teknokra.co: Suara lirih mengiringi langkah kakek tua itu memasuki area taman tak terawat. Jalannya sedikit membungkuk dan tertatih. Ia menopang tubuhnya yang renta itu dengan tongkat. Di sebuah kursi, si kakek duduk sendiri, terbatuk-batuk.
Tak lama, ia mulai berseloroh soal kompleksitas taman. Taman baginya adalah tempat penting bagi masyarakat kota sehingga keberadaannya harus dirawat. “Tampaknya Dinas Pertamanan Kota tak bekerja dengan baik, hingga taman ini kumuh,” sentilnya.
Seorang pemuda kurus datang. Penampilannya lusuh, rambutnya berantakan. Ia duduk diam di sekitar taman. Tiba-tiba terdengar suara guntur. Si pemuda itu lalu bercakap sendiri soal apakah akan datang hujan di bulan yang tengah kemarau.
Mereka berbeda pendapat soal perkara hujan dan musim—penghujan atau kemarau. Di ujung perdebatan, pesan terungkap, musim rupanya tak lagi menjadi penentu. Tak pasti datang hujan sekalipun kilat datang bersahutan.
Bila dulu orang beranggapan bulan April-Oktober adalah musim kemarau dan Oktober-April musim penghujan, kini tak lantas benar. Datangnya penghujan atau malah kemarau tak lagi permisi pada aturan musim. Ini semua karena dampak pemanasan global.
Di akhir perdebatan, muncul seorang pedagan balon. Pria muda dengan logat Medan itu menawarkan barang jualannya. ”Balon.., balon…”
Si kakek dengan ramah, mempersilahkan penjual balon itu duduk. Namun si penjual balon tetap berdiri.
“Sudah biar saja kalau dia tidak mau, kau pikir taman ini rumahmu,” kata si pemuda pada kakek.
Si kakek lalu menanggapi, cekcok kembali terjadi. Tiba-tiba kembali terdengar suara guntur. Penjual balon ketakutan karena takut balonnya pecah. Dan, balon-balon itu lepas, ditangkap dan diletuskan oleh si pemuda dan kakek.
Ia pun merengek kehilangan balonnya. Si pemuda lantas memarahinya karena cengeng. Ia lalu melemparkan uang kepada si penjual balon itu dengan maksud mengganti rugi.
Namun si penjual balon menolak. Rupanya ia tak maksud berjualan, melainkan hanya gemar balon dan menjadikan pekerjaannya itu sebagai kamuflase. Sambil merengek, ia melampiaskan unek-uneknya. “Banyak orang suka mobil, mengoleksi mobil. Orang suka rumah, mengoleksi rumah. Orang suka wanita, mengoleksi wanita. Penjual balon itu hanya suka balon, dan mengoleksi balon. Apakah orang-orang kecil tak boleh mengoleksi?” sindirnya.
Pesan itu ia sampaikan kritik kesenjangan sosial antara kaum berpunya dan tak berada. Si kaya atau yang punya kuasa begitu mudahnya menentukan pilihan dan memuluskan keinginannya, sementara si miskin masih berkutat pada angan. Kalaupun mampu merengkuhnya, butuh perjuangan yang tak mudah.
Pertentangan rupanya belum usai saat seorang ibu dengan bayinya. Percakapan antar orang-orang seisi taman itu meluap, tak beraturan, saling menyolot satu sama lain. Hingga pertanyaan sensitif meluncur pada si ibu. “Bayi ini pasti punya bapak. Lantas kemana bapaknya?” tanya pemuda menaruh curiga.
Barulah terungkap, si Ibu rupanya tengah bimbang. Ia tak paham benar siapa bapak dari bayi yang ia lahirkan. Pengalaman kelamnya diumbar. Ia tenaga kerja wanita yang berkerja di luar negeri dan mendapat perlakuan kasar majikan.
Ia diperdaya. Kesuciannya direnggut oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Pesan nyata tersingkap, seakan mengingatkan yang hadir pada konteks kekinian, nasib tenaga kerja wanita di luar negeri amatlah menyedihkan. Diperjualbelikan, diperbudak, disiksa, dan ditelantarkan.
Adegan lalu ditutup dengan kesendirian si pemuda di taman. Di tengah rintihannya menerjang dingin malam, sepasang muda-mudi menembus remangnya taman. Mereka lalu bercumbu di balik semak—seolah memberi pesan, inilah kondisi kekinian—banyak kaum muda yang kehilangan moral.
Lakon teater sarat kritik itu disuguhkan Sanggar Mahmud Kota Bumi, Lampung Utara pada Hajatan Teater Lampung, Jumat malam, 22 Juli di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Unila. Mereka mengusung tema “Petang di Taman” buah karya dari almarhum Irwan Simatupang—novelis lawas dari Medan.
Yosep Ari Sandi, sutradara yang juga ikut tampil sebagai pemuda di taman mengatakan, “Petang di Taman” bercerita tentang pertemuan empat tokoh berbeda karakter yang sama-sama punya pertentangan dan kesepian dalam hidupnya. Pesan kritik sengaja ditampilkan lewat seloroh empat tokoh di taman sebagai tempat yang tak sekadar jadi tempat bermain, tapi jadi saksi bisu berbagai curahan kompleksitas masalah manusia.
Acara yang diprakarsai Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Unila itu juga menampilkan lakon drama “Enong” dari Universitas Muhammadyah, Metro, monolog “Marsinah” dari UKMBS UBL, dan monolog “Kebohongan” dari UKMBS Unila.
“Ini pertunjukan yang pertama,” ujar Devin Nodestyo (D3 Sistem informatika) selaku Ketua Umum UKMBS Unila. Menurutnya Hajatan Teater Lampung itu akan digelar selama lima kali pertunjukan.* Oleh,Puji Lestari