Teknokra.co: Di ruang kepala sekolah, tumpukan surat dan dokumen masih berjejer di atas meja. Namun, bukan berkas administrasi yang paling sering datang setiap kali dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) cair, melainkan para wartawan yang membawa kartu nama fotokopian, surat tugas tanpa kop resmi, serta permintaan uang dengan berbagai alasan. Dari uang bensin, biaya langganan media, hingga ancaman pemberitaan negatif mereka dikenal sebagai wartawan bodrek atau wartawan bodong.
Fenomena ini masih banyak ditemukan, terutama saat dana bantuan pemerintah mengalir ke lembaga pendidikan. Hal serupa terjadi di SMPN 5 Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah. Sekolah yang terletak di Jalan Dua Karang Endah itu kerap didatangi oleh orang yang mengaku wartawan dan meminta uang, bahkan disertai ancaman pemberitaan negatif jika permintaan tidak dipenuhi.
Tekanan Sejak Awal Menjabat
Pengalaman tidak menyenangkan dialami Evvi Natalis, kepala SMPN 5 Terbanggi Besar yang baru dilantik pada Kamis, (1/5). Ia mengaku terus didatangi oleh sejumlah orang yang mengaku wartawan. Awalnya, mereka mempermasalahkan pengelolaan parkiran sekolah yang sebenarnya sudah berjalan selama lima tahun dan merupakan kebijakan kepala sekolah sebelumnya.
“Saya pikir, tujuan mereka cuma mau minta uang. Tapi saya nggak kasih, karena saya baru juga di sekolah itu,” ujar Evvi pada Selasa, (20/5).
Tiga hari kemudian pada Jum’at (23/5), muncul berita yang menuduh sekolahnya melakukan pungutan liar terhadap siswa. Tak lama setelah itu, Evvi menerima pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku wartawan dan meminta uang bensin. Ia menolak, namun permintaan itu berubah menjadi paksaan pribadi.
“Mereka maksa, katanya, Ya udah Bu, pribadi Ibu aja, tolong kami. Tapi saya tetap nggak kasih,” ujarnya.
83 Media dan Modus “Langganan”
Situasi semakin rumit ketika dana BOS cair pada Senin, (1/9). Evvi mencatat, ada sekitar 83 media yang mendatangi sekolah dalam waktu berdekatan. Ada yang membawa koran, ada pula yang datang tanpa identitas jelas. Permintaan mereka serupa: uang “langganan” atau “streaming” sebesar Rp100 ribu per bulan. Karena dana BOS cair setiap tiga bulan, mereka meminta Rp300 ribu sekaligus.
“Ada yang datang bawa koran, tapi ada juga yang nggak bawa apa-apa, cuma datang minta uang. Ada yang bilang udah nggak kerja di media tapi masih ‘langganan streaming’,” ungkapnya.
Ia memilih bertahan meski tekanan datang setiap kali dana BOS cair. Evvi menolak mengubah aturan pengelolaan dana BOS.
“Saya bilang, ‘Pak, maaf ya, kalau harus ubah-ubah aturan, saya nggak berani.’ Karena itu bukan uang pribadi saya,” ujarnya.
Tekanan tersebut berulang hingga Kamis (9/10), ketika seorang wartawan kembali datang meminta jatah dana BOS. Namun Evvi menjelaskan dana sudah habis untuk menutupi kegiatan tiga bulan sebelumnya.
“Uang BOS yang keluar September itu dipakai buat bayar kegiatan Juli–September. Jadi memang sudah habis. Saya jelaskan, tapi mereka tetap maksa,” katanya.
Dari nada halus hingga ancaman, bahkan pencurian barang sekolah tanpa izin, semua sudah pernah dialaminya. Banyak dari mereka datang tanpa identitas resmi, hanya membawa kartu nama fotokopian dan mengaku sebagai media lokal.
Kegagalan Sistem dan Rendahnya Literasi
Fenomena wartawan bodong ini turut disoroti Andre Nugroho, jurnalis Tempo. Dalam wawancara bersama Teknokra, ia menilai praktik tersebut sebagai bentuk penyimpangan sekaligus cerminan kegagalan sistemik di daerah.
“Ini jelas bentuk kegagalan, terutama karena kondisi ekonomi dan rendahnya literasi informasi masyarakat. Akhirnya muncul stigma buruk terhadap profesi jurnalis, padahal perilaku itu dilakukan oknum, bukan jurnalis sesungguhnya,” ujar Andre.
Ia menilai negara perlu hadir melalui regulasi tegas tentang siapa yang berhak menyandang profesi wartawan. Menurutnya, uji kompetensi wartawan (UKW) dan pendataan media resmi oleh Dewan Pers sangat penting untuk menekan praktik pemerasan berkedok jurnalistik.
“Wartawan yang benar itu terikat kode etik. Nggak boleh menerima uang, suap, atau amplop dalam bentuk apa pun. Kalau sampai minta uang, itu udah masuk kategori pemerasan,” tegasnya.
Andre juga mendorong peran publik dalam meningkatkan kesadaran. Lembaga pendidikan, kata dia, harus berani menolak dan melaporkan oknum wartawan yang meminta uang.
AJI: Jurnalis Tak Seharusnya Menakut-nakuti Narasumber
Hal serupa disampaikan Dian Wahyu Kusuma, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung. Ia menegaskan, ketika jurnalis mengintimidasi narasumber, maka mereka telah menyimpang dari fungsi pers sebagai kontrol sosial, edukator, dan penyampai informasi.
“Ini mencederai profesi jurnalis. Profesi ini seharusnya mulia, tapi karena ada segelintir orang yang memanfaatkan nama media, masyarakat jadi takut. Kalau narasumber nggak salah, seharusnya dia berani untuk nggak ngasih amplop,” ujarnya.
Dian menambahkan, tindakan pemerasan dengan mengatasnamakan media dapat dilaporkan secara pidana. Langkah awal bisa dilakukan dengan melapor ke organisasi profesi di bawah Dewan Pers agar jurnalis atau medianya diperiksa. Jika terbukti melanggar, Dewan Pers dapat mencabut verifikasi medianya atau memberikan sanksi lain.
“Kalau tujuannya selain mencari dan mengonfirmasi informasi, apalagi sampai menekan narasumber, itu sudah pelanggaran etika jurnalistik,” katanya.
Melanggar Aturan Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik
Praktik wartawan bodong jelas melanggar Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/IV/2024 tentang Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional. Dalam aturan itu disebutkan bahwa wartawan profesional wajib:
- Tidak menerima atau meminta imbalan dalam bentuk apa pun yang dapat memengaruhi independensinya.
- Tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi, politik, atau jabatan publik.
- Tidak melakukan intimidasi kepada narasumber.
Selain itu, tindakan wartawan bodong juga menyalahi Kode Etik Jurnalistik pada:
- Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
- Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
- Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Meski aturan sudah jelas, literasi etika jurnalistik di daerah masih rendah baik di kalangan masyarakat maupun oknum media. Hal ini membuat pandangan masyarakat terhadap jurnalis menjadi negatif.
Evvi menyebut, sekolah lain di sekitar SMPN 5 juga mengalami hal serupa.
“Mereka tahu celahnya, tahu waktu pencairan dana, dan tahu siapa yang bisa ditekan. Kadang datang bawa kamera, pura-pura liputan, tapi ujung-ujungnya minta uang. Banyak sekolah yang akhirnya pasrah karena nggak mau ribut,” pungkasnya.
