Budaya  

Sebambangan : Budaya Dititik Tumbang

329 dibaca

budaya sebambangan lampung

 

Budaya Sebambangan perlahan digerus modernisasi. Nilai-nilainya dianggap tak lagi sepadan dengan kekinian. Warisan budaya leluhur itu, akankah sirna?

Juli 2009. Sekitar pukul 13.00, seorang teman mengajak Sarwati bicara empat mata. Susnita (17)

membawa pesan rahasia dari pria yang punya hubungan dekat dengannya. Usai bercakap-cakap, Sarwati langsung menuju tempat yang sudah ditentukan. Rumah tetangga yang tak jauh dari rumahnya di Dusun Bandarjaya, Kecamatan Bengkunat Lampung Barat.

Di rumah itu, sang pacar, Mat Iswandi sudah menantinya. Sarwati lalu menghampiri Mat dan duduk persis di sebelahnya. Seketika suasana hening. Mat pun tak mengucap kata.

“Ada apa kamu mengajakku bertemu di sini?” tanya Sarwati memecah keheningan.

Mat tak langsung menjawab. Ia menghela nafas dalam-dalam lalu mengutarakan niatnya. “Kamu siap-siap, nanti malam jam 8 kita sebambangan(kawin lari/larian). Saya tunggu kamu di pinggir jalan,” ujar jejaka 21 tahun itu.

Mendengar itu, Sarwati kaget. Perasaannya gundah. Ia benar-benar heran dengan sikap Mat yang tiba-tiba mengajaknya sebambangan. Maklum, keduanya baru tiga bulan berpacaran. Mat pun masih duduk di kelas dua belas sekolah menengah atas. Tapi Mat kadung cinta mati dengan Sarwati yang masih berumur 16 tahun. Ia coba yakinkan pujaan hatinya yang gundah. Ikhtiarnya itu menuahkan hasil, Sarwati luluh.

Keduanya lalu menyusun rencana. Hari mulai beranjak gelap. Sarwati pulang ke rumah untuk berkemas. Sementara Mat menunggunya di suatu tempat yang dijanjikan.

Sarwati memulai lakon. Usai salat magrib, diam-diam ia mengemas pakaian dan barang pribadi lainnnya ke dalam tas. Setelah semuanya siap, ialangsung membawa tasnya itu ke dapur. “Pikir saya ditaruh di belakang saja (dapur), biar enak bawanya dan tidak ada yang melihat,” kenang Sarwati.

Sarwati lalu kembali ke kamar. Kali ini ia memutar otak agar bisa meninggalkan rumah dengan mulus. Ia pun berlagak seperti biasanya. Perlahan ia menuju dapur berniat mengambil tasnya. Namun nahas, semuanya tak sesuai rencana. Ia kepergok sang kakak, Ngah (mbak) Zur—biasa ia sapa, ternyata lebih dulu curiga dengan gelagatnya. Zur langsung merebut tas dari pelukan Sarwati. Zur lalu menarik Sarwati ke dalam kamarnya lalu menguncinya dari luar.

Sekelebat, Zur pun mengabarkan kejadian itu pada keluarga. Orang tua dan sanak keluarga kaget. Mereka lalu bermusyawarah dan menasehati Sarwati. “Orang tua tidak memperbolehkan karena saya masih sangat muda. Selain itu juga belum genap sebulan kakak saya melangsungkan pernikahan,” tuturnya.

Usai diceramahi, Sarwati menangis tersedu. Ia lalu mengunci diri di kamar. Perasaannya berkecamuk. Lama menimbang, ia jatuh pada sebuah pilihan, tetap pergi menemui Mat.

Satu jam berlalu, situasi rumah yang tadinya gaduh sudah kembali nyaman. Tak ada lagi nuansa ketegangan pun ketakutan pada orang-orang seisi rumah. Keluarga menganggap Sarwati menurut dan membatalkan niatnya yang nekad itu.

Jam menunjuk pukul 20.00. Sarwati berlenggok keluar kamar dan turun dari tangga rumahnya. Ia tak membawa barang apa pun. Pada orang tuanya, ia minta izin menonton televisi di rumah saudara. Orang tua Sarwati tak menaruh curiga, dan merasa maklum karena hampir setiap malam Sarwati menonton televisi di rumah saudara yang tak jauh dari rumahnya itu.

Sarwati juga tidak meninggalkan surat dan uang (pengeluakh)—tradisi dalam sebambangan, yang ditujukan kepada kedua orang tuanya. “Udahgak kepikiran lagi mau ninggalin surat sama uang, kondisinya juga kan terdesak.”

Sarwati bergegas meninggalkan rumah. Ia pergi menemui Mat di ujung jalan, sekitar 500 meter dari rumahnya. Ia menyusuri jalan setapak menembus kegelapan. Sejoli itu pun akhirnya bertemu. Mat langsung menghidupkan sepeda motor, membawa Sarwati ke rumahnya.

Orang tua Mat sudah tidur pulas. Pintu rumah memang sengaja tak dikunci karena orang tuanya itu tahu Mat belumlah pulang dari ngeluyur. “Pas sampai di rumah, dia (Sarwati) langsung tidur di kamar saya. Saya tidur di teras luar sembari menunggu pagi datang,“ tutur Mat mengenang kejadian 2 tahun lalu itu.

Tepat pukul 06.00. Sang ibu belum lama beranjak dari tempat tidur. Mat langsung menghampirinya dan memberitahu perihal Sarwati. Ibunya tersentak dan tak kuasa menahan tangis. “Ibu menangis mungkin mengingat saya masih sekolah dan kesiapan saya untuk berkeluarga. Saya juga tidak memberi tahu mereka sebelumnya.”

Usai mendengar pengakuan dari anak laki-lakinya itu, keluarga Mat berhimpun. Tepat pukul 08.00, keluarga Mat memberitahu tetua—biasa disebut juragan, untuk menemui keluarga Sarwati. Juragan dimandat untuk melobi keluarga Sarwati agar mau menikahkan putrinya itu dengan Mat.

Di sebrang, orang tua Sarwati gaduh. Mereka bingung dengan Sarwati yang menghilang dari rumah. Mereka menanyakan beberapa teman Sarwatijuga tempat ia biasa menonton tv. Tak ada satu pun yang tau kemana ia pergi. ”Kami sudah mulai berpikir pasti dia (Sarwati) melanjutkan niatnya semalam,” tutur ibunya.

Benar saja, tak berapa lama utusan dari keluarga Mat datang bertamu. Mereka membawa pesan untuk menautkan Mat dan Sarwati. Pembicaraan pun berlangsung hingga kedua belah pihak akhirnya sepakat menikahkan putra-putri mereka. ”Ya percuma juga diambil (memulangkan Sarwati), nanti juga mereka balik lagi. Malahan ada kesan kurang enak kan,“ tutur wanita paruh baya itu.

NURLAILA (90), seorang tetua—tokoh masyarakat yang dituakan di Dusun Bandarjaya mengatakan, budaya sebambangan memang sudahdikenal di daerah itu pun suku Lampung umumnya sejak zaman dahulu. Ritual sebambangan bukanlah hal tabu bagi masyarakat sekitar yang sebagian besar bersuku Lampung.

Tak ada istilah melanggar hukum karena melarikan anak orang lain. ”Larianya kan juga jelas dibawa ke keluarga dan tetua pihak laki-laki. Setelahitu tetua menemui keluarga si gadis supaya tidak ada kesalahpahaman. Jadikan semuanya jelas. Sebambangan bukan sesuatu yang negatif,” tegas Nur menyangkal anggapan miring orang lain.

Salah satu sebab seseorang melakukan sebambangan karena hubungan asmara yang tak mendapat restu orang tua. Maka cara yang ditempuh adalah dengan membawa lari pasangan. Kalau sudah demikian, orang tua bakal maklum dan menyetujui hubungan tersebut. Setelah itu akan terjadi kesepakatan keluarga kedua belah pihak.

Muli (gadis) yang hendak sebambangan, sudah bisa dicirikan dari gelagatnya. Biasanya si muli akan giat beres-beres rumah, mencuci pakaian atau perabotan dapur, hingga membersihkan halaman rumah sampai terlihat bersih dan rapi. ”Namanya juga kan kita akan meninggalkan rumah, jadi harus membereskan semuanya sebelum pergi,” tutur nenek renta itu.

Tradisi lainnya, si muli harus meninggalkan uang (pengeluakh) dan surat sebagai tanda mata dari mekhanai (laki-laki bujangan). Dalam surat itu dijelaskan maksud kepergian dan menerakan nama pasangan juga orang tuanya. Uang dan surat itu biasanya ditaruh di tempat yang mudah ditemukan seperti bawah tikar dan kasur atau tempat bedak di kamar si muli. “Supaya orang tua bisa cepat mengetahui kepergian anak gadisnya,” ujar wanita yang biasa disapa Tamung Nur itu.

Sejoli biasanya benar-benar memikirkan dan meyiapkan rencana dengan matang. Waktu kepergian pun dilakukan tengah malam agar tak diketahui orang lain. “Berangkatnya jalan kaki. Zaman dulu kan belum ada hp (handphone) dan motor, ” tutur Nur dengan logat Lampungnyayang kental.

Lain dulu lain sekarang. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai budaya sebambangan sudah banyak ditanggalkan. Sejoli tak lagi memikirkan rencana kepergian dengan matang. “Cenderung asal berangkat saja, kalau kata orang Lampung asal kesipak.” Waktu kepergian pun tak melulu malam. Tak ada surat dan uang. Membawa pakaian pun tidak. “Bagi mereka yang terpenting pergi dari rumah dan dibawa ke rumah calon suami.”

Kepala Pusat Studi Budaya Lampung, Vivit Barthoven saat ditemui di Gedung B FISIP Unila mengatakan, budaya sebambangan kekinian mulai terkikis modernisasi. Keberadaanya terbatas pada masyarakat dan lokasi tertentu. Sebambangan saat ini hanya berlangsung di daerah perkampungan, itu pun sudah jarang terjadi.

“Budaya itu akan selalu berubah, termasuk budaya Lampung yang mengalami perubahan cukup signifikan,” ujar Vivit. “Budaya itu harta yang berharga. Jadi tanggung jawab kita semua untuk melestarikanya.”

Budaya sebambangan kini dianggap negatif karena mengganggu pihak lain. Secara hukum, ia dianggap tindakan kriminal. “Sekarang hukum adat sudah tua dan kadang bertentangan dengan hukum,” ujar pengajar Sosiologi FISIP Unila itu.

Hal serupa diutarakan Budayawan Lampung, Anshori Djausal. Menurutnya, sebambangan secara nilai sudah ketinggalan zaman. Nilai-nilainya tak lagi bisa diterapkan di masa sekarang. “Masyarakat sudah mengalami perubahan pola pikir karena faktor pendidikan. Jadi tidak perlu dilestarikan karena sudah tidak cocok dengan masa sekarang,” ujar Dosen Teknik Sipil Unila ini.

Selain itu, tidak semua gadis sepakat dibawa lari. Ada yang terpaksa dan dipaksa dengan mengkambinghitamkan budaya sebambangan. “Dari kaca mata hukum, itu melanggar karena melarikan anak orang lain,” ujar pria yang juga Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Adat Bunga Mayang Sungkai ini.

Menurut Anshori tidak semua budaya warisan nenek moyang perlu dilestarikan. Masyarakat yang sudah terbuka umumnya akan menilai kesesuaian nilai budaya masa lalu dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengembangan budaya juga harus mengedepankan nilai-nilai agama agar tidak bertentangan. “Jangan sampai ada pemaksaan dan harus dilandasi atas nilai-nilai agama.”

Saat ini budaya atau tradisi lebih diposisikan untuk mempercantik nilai-nilai agama dan kehidupan bermasyarakat. Pada perjalanannya, budaya tidak bisa menutup diri dari perkembangan zaman. “Jangan sampai masyarakat Lampung dibilang ketinggalan zaman. Kita harus sesuaikan agar budaya kita lebih modern,” tutur Presiden International Ferrocement Society (IFS) itu.* Oleh : Rikawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − three =