Teknokra.co : Dalam rangka memperingati seorang jurnalis yang gugur dalam meliput aksi demonstrasi tolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) di Universitas Bandar Lampung (UBL) 25 tahun silam, tepatnya pada 28 September 1999. Tragedi itu dikenang dengan sebutan UBL Berdarah. Jurnalis yang gugur dalam meliput aksi tersebut ialah Saidatul Fitriah atau yang kerap disapa Atul.
Atul merupakan seorang jurnalis perempuan Unit Kegiatan Penerbitan (UKPM) Teknokra yang saat itu gugur meliput aksi tersebut, ia menjadi korban dari pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan oleh aparat. Sebagai bentuk penghormatan, Teknokra meluncurkan film dokumenter bertajuk “Tears in Heaven” yang ditayangkan perdana dalam acara nonton bersama (nobar) dan diskusi di Gerha Kemahasiswaan Unila pada Kamis malam, (3/10).
Film dokumenter yang berdurasi 40 menit ini diproses Teknokra selama 2 bulan untuk menolak lupa, dan merawat ingatan masyarakat betapa keji dan brutalnya aparat hingga meregang nyawa Atul.
Film ini akan tayang di kanal YouTube milik Teknokra, “UKPM Teknokra,” yang digarap oleh Tim produksi Film Saidatul Fitriah: Tears in Heaven,” yakni Revina Azzahra, Neza Puspita Tarigan, Wahab Ali, Dede Maesin, Sepbrin, dan Yolanda Ria Kartika.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Kapuslitbang) Teknokra, Neza Puspita Tarigan mengungkapkan, bahwa tajuk film “Tears in Heaven” dipilih, lantaran terinspirasi dari lagu ciptaan Eric Clapton, yang memiliki makna hampir sama dengan keadaan keluarga Teknokra yang kehilangan sosok Atul.
“Semacam ungkapan kehilangan untuk seseorang yang enggak bisa kembali lagi, seperti lagu ciptaan Eric Clapton,” imbuhnya.
Pemimpin Umum Teknokra, Revina Azzahra menambahkan, bahwa tujuan pembuatan film untuk mengenang perjuangan Atul, terlebih mempertanyakan kepada negara perihal tanggung jawab dan keadilan yang seharusnya didapatkan korban.
“Film ini kami buat sebagai upaya untuk mengenang Saidatul Fitriah, sekaligus menjawab tanda tanya besar mengenai keadilan yang hingga kini belum diberikan oleh negara atas kematiannya,” tegasnya.
Menurut cerita jurnalis senior yang juga meliput aksi tolak RUU PKB, Budi Santoso Budiman, menerangkan bahwa aparat saat itu menembakkan gas air mata kepada demonstran, hingga demonstran bercerai menyelamatkan diri masing-masing. Namun, tidak dengan Atul, dirinya berani meliput dengan mengambil sejumlah dokumentasi, hingga saat dirinya terkena pukulan keras dari benda tumpul di bagian kepala yang diduga dilakukan oleh aparat.
“Atul sempat berbicara dan sempat ada dokumentasi darinya, hingga kini dokumentasi itu masih ada. Namun, takdir berkata lain hingga akhirnya Atul menghembuskan nafas terakhirnya,” terangnya.
Sebelum kejadian UBL berdarah, beberapa aktivis mahasiswa ditahan oleh aparat, kemudian dikumpulkan di halaman Museum Lampung hingga akhirnya mahasiswa mendapat perlakuan keji dari aparat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung, Prabowo Pamungkas atau kerap disapa Bowo itu juga menjelaskan, bahwa hingga kini tak ada upaya pemerintah untuk memberikan keadilan bagi korban terhitung 25 tahun yang lalu.
“Tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk mengungkapkan keadilan dari peristiwa itu hingga sekarang,” jelasnya.
Berkaca dari masa lalu, seharusnya pemerintah tak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Namun, menurut Bowo terlihat beberapa upaya yang memungkinkan tragedi itu terulang kembali.
“Ternyata sekarang ada upaya-upaya untuk kembalikan kuasa aparat, yang seharusnya hal itu dilakukan oleh masyarakat sipil,” tambahnya.
Pemimpin Umum UKPM Teknokra tahun 1998-1999, Juwendra Asdiansyah menuturkan, pentingnya mengenang tragedi tersebut dengan mengemas menjadi sebuah karya, termasuk film dokumenter.
“Dokumentasi memang penting sebagai sebuah sejarah yang terjadi autentikasi nya, yang banyak keakuratan, termasuk film dokumenter ini,” imbuhnya.
Juwendra berpesan, melalui film ini semangat Atul bisa tertular kepada generasi lanjut profesi jurnalis.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma menyoroti bahwa prinsip jurnalis itu saat liputan adalah tetap mengutamakan keselamatan. Namun, Atul membuktikan bahwa keberaniannya dapat menjadi contoh bagi pers mahasiswa dalam memperjuangkan kebenaran.
“Tidak ada berita seharga nyawa itu prinsip kalau kelapangan ditempat yang beresiko, tetapi beliau justru membuktikan dengan mempertaruhkan nyawanya demi memperjuangkan pers mahasiswa,” tutupnya.