Kopi Agroforestri Solusi Deforestasi Desa Ujung Rembun

334 dibaca

teknokra.co: Setiap pukul 7 pagi Supriyono (35) sudah mulai siap-siap untuk berangkat ke kebunnya yang berjarak 3 kilometer dari rumahnya. Ia membawa alat penunjang untuk kegiatannya seperti cangkul, parang, serta motor trail yang sudah disiapkan sebelumnya, kemudian ia pun berangkat ke kebun kopi miliknya. Begitulah aktivitas Supriyono setiap hari, terkadang ia memabawa anak dan istri untuk membantu kegiatannya.

Supriyono merupakan petani Desa Ujung Rembun, Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung. Desa tersebut terletak di ketinggian 1050 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Supriyono menjelaskan bahwa perawatan kopi agroforestri memiliki banyak tantangan, seperti kopi yang mati akibat hama. ”Jadi dalam satu batang itu mati semua, masalahnya juga mereka akan merambat ke batang lainnya,” jelasnya.

Supriyono menerangkan bahwa harga kopi untuk saat ini berkisar 17.000 rupiah per kilogram. Terangnya lagi hasil panennya setiap setahun sekali untuk kebunnya sendiri bisa sampai 1,5—2  ton setiap tahunnya.

Menurut Supriyono kopi dengan harga 17.000 rupiah per kilo sudah termasuk paling murah jika dibanding kopi lainnya yang kualitasnya tidak kalah jauh.

“Jika pengeluaran kita dengan hasil panen kita sebenarnya imbang, kita nggak punya tabungan lagi. Yang penting untuk menopang kehidupan kita untuk kedepannya cukup,” jelasnya.

BACA JUGA:

Lembah Suoh, Lumbung Padi Organik di Lampung Barat

Kisah Sedih Batua, Harimau Korban Jerat

Kopi Ujung Rembun Berkualitas Bagus

Ketua Lembaga Himpunan Pemekonan (LHP) Desa Ujung Rembun, Supardi mengatakan bahwa kualitas kopi yang dimiliki di Desa Ujung Rembun memiliki mutu yang tinggi.

”Intinya kami kalah akses, kalah jalan. Jadi masyarakat Ujung Rembun itu jual belinya itu di Sumatera Selatan, itulah kelemahan kami di sini. Sebenarnya produk kami lumayan bagus,” ujarnya.

Masih berbicara soal kualitas kopi, Supardi menjelaskan bahwa desa Ujung Rembun sudah beberapa kali mengikuti perlombaan kualitas kopi.

“Sebenarnya kualitas kopi kita ini sudah bagus, tinggal cara pengolahaannya dan dicarikan pembina untuk mengolah kopi ini supaya kualitas kopinya lebih bagus lagi,” jelasnya.

Supardi menambahkan selain kurangnya pengetahuan akan pengolahan kopi, kendala lain terdapat pada akses jalan yang sangat ekstrem dan internet yang sulit dijangkau. Kedua hal itu  menyulitkan untuk mencari informasi.

“Misalnya kita mau mencari informasi keluar, kita tuh susah. Pertama akses jalan, kedua jaringan komunikasi. Jika kedua akses ini bagus kemungkinan kita dari rumah saja bisa cari grup petani kopi dan nemuin solusi dari situ,” tambahnya.

Supardi menjelaskan alasan mengapa masyarakat Desa Ujung Rembun mendistribusikan kopinya ke Sumatera Selatan. Hal ini karena akses ekonomi untuk jual beli kopi ke Sumatra Selatan sudah terbangun sejak dulu.

“Dari tahun 80-an sampai sekarang. Karena sistemnya kita ambil barang dulu atau istilahnya simpan pinjam. Makanya mau tidak mau kita harus bawa barang ke sana (Sumatera Selatan) dengan tengkulak. Harapannya mereka memberikan uang sebelum masa panen dan dikala masa panen hasilnya diberikan kepada mereka,” jelasnya.

Jawadi, Kepala Desa Ujung Rembun mengatakan bahwa harga kopi di Ujung Rembun berkisar 17.000 rupiah per kilogram. Hal ini disebabkan oleh faktor jalan yang ekstrem, seyogyanya bisa mengantarkan kopi hanya sehari. Namun, jika cuaca tidak menentu seperti hujan dan jalan menjadi licin dan berlumpur, maka pendistribusian kopi bisa sampai 2—3  hari.

Banyak warga yang mengeluhkan akses jalan kepada Jawadi, karena jalan adalah pendukung mobilitas pendistribusian produksi kopi di Ujung Rembun.

“Karena faktor jalan yang luar biasa suram, dan medannya sangat luar biasa kecuramannya apalagi cuaca seperti sekarang curah hujannya sangat tinggi,” paparnya.

BACA JUGA:

Tinggalkan Kawasan TNBBS, Petani Teba Liokh Beternak Lebah

Harimau Sumatera Terancam Punah, TNBBS Adakan Pelatihan Advokasi

Antara Kopi dan Hutan

Satrio Tri Handono adalah seorang Community Organizer Officer yang ditugaskan Wildlife Conservation Soeciety (WCS) Indonesia Program, untuk mendampingi petani kopi yang  berdiam di sekitar batas hutan kawasan TNBBS di wilayah Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat. Pendampingan tersebut dilakukan agar petani menanam kopi dengan cara berkelanjutan di luar kawasan TNBBS. Satrio menjelaskan bahwa upaya WCS adalah mendukung pelestarian TNBBS.

“Kami mendukung masyarakat dengan memberikan pelatihan budi daya kopi yang baik sehingga dengan lahan yang kecil dapat menghasilkan kopi dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Jadi tidak perlu membuka lahan dalam kawasan TNBBS. Kami juga mengajarkan petani menanam pohon penaung di kebun kopinya, untuk menjaga kualitas tanah,” ujarnya.

Satrio menambahkan bahwa budi daya kopi dengan sistem agroforestri adalah sistem yang secara berkesinambungan untuk menjaga kelestarian ekosistem  hutan tetap ada dan mendukung produksi kopi berkelanjutan.

“Dengan sistem ini, kami berharap tidak akan ada pembukaan hutan lagi untuk budi daya kopi di wilayah ini (Ujung Rembun), tapi hanya memaksimalkan lahan yang ada. Jadi segi fungsi ekosistem hutan tetap terjaga,” tambahnya.

Agustanto Basmar, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan (Kadisbun) Lampung Barat memaparkan pertumbuhan luas areal kopi di Lampung Barat sudah tidak ada lagi pertambahannya.

“Pembukaan lahan kopi di Lampung memang sudah tidak marak, kalau untuk di hutan kawasan terutama di TNBBS sudah hampir tidak ada lagi, kecuali memang perambahnya bukan dari wilayah kami, kami tidak banyak tahu,” ujarnya.

Ia juga menuturkan kalau pembukaan lahan baru untuk menananam kopi masih bisa dilaksanakan selagi lahan tersebut bukanlah kawasan hutan.

“Namun, dalam penanamannya juga harus diperhatikan kembali. Seperti tidak boleh melakukan pembakaran hutan karena melanggar undang-undang perkebunan, dan lahan tidak miring karena lahan miring tidak dapat menghasilkan kopi yang bagus, apabila tetap memaksakan penanaman di lahan miring akan memerlukan biaya (produksi)  yang tidak sedikit,” tuturnya.

Kopi Agroforestri Pendorong Ekonomi

Ruchyansyah selaku Kepada Dinas Kehutanan Provinsi Lampung memaparkan bahwa jika dilihat dari sisi ekonomis, budi daya kopi dengan sistem agroforestri seharusnya bisa menjadi peluang yang bagus dan menjadi terobosan. Karena sistem ini memperbaiki kualitas lingkungan, maka dari itu kopi ini memiliki nilai tambah. Sehingga kopi yang dihasilkan dengan sistem agroforestri menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan kopi.

“Jika penjualan kopi  ini disiasati dengan baik, hal tersebut bisa meningkatkan nilai jual. Ini sudah terjadi di tingkat lapangan. Petani yang sudah memiliki sertifikasi untuk teknik penanaman yang baik, kopinya diterima dengan nilai yang tinggi dibandingkan yang asalan dan tanpa sertifikasi,” jelasnya.

Ia mengakui tantangan yang dihadapi pihak pemerintah yaitu menyadarkan para petani agar sadar manfaat dari kopi dengan sistem agroforesti. Karena para petani masih berasumsi bahwa mereka hidup dari kopi.

“Padahal kalau kita melakukan budi daya agroforesti mereka akan mendapatkan keuntungan. Di antaranya masa panen yang bergantian, kalau mereka hanya menanam kopi mereka hanya bisa panen satu tahun sekali,” ujarnya.

Merespon keluhan masyarakat Desa Ujung Rembun, Agustanto Basmar mengatakan pemerintah Lampung Barat berkomitmen membangun infrastruktur. Sasaran utamanya yaitu jalan dan jembatan untuk memudahkan mobilitas antar wilayah guna meningkatkan perekonomian daerah setempat.

“Pada 2020 sudah dianggarkan rencana pembangunan jalan dari Lumbok Suka Banjar sampai Ujung Rembun. Namun karena pandemi  kami harus melakukan refocusing (anggaran),” papar Agus.

Terkait petani yang menjual hasil kopi ke wilayah Sumatera Selatan. Agustanto Basmar selaku Kadisbun Lampung Barat pun tidak bisa menghalangi keadaan tersebut. Hal ini karena memang lebih mudah mendistribusikan hasil kopi melalui danau ke arah Sumatera Selatan.

Penulis : Andre Prasetyo Nugroho

Exit mobile version