Opini  

Jokowi dan Cicak VS Buaya Jilid 2

290 dibaca

Trias Suci Puspa Ningrum

 

 

Akhir- akhir ini masyarakat Indonesia disuguhkan dalam hiruk pikuk perseturuan antara KPK dan Polri. Perseturuan ini tak nampak memiliki titik temu ketika dua institusi tersebut saling mengklaim dirinya paling benar dalam edisi “Cicak vs Buaya Jilid II” ini. Jika dilihat perseturuan kedua institusi ini dimulai pada saat KPK melalui Ketua Umumnya, Abraham Samad menetapkan status tersangka Calon Kapolri yang diusulkan Jokowi kepada DPR RI, Selasa (13/1/2015).

Lantas semua publik tercenang dengan keberanian KPK mencegal terduga korupsi tersebut menuju karir tertingginya sebagai Jendral Bintang Empat Korp Bhayangkara (Polri). Permasalahan semakin rumit ketika DPR RI tidak mengindahkan status sang calon Kapolri yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi gratifikasi. DPR RI justru tetap menyetujui dan mendukung calon tunggal Kapolri tersebut.

Tak lama berselang, publik kembali disuguhkan dengan berita penangkapan salah satu komisioner KPK, Bambang Wijayanto oleh aparat kepolisian. Penangkapan wakil ketua KPK atas dasar penetapan statusnya sebagai tersangka dalam kasus sengketa Pimilihan Ketua Daerah Kotawaringin Barat, yang kembali muncul setelah hilang selama 5 tahun. Bambang Wijayanto, sebagai pengacara salah satu pihak dalam kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat 2010 tersebut, diduga sebagai pengatur sekenario saksi yang memberi keterangan palsu.

Penangkapan Bambang Wijayanto dilakukan dengan refresif oleh aparat Kepolisian, dan terkesan Bambang Wijayanto sebagai seseorang yang sangat berbahaya sehingga dibutuhkan penangkapan ekstra ketat dengan cara kedua tangan di borgol. Seperti yang diketahui publik bahwa kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat tersebut sudah dilaporkan kepada Kepolisian oleh pihak yang merasa dirugikan pada tahun 2010, namun tidak ada kejelasan. Hingga muncul kembali saat ini dalam edisi “Cicak vs Buaya Jilid II”.

Secara kasat mata publik tidak bisa memunafikkan bahwa penetapan tersangka wakil ketua KPK Bambang Wijayanto pada saat itu merupakan proses hukum murni dari Kepolisian, tetapi sebaliknya yaitu sebagai ajang pembalasan terkait penetapan calon Kapolri Budi Gunawan sebagai tersangka sebelumnya oleh KPK. Publik juga melihat ada unsur lain di balik penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka setelah dia diajukan Presiden Jokowi sebagai calon tunggal Kapolri Ke DPR RI.

Pertanyaan yang ada di benak publik yang sampai saat ini belum terjawab adalah mengapa KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka baru, setelah dia dicalonkan sebagai Kapolri oleh Jokowi ?Jika jawabannya adalah baru ditemukan cukup bukti oleh KPK, maka pertanyaan berikutnya mengapa tidak ada koordinasi sebelumnya antara pimpinan KPK dengan Pimpinan Kapolri terkait dengan rencana penetapan status tersebut ? Bahkan pasalnya, DPR RI pun tidak diberi tahu secara tertulis terkait dengan penetapan status tersangka, Calon Kapolri Budi Gunawan Oleh KPK pada saat itu.

Memang tak ada peraturan yang melarang penetapan seseorang menjadi tersangka dengan adanya motif pembalasan dendam, politis dan sebagainya. Dengan catatan Penetapan status tersebut harus dilandasi bukti dan peroses penyelidikan yang sesuai dengan KUHP dan KUHAP yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia sampai saat ini.

Jika kasus tersebut hanya didasarkan oleh motif pembalasan dendam saja tanpa adanya bukti yang kuat menetapkan seseorang menjadi tersangka maka ini sebuah kehancuran penegakan hukum di indonesia. Para penegak hukum dengan mudahnya menetapkan seseorang menjadi tersangka dengan unsur “barang siapa” saja. Unsur delik yang lain yang semestinya menjadi dasar seseorang ditetapkan menjadi tersangka akan dicari kemudian. Yang diutamakan adalah penetapan seseorang menjadi tersangka terlebih dahulu.

Jokowi yang diharapkan publik untuk bertindak tegas dalam kasus yang melibatkan kedua pejabat dalam kedua institusi tersebut nampak bingung dan terkesan sangat berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Kebingungan tersebut nampak terlihat jelas ketika dia meminta berbagai pendapat tokoh nasional dan akademisi, hingga akhirnya membentuk tim sembilan yang tidak dilandasi oleh keputusan presiden yang menjadi dasar hukum pembentukannya.

Kesalahah Jokowi dalam mengambil sebuah keputusan akan berdampak langsung terhadap eksistensinya sebagai Presiden RI terpilih pada pemilu 2014. Citra Jokowi yang pro rakyat selama ini akan hilang dengan serta merta apabila dia mengambil sebuah keputusan yang bertentangan dengan harapan publik kebanyakan. Kebingungan yang dialami Jokowi tersebut semoga tidak berlangsung lama karena publik sudah jenuh dengan edisi“Cicak Vs Buaya jilid II” ini.

Publik sangat menunggu keputusan tegas dari Presiden Jokowi untuk mengakhiri edisi “Cicak vs Buaya” ini karena akhirnya publik hanya menginginkan pemberantasan korupsi harus tetap berlangsung apa pun hasil keputusan Jokowi nanti, karena negara kita masih bertengger di posisi bawah untuk negara terbersih dari korupsi yaitu peringkat 107 dari 177 negara (Datalembaga Transparency International, Desember 2014).

Data tersebut menunjukkan bahwa negara kita merupakan salah satu penghasil terbesar“tikus-tikus” pencuri uang rakyat. Oleh sebab itu keputusan Presiden Jokowi yang sudah amat dinantikan oleh publik harus dilandasi atas dasar Save KPK dan Save POLRI.

 

Penulis: Edius Pratama (Kepala Biro Siyasi UKMF FOSSI FH Unila 2014/ 2015)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × five =