Anak Lanang, Film Pendek yang Penuh Pesan Moral

1,779 dibaca

Resensi Film Pendek – Anak Lanang (2017)

Judul: Film Pendek – Anak Lanang (2017)
Sutradara: Wahyu Agung Prasetyo
Produser: Jeihan Angga
Durasi: 14.51 menit
Pemeran: Satrio Satya Purnama sebagai Danang
Mahrival Surya Manggala sebagai Sigit
Khoirul Ilyas Aryatmaja sebagai Samsul
Muhammad Khildan Habiebie sebagai Yudho
Adi Marsono sebagai Tukang Becak

teknokra.co: Suatu siang di depan sekolah dasar, Danang, Sigit, dan Samsul sedang menunggu Yudho di atas becak, yang mereka gunakan untuk mengantar pulang ke rumah masing-masing. Danang yang sudah kesal dan kepanasan di atas becak, membentak Yudho yang terlalu lama membeli pentol.
“Wes munggah-munggah! Malah dok batu, malah tak jompalangin becake!” seru si Tukang Becak yang sudah kesal melihat pertengkaran ke dua anak laki-laki itu.
Film pendek berdurasi lima belas menit karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo ini, bercerita tentang perjalanan pulang empat orang menuju rumah mereka masing-masing, ditemani oleh satu orang tukang becak.
Film ini diambil dengan teknik One Take dimana tidak ada jeda dalam pengambilan gambar serta hanya memiliki satu latar yaitu jalanan. Isi ceritanya pun sangat tentang obrolan sehari-hari ala anak-anak sekolah dasar dalam bahasa Jawa.
Mulai dari Sigit yang diminta tiga temannya untuk mengirim jawaban pekerjaan rumah mereka melalui grup WhatsApp, mengomentari seorang pengedara motor yang ugal-ugalan, membicarakan teman perempuan mereka yang baru saja pindah dari Ngawi, sampai membicarakan bagimana cara memberikan ucapan selamat hari Ibu untuk Ibu mereka.
Film milik sutradara “Tilik” ini meskipun diceritakan dengan begitu sederhana, tetapi karakter masing-masing tokoh dalam film ini menjadi hal yang unik dan menonjol. Menampilkan bahwa anggapan anak laki-laki itu pasti akan mengambil sifat Ibunya begitu jelas diceritakan melalui obrolan masing-masing tokoh.
Sigit mengambil sifat Ibunya yang sangat baik menurut Samsul. Sigit dengan sukarela memberikan contekan pekerjaan rumah kepada temannya, juga cara menanggapi teman-temannya yang bertengkar dengan sabar dan bijak.
Kemudian Samsul dilakonkan sebagai seorang yang suka membual dan provokator. Ia terus-terusan memprovokasi pembicaraan Yudho dan Danang. Ia tidak meyukai ibunya karena tidak menanggapi ucapan selamat hari ibu darinya.
“Wah emoh aku! Aku wes tau kek ngono idat, tapi ibukku meneng wae kae. Malah bengak bengok dewek, lho, gara-gara nonton sinetron. Kan mangkel aku!” serunya sambil bermain telepon genggam, walaupun sedang mengobrol dengan teman-temannya.
Lalu, Danang dan Yudho terus saja bertengkar, mempermasalahkan hal-hal kecil sepanjang perjalanan. Tukang becak harus berulang kali pula menenangkan mereka. Membuat penonton bertanya-tanya bagaimana sifat ibu mereka.
Pertanyaan tersebut akan terjawab di akhir film. Dimana mereka berdua tinggal di rumah yang sama. dan memiliki Ayah yang sama tetapi Ibu yang berbeda.
Walaupun film ini hanya berisi obrolan anak-anak sekolah namun menyampaikan pesan yang cukup serius. Mulai dari anak-anak yang tumbuh melihat punggung orang tua mereka. Anggapan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohon nya memang benar adanya. Anak-anak pasti akan mengambil sifat yang dimiliki oleh orangtuanya.
Digambarkan juga anak-anak yang mulai terpapar digitalisasi, dan orang yang lebih dewasa justru gagap teknologi yang ditampilkan melalui karakter si Tukang Becak yang sering kali tidak mengerti pembicaraan anak-anak itu ketika membicarakan media sosial, hingga praktik poligami yang memang nyata dan ada di Indonesia.
Film pendek ini cocok ditonton oleh orang-orang yang merindukan interaksi dengan teman kecil, juga untuk yang mungkin sedang mencari film pendek karya anak bangsa. Film ini dapat diakses dengan mudah di Youtube.

Penulis: Rahel Azzahra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 3 =