Perempuan Masih Rawan Terhadap Konflik Struktural

Diskusi publik yang digelar oleh Konsentris bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membahas tentang perempuan dan problem struktural di Aula Penyejuk Jiwa, Jalan Cengkeh, No.5C Baru, Gedong meneng, Rajabasa, Kota Bandar Lampung pada Jumat (24/2). Foto : Teknokra/ Rara Ayudhia Adistri.
388 dibaca

Teknokra.co : Perempuan masih rawan terhadap konflik struktural. Hal tersebut diungkapkan dalam diskusi publik yang digelar oleh Konsentris bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membahas tentang perempuan dan problem struktural di Aula Penyejuk Jiwa, Jalan Cengkeh, No.5C Baru, Gedong meneng, Rajabasa, Kota Bandar Lampung pada Jumat (24/2).

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Sumaindra Jarwadi perempuan masih mendapat ketimpangan struktural yang lebih besar terutama dalam konteks perjuangan.

“Sebelumnya peran-peran mereka dalam konteks perjuangan kasus-kasus struktural itu tidak terlihat dan akhirnya bahwa penting untuk melibatkan kelompok perempuan dalam setiap aspek perjuangan, karena dampak dari konflik agraria ini mereka lah yang paling banyak mendapatkan beban lebih dari situasi pelanggaran hak asasi wanita yang ada,” tuturnya

Ia berharap, setelah ini akan ada kerja sama untuk melindungi serta mendampingi perempuan dalam memperoleh haknya.

“Bagaimana kemudian kita sama sama mendampingi kawan-kawan pejuang yang memiliki banyak keterbatasan, kita hari ini sama-sama berkolaborasi berbicara soal perlindungan yang lebih komprehensif sehingga engga ketinggalan termasuk juga perjuangan terhadap perempuan,” harapnya.

Direktur Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung, Ana Yunita mengungkapkan jika perempuan masih dianggap lemah dan menjadi tren di kalangan masyarakat

“Trennya selama ini perempuan tidak dilibatkan karena dianggap lemah. Perempuan bukan  tidak mau berjuang karena kalau kita refleksikan ke perjuangan kemerdekaan ada perempuan yang memegang senjata,” ungkapnya.

Ia menambahkan, bahwa dalam suatu perjuangan bukan hanya laki-laki atau perempuan saja yang berjuang melainkan harus adanya bentuk kerja sama dari keduanya.

“Tapi kan ada perubahan sosial dan budaya itu juga mempengaruhi terhadap pandangan bahwa lelaki saja yang berjuang, perempuan di rumah saja. Padahal seharusnya perempuan dan laki-laki berjuang bersama-sama,” pungkasnya.

Reporter : Rara Ayudhia Andistri

Penyunting : Sepbrina Larasati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 7 =