LMID Unila Tolak Penulisan Ulang Sejarah Republik Indonesia

Foto : RILIS/LMID
29 dibaca

Teknokra.co : Eksekutif Komisariat Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Universitas Lampung (Unila) membuat pernyataan sikap terkait penolakan keras terhadap penulisan ulang sejarah Republik Indonesia yang dihadiri oleh ketua LMID kota Bandar Lampung di Sekretariat LMID Universitas Lampung pada Rabu, (18/6).

Ketua LMID kota Bandar Lampung yaitu Wahyu Eka Saputra (Bung way) mengatakan bahwa pernyataan sikap ini merupakan bentuk protes keras terhadap penulisan ulang sejarah Republik Indonesia sebab penulisan ulang ini akan membuat bias kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, terutama pada penghilangan sejarah tentang pemerkosaan dan pembunuhan perempuan-perempuan Etnis Tionghoa pada kerusuhan ’98, padahal jelas bahwa Komnas HAM dan presiden B.J. Habibi menegaskan bahwa kejadian tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang harus dipertanggungjawabkan, bukan malah dihilangkan.

LMID menolak tegas segala bentuk penulisan ulang sejarah Republik Indonesia yang membiaskan atau menghapuskan sejarah kelam pelanggaran HAM berat masa lalu yang LMID menilai ini hanya untuk kepentingan penguasa semata karena korban belum juga mendapatkan keadilan, namun sudah akan dihapuskan sejarahnya.

Menurut Zahra perwakilan dari Departemen Pendidikan dan Kaderisasi LMID Unila Berpendapat bahwa tindakan dari adanya pernyataan sikap sangat krusial karena melihat dari bahaya yang timbul dari penulisan ulang sejarah yang dapat menghapuskan sejarah pelanggaran HAM.

“Pernyataan sikap yang kita lakukan ini sangat krusial karena kita melihat bahaya dari penulisan sejarah ulang yang akan menghapuskan sejarah pelanggaran HAM yang belum tuntas,” ujarnya.

Ia pun mengkhawatirkan risiko dari isu penulisan ulang sejarah yang apabila tidak ada tindakan akan memuat sejarah baru tanpa di sadari oleh orang-orang risikonya.

“Karena kalau gak ada yang bertindak, pelanggaran HAM yang disembunyikan lewat sejarah baru akan terus terjadi tanpa orang-orang yang sadar risikonya. Perlu ada yang mengkritisi dari yang salah, perlu ada penolakan dari yang bobrok, jadi kita harus terus mengawal dan bersuara untuk memperjuangkan hak-hak keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM di masa lalu, kini dan seterusnya,” pungkasnya.

Exit mobile version