Menimbang Rasio Komunikatif Selama Pandemi

285 dibaca

teknokra.co: Pemerintah sepertinya harus menghaturkan permohonan maaf secara afirmatif. Kita semestinya memiliki pemahaman mendasar sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia. Tercatat sampai bulan April, dalam sebuah model strategi komunikasi, pada fase krisis, pemerintah belum seutuhnya menyalurkan informasi mutakhir secara berkala. Tetapi ironisnya pemerintah telah membuat ketidakpastian informasi, ditambah dengan ketidaksanggupan pemerintah untuk mengoreksi rumor dan misinformasi di ruang-ruang publik.

Corong pemerintah dan oposisi kini tergambar melalui isu partisan media massa. Siaran berita menjadi bias berimbas pada kebingungan-kebingungan publik dan semakin diperburuk oleh masifnya narasi-narasi yang berkembang di media sosial. Ketidakpercayaan publik masih tinggi, begitu pula prasangka dan ketakutan. Ujungnya, opsi dari berbagai skenario yang ditawarkan Pemerintah hanya memperkeruh suasana. Opsi “Darurat Sipil” (Darurat sipil, istilah yang kita ingat dari pelajaran sejarah lekat dengan pergolakan politik dan kediktatoran pada 1950-an)menuai polemik, dan sebagian besar opsi atau himbauan Pemerintah hidup dalam krisis komunikasi.

Jurgen Habermas dalam bukunya yang berjudul Rasio Komunikatif. Ia berpendapat bahwa krisis komunikasi memicu narasi-narasi kecil; kebohongan dikatakan, metanarasi terabaikan, yang disembunyikan oleh otoritas adalah kebingungan. Lalu yang kedua-memicu lahirnya konflik yang lebih besar.

Mengantisipasi Konflik

Barbara Reynold dan Matthew W. Seeger dalam Journal of Health Communication edisi ke-10 tahun 2005, Reynold dan Seeger menjelaskan suatu model komunikasi yang dikenal sebagai model Crisis and Emergency Risk Communication (CERC). Model ini menguraikan penggabungan banyak informasi tentang komunikasi krisis dan risikonya terhadap suatu bencana. Maka disini, jenis-jenis kegiatan komunikasi spesifik yang harus dilakukan Pemerintah pada berbagai tahap segala kemungkinan tak terbatas (konflik) terdapat beberapa tahapan komunikasi berkelanjutan, yang diantaranya: sebelum krisis (pre-crisis), awal krisis (initial event), selama krisis (maintenance), resolusi (resolution), dan evaluasi (evaluation).

Meskipun krisis secara definisi adalah situasi yang penuh ketidakpastian, samar-samar, dan kegaduhan, model CERC diperuntukkan sebagai alat musti diaplikasikan oleh Pemerintah untuk membantu mengelola permasalahan yang kompleks. Secara filosofis dari model ini adalah publik berhak menerima informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi harus secara lengkap memaparkan kondisi krisis yang terjadi dan risiko yang ada agar dapat membantu publik membuat keputusan rasional. Komunikasi yang baik menjadi alat agar masyarakat mengadopsi perilaku yang diperlukan setidaknya untuk memperkecil risiko konflik yang lebih besar.

Masyarakat (publik) juga harus bekerja keras untuk mengatasi kesulitan dan masalah yang dihadapi, bergulat dengan ketidakpastian informasi dengan cara melawan segala bentuk irasionalitas. Oleh karenanya, belum terlambat bagi pemerintah untuk memperbaiki delegitimasi komunikasi yang terjadi; dengan demikian muncul suatu ide tentang perspektif yang tidak terlalu jauh, setidaknya dalam hal ini, dari ide tentang permainan bahasa.

 Apa yang kita amati dari permainan bahasa adalah suatu proses delegitimasi yang harus dikobarkan (fueled) oleh adanya tuntutan akan keabsahan dari informasi itu sendiri. Maka memasuki fase awal krisis, pemerintah perlu menyediakan informasi melalui satu pintu. Tentu ini memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita. Pemerintah perlu menyusun pesan menyeluruh sehingga publik mengerti mengenai krisis yang terjadi, konsekuensi, dan antisipasi aksi secara praksis berdasarkan data terbaru. Ini dimaksudkan agar publik siaga terhadap langkah selanjutnya.

Setelah melewati fase awal krisis. Situasi mulai terakumulasi sejak informasi yang dikonsumsi publik mengalami perkembangbiakkan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, perkembangbiakkan informasi merupakan suatu efek dari kemajuan teknologi. Situasi ini mempresentasikan, agaknya suatu erosi/pengikisan internal prinsip krisis legitimasi. Ada erosi yang sedang terjadi di dalam permainan spekulatif yang muncul di tengah-tengah masyarakat, dan dengan terperangkapnya tenunan jaring-jaring narasi-narasi palsu terkait Covid-19 di mana setiap prasangka tidak lagi mendapatkan tempatnya, pada akhirnya hal ini membuat pemerintah bisa dipercaya lagi oleh masyarakat.

Oleh karena itu, setelah itu pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis bisa dilewati. Pemerintah harus melakukan ini dengan metode memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengkoreksi rumor dan kesalahan informasi, serta menjelaskan resolusi pemulihan setelah krisis. Mengenai resolusi setelah krisis, pemerintah harus tetap melakukan komunikasi untuk menumbuhkan solidaritas dan pemahaman terhadap krisis yang telah terjadi. Terakhir, pada tahap evaluasi, langkah-langkah sebebelumnya tentu telah menghasilkan konsensus dan pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi kejadian serupa di masa yang akan datang.

Atas penjabaran diatas. Maka saya berpendapat bahwa pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama menuju ruang dalam kebudayaan yang didalamnya tidak ada kedustaan yang dikemas dengan kemasan yang menarik, dapat berubah menjadi keberanian, kepalsuan, yang ditampilkan lewat teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna, dapat tampak sebagai keaslian, ilusi, yang dikonstruksi lewat kerumitan teknologi artifisial yang mencengangkan, dapat diterima sebagai realitas, kejahatan, yang dibungkus lewat rekayasa sosial berteknologi tinggi, dapat menjelma menjadi kemuliaan palsu.

Opini: Aqil Neariah

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + 17 =