampung ini masih sangat kurang.

Nurmeidi Sandi (41) selaku Ketua RT di Kampung Rawa Laut ini menuturkan bahwa terkait air bersih kampungnya sudah pernah mengajukan masalah ini ke Pemkot Bandarlampung, namun hingga sekarangpun belum ada tindak lanjutnya.

“ Pernah saya mengajukan pembuatan sumur bor ataupun bantuan air bersih untuk desa saya itu tahu 2012, tapi nggak ada respon sama sekali. 2014 juga pernah ngajuin ulang tapi malah yang dapet air itu orang-orang yang nggak berkepentingan, jadinya nggak tepat sasaran,” ujarnya.

Hingga akhirnya atas dasar inisiatif sendiri, ia dan beberapa warga bergotong-royong membuat sumur bor, namun yang didapatkan tetap saja air asin, Walau begitu sumur bor tetap digunakan oleh enam sampai tujuh rumah yang berada dipinggir pantai dan tidak mampu untuk membeli air bersih ke PDAM  (Perusahaan Daerah Air Minum).

Supendi (51) yang telah menetap di kampung ini dari tahun 1977 mengaku sudah pasrah dan sudah biasa menggunakan air asin untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi cuci kakus, dan terkadang untuk air minum jika air dari PDAM tiba-tiba macet ataupun habis.

Padahal pada tahun 2010, United Nation Generally Assembly (Resolution A/RES/64/292, July 2010) dan Human Rights Council (Resolution A/HRC/15/L.14, September 2010) mengakui hak untuk mendapatkan air minum dan sanitasi sebagai suatu hak asasi manusia dalam pijakan yang sama dengan hak sosial lain seperti hak makan dan hak atas kesehatan.

Masalah di kampung ini bukan hanya sampai disini, drainase yang buruk serta berada di kawasan industri menjadikan banjir dan pencemaran lingkungan sebagai masalah lanjutan yang berimbas pada kesehatan masyarakat sekitar daerah tersebut, tak jarang dari balita hingga lansia disini mengalami penyakit kulit seperti gatal-gatal akibat jamur, kurap, kutu air hingga diare.

Berkaca dari realita yang ada, dapat kita lihat bagaimana progres Indonesia dalam mencapai Universal Access Sanitasi sebagai salah satu tujuan #6 dalam Milestone Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 dengan mengucurkan dana sebesar 273,7 Trilliun yang berasal dari dana APBN, APBD, serta partisipasi masyarakat rupanya masih perlu tenaga lebih untuk mengedukasi dan memberikan pengertian betapa pentingnya sanitasi dalam ruang lingkup keluarga, seperti Menghentikan perilaku buang air besar sembarangan, mencuci tangan denga sabun, penggelolaan air minum yang aman dalam rumah tangga serta pengelolaan limbah dan sampah rumah tangga yang baik dan aman.

Terlebih pelibatan semua stakeholder baik pemerintah, swasta dan masyarakat menjadi kunci utama bagaimana Target SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat) 2015-2019 dapat tercapai.

Oleh: Sandi Dwiantoro

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × four =