Intervensi Terhadap Persma: Pengurangan Dana, Tindakan Represif, Hingga Pembredelan

257 dibaca

“Hanya saja daya kritis itu hendaknya tetap berlandaskan kebenaran. Dilakukan dengan cara yang tepat, dan tidak konfrontatif di setiap kesempatan,” ujar Kahfie (59) juru bicara Rektor Unila kepada pengurus Teknokra saat berkunjung ke sekertariat Teknokra di Gerha Kemahasiswaan Lantai I Unila. Kamis, (16/01/20).

Kahfie tidak sendiri, ia diampingi Kepala Bagian Humas M.Badrul Huda, dan Kabag Informasi Suratno. Kesan santai coba Kahfie bangun dengan hanya menggunakan sneakers, baju batik, serta kaca mata yang lengkap dengan talinya– sedangkan dua pejabat kampus lain menggunakan baju dinas Unila berwarna hijau.

Di sekertariat, dari jajaran pengurus Teknokra ada saya (Pemimpin Umum), Mitha Setiani Asih (Pemimpin Redaksi), dan Fahimah Andini (Pemimpin Usaha). Kahfie dan rombongan datang pukul 10.30. Dalam pertemuan yang berlangsung tiga jam itu, Kahfie membicarakan permasalahan organisasi, kendala penerbitan, inventaris redaksi, dan tak lupa juga terselip pembicaraan tentang peran Persma dalam membangun “citra” kampus. Satu hari sebelumnya, Wakil Rekor III Unila juga menyambangi sekretariat Teknokra membicarakan hal yang sama.

Begitulah bentuk intervensi secara halus yang diterima Teknokra oleh pihak pejabat rektorat. Hal ini seolah menunjukan, Pers kampus masih menjadi sumber kegelisahan para petinggi kampus ketika memberitakan kampusnya sendiri. Pejabat kampus seperti ingin “menjinakkan” Persma dengan memberi perhatian lebih.

Intervensi secara halus lain adalah dengan mengurangi pendanaan. Linda Purnama Sari, Pemimpin Usaha LPM Kronika IAIN Metro menjelaskan LPM-nya pernah mengalami pasang surut pendanaan. “Kronika pernah dapet 60 juta pendanaan, sekarang cuma dapet 30 juta. Walaupun dana minim kita tetap cetak tetapi eksemplarnya dikurangi,” tuturnya.

Ia juga mengeluhkan regulasi dari pihak birokrat yang rumit harus ditempuh untuk mencairkan dana. “Ngajuin SPJ dulu, di percetakannya kita kasih uang pangkal. Setelah cetak dan buat SPJ baru bisa cair dananya, itu juga masih harus dipotong pajak,” tambahnya.

Fahimah juga mengeluhkan hal yang sama. “Pendanaan Teknokra tiap tahun selalu turun, kalau ditanya alasannya pejabat rektorat bilang karena Teknokra pernah tidak menyerap habis dana yang sudah dianggarkan. Padahal setahun terakhir ini Teknokra kekurangan dana penerbitan, malah sampai satu tabloid kita cover sendiri pake dana kas pribadi,” tuturnya.

Melihat permasalahan itu, M. Arma Yoga (20) Koordinator Aliansi Pers Mahasiswa Lampung (APM-L) sekaligus Pemimpin Umum LPM Natural FMIPA Unila menyarankan pers mahasiswa mulai merambah ke digital. “Di era sekarang ini, kita masih bisa berkarya dengan beralih ke media sosial ataupun web,” ujarnya.

Ia juga menghimbau antarpersma untuk saling berejaring. “Jika sesama Persma mengalami permasalahan, sebagai contoh masalah percetakan, solusinya dari tiap LPM hendaknya saling dukung dan saling kuatkan tali persaudaraan sesama pers mahasiswa,” tambahnya.

Persma Rentan Terkena Tindakan Represif dan Pembredelan

Berbicara tentang intervesi terhadap Persma, tak lengkap jika tak berbicara tentang tindakan represif yang kerap didapatkan. Masih lekat di ingatan publik tentang pembredelan sepihak yang dilakukan Rektor USU, Prof. Runtung Sitepu terhadap LPM Suara USU Maret 2019 lalu. Akhir tahun 2019, PPMI telah merilis data kasus represi dan intimidasi terhadap pers mahasiswa. Hasilnya, 33 kasus terjadi selama kurun waktu 2017-2019. Dari data tindakan represif terhadap Persma terebut, di antaranya adalah apa yang terjadi pada LPM Suara USU, Medan.

Suara USU dibredel karena cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” dianggap mengkampanyekan LGBT. Prof Runtung memecat 18 anggota redaksi Suara USU yang dikeluarkan melalu Surat Keputusan (SK) Nomor 1319/UN5.1.R/SK/KMS/2019. Buntut kasus ini adalah Yael Sinaga (Mantan Pemimpin Umum Suara USU) melayangkan gugatan kepada Retor USU ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Rabu, (14/08/19).

Berkat keberaniannya, Yael berhasil memenangkan penghargaan Pogau Award dari Yayasan Pantau. “Sebagai Persma kita harus tetap di jalan perlawanan. Walaupun kampus membawahi setiap Persma bukan berarti kampus bisa berintervensi. Penghargaan ini juga karena dukungan kawan-kawan sesama Persma. Semangat dan jangan menyerah untuk membela yang terpinggirkan,” ujarnya saat dihubungi via pesan, Jumat, (31/01/20).

Bentuk dari tindakan yang kerap didapatkan Persma bermacam-macam, ada kontak fisik seperti pemukulan, ancaman dropout, kriminalisasi, hingga penculikan. Oknumnya pun beragam, mulai dari birokrat kampus, sesama mahasiswa, satpam, bahkan oleh pihak luar kampus seperti polisi dan masyarakat sipil.

14 April 2019, Teknokra juga sempat mendapatkan intervensi berupa tindakan represif dari oknum sesama mahasiswa. Saat itu, salah seorang jurnalis kami hendak mengonfirmasi terkait keberadaan mobil dengan atribut salah satu pasangan calon presiden yang sedang terparkir di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Alih-alih mendapatkan jawaban, reporter kami justru mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakan. Saat meliput kasus pelanggaran terhadap pasal 280 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tersebut, reporter kami didatangi tiga orang mahasiswa. Ia diancam, kerah bajunya ditarik, tetapi si reporter terus merekam setiap kejadian guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Untungnya ada satpam yang memisahkan mereka. Hari itu menjadi momen yang melekat di ingatan para pengurus Teknokra.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan melalui pesan Whatsappnya mengungkapkan Persma memiliki tantangan tersendiri karena belum ada payung hukum yang jelas. “Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers tak menyebut persma termasuk yang dicakup di UU tersebut,” ujarnya.

Ia menambahkan perlindungan Persma dapat dilakukan melalui penguatan jaringan pers. “Namun, Persma masih dapat memakai konstitusi sebagai perlindungan dengan menggunakan UU soal kebebasan berekspresi. Perlindungan lain dapat dilakukan dengan penguatan jaringan sesama Persma dan organisasi wartawan seperti AJI untuk mengadvokasi jika menghadapi tekanan dari kampus,” ungkapnya.

Tulisan dan Ilustrasi: Chairul Rahman Arif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − 5 =