teknokra.co: WELCOME TO WATER FRONT CITY. Tulisan besar pada baliho jalan itu terpampang di kawasan perbukitan di Kelurahan Bumi Waras Teluk Betung Bandarlampung. Jejeran bukit-bukit yang dulunya hijau kini gersang.Kondisinya bak kacang tanpa kulit, berupa bongkahan batu tergeruk disana-sini.Truk pengangkut batu mondar-mandir memasuki kawasan bukit. Para penambang batu dengan linggisnya saban hari menguliti dinding bukit, membongkah batu. Bukit yang dulunya disebut ikon Kota Bandarlampung itu kini berdiri dengan kondisi yang amat menyedihkan.
“Tak ada pilihan lain, meskipun resikonya sangat tinggi jika tidak jadi penambang batu, kami tidak bisa makan,” ujar Salim (40) salah seorang penambang batu di kawasan itu. Salim sudah melakoni pekerjaannya itu sejak masa remaja. “Pendapatan kami sehari tidak menentu, jika truk penuh kami mendapat upah sekitar lima puluh ribu rupiah, cukup untuk makan dan sedikit simpanan untuk biaya sekolah anak saya.”
Pemandangan tak jauh berbeda juga terlihat di Bukit Suka Menanti di kawasa Kedaton Bandar lampung. Penggerusan di bukit itu sudah berlangsung puluhan tahun. Kondisinya tandus, bukit itu tak lagi berpohon.
Lain lagi yang nampak di Bukit Lungsir dan Bukit Kemiling. Bukit yang dulunya menjadi kawasan hijau kini beralih fungsi menjadi kompleks perumahan dan bisnis. Bukit Randu dan Bukit Camang juga sama dijadikan objek menggerus keuntungan para pebisnis. Investasi yang menjanjikan, membuat para investor ligat memburu kawasan bukit.
Pemerintah kota Bandarlampung berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota nomor 13 Tahun 2009 mengklaim memiliki tiga belas bukit di kawasan kota. Perhitungan ini jauh dari angka penelitian LSM Wahana Lingkingan Hidup (Walhi) yang menyebut Bandarlampung memiliki sekitar tiga puluh dua bukit.
Direktur Walhi Lampung, Hendrawan, mengatakan, sebagian besar kondisi perbukitan di Bandarlampung memprihatinkan. Ia merincikan, Bukit Sukamenanti kini keadaannya rusak sedang, Bukit Kunyit keadaan rusak parah, Bukit Randu beralih fungsi jadi kawasan bisnis, Bukit Camang beralih fungsi dan rusak, Bukit Lungsir dan Bukit Kemiling telah berubah menjadi kawasan pemukiman. “Hanya Bukit Betung dan Bukit Sulah yang sampai saat ini masih terjaga fungsinya sebagai kawasan hutan,” ujar Hendra.
Kawasan perbuktian seharusnya dipertahankan sebagai kawasan hijau kota. Pemerintah kota memang telah mengeluarkan Perda tahun 1996 tentang pengolahan Bukit dan lereng. “Namun faktanya saat ini perda tersebut tidak berlaku lagi. Bahkan hampir semua bukit di Bandar lampung dalam keadaan rusak dan beralih fungsi,” ujar pria gondrong ini.
Menurut Hendra, tidak adanya ketegasan dari pemerintah tentang pengelolaan kawasan bukit menjadi sebab pengalihan fungsi bukit. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas penambangan batu baik secara tradisional maupun dengan alat berat hampir selalu terjadi di kawasan bukit.
Pemerintah selalu berdalih kawasan bukit bukan lagi hak milik pemerintah, melainkan sudah milik warga karena sudah dibeli. Karena itu, pemerintah tidak lagi melakukan fungsi kontrol untuk menjaga kawasan bukit sebagai kawasan hijau kota. “ Harusnya mengontrol, bukan malah diberikan izin untuk mengolah sehingga ada pengalihaan fungsi pada kawasan tersebut.”
Pemerintah tentunya memiliki regulasi dalam setiap kebijakan yang diambil, termasuk dalam pengelolaan kawasasan bukit. Regulasi ini sangat penting untuk mempertahankan tata ruang pada kawasan bukit.
“Meskipun bukit diolah oleh pemiliknya, namun pemerintah tetap memiliki hak untuk memberi batas pengolahan. Misalnya masih diberi ruang hijau, pembatasan kedalaman pengerukan, dan lain-lain. Kondisi saat ini malah makin membuat keberadaan bukit terancam karena tidak adanya rehabilitas pada kawasan bukit,” tutur Hendra. “Walhi pernah melakukan kampanye penyelamatan pada kawasan bukit, namun belum ada tanggapan dari pemerintah.”
Ketua Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandarlampung, Syahril Alam, mengatakan pemerintah belum mampu memberikan lapangan pekerjaan baru untuk para penambang batu sehingga pemerintah pun kesulitan untuk menyetop aktivitas penambangan yang menjadi penopang kebutuhan hidup. Selain itu Lampung juga menjadi sasaran investor karena memiliki potensi alam yang menunjang kegiatan bisnis seperti kawasan perberbukitan, laut, perkebunan.
Pemerintah menurut Syahril tidak pernah memberikan izin kepada para penambang liar untuk menjarah kawasan bukit secara ilegal. “Semua sudah diatur. Namun tetap saja, masyarakat bandel. Jika terjadi dampak buruk pasti pemerintah yang akan disalahkan. Padahal kesadaran diri masyarakat masing-masing juga perlu diperhatikan.“
Kawasan bukit juga perlu diolah, namun tetap harus memperhatikan konservasi alam. “Jika bukit dibiarkan saja dan tidak diolah maka bukit juga jadi tidak terawat. Bukan pengalihan fungsi, tapi lebih ke pemberdayaan fungsi bukit,” tutur Syahril.
Laporan: Virda Altaria Putri