teknokra.co: Untuk kedua kalinya Prof Sugeng P Harianto (dipercaya) memimpin Unila. Banyak kritikan diperiode awal kepemimpinannya. Juga keraguan soal kapabilitasnya. Mampukah Sugeng menjawab semua itu?
Pagi itu 16 September 2011. Gedung Rektorat Unila dijaga ketat belasan petugas satpam. Tak ada satu pun yang boleh masuk, kecuali yang mendapat izin dari pihak rektorat. Meski sudah masuk ke dalam gedung, jangan harap bisa menyaksikan pemilihan rektor yang digelar tertutup di ruang rapat senat lantai dua itu. Alasannya hanya satu “pemungutan suara harus steril”. Hanya anggota senat dan utusan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang boleh masuk.
Jarum jam hampir menunjuk pukul 11.00, pintu ruang sidang mulai terbuka sedikit. Dosen, karyawan, mahasiswa yang sedari tadi menunggu di luar ruangan, berebut mengintip hasil suara. Tak terkecuali Presiden BEM U, Eko Primananda. “Enam tiga, tiga enam. Sugeng menang,” ujarnya memberi informasi.
Tak lama pintu terbuka lebar, Prof Sugeng P Harianto—rektor terpilih, keluar dengan sumringah, tangannya melambai ke atas. Tak sedikit anggota senat, dosen dan karyawan yang membalas lambaiannya dan memberi selamat. Sugeng lalu dituntun oleh beberapa pengurus BEM U menuju kerumunan mahasiswa yang sedari pagi mendemo.
Di bundaran depan rektorat itu, belasan mahasiswa dari BEM seluruh fakultas dan universitas nampak lega dengan kehadiran Sugeng. Prof Wan Abbas Zakaria jalan sendiri. Ia turun tangga menuju bunderan rektorat diikuti kandidat rektor lainnya, Paul Benyamin Timotiwu. Di hadapan mahasiswa dan wartawan, Sugeng berjanji bersama dua kandidat yang kalah untuk bekerja sama membangun Unila.
Pemilihan rektor kali ini terasa berbeda dengan periode sebelumnya. Bukan hanya soal peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 24 tahun 2010 tentang 35 persen suara Mendiknas dan 65 persen suara senat. “Terdapat keganjilan, seperti kewenangan panitia khusus pemilihan rektor yang dibatasi sampai tahap penjaringan rektor saja, tidak sampai akhir pemilihan,” ujar Ketua Panitia Khusus Pemilihan Rektor, Prof Muhajir Utomo.
Muhajir menambahkan, konsep pemilihan rektor yang telah dibuat panitia khusus ditolak Ketua Senat yang dijabat Prof Sugeng P Harianto. Misalnya saja, konsep debat kandidat yang dihilangkan, hanya ada pembacaan riwayat hidup dan presentasi program kerja.
Saat akan melakukan pemilihan suara pun tak ada pembahasan tata tertib pemilihan rektor. “Enam kali mengikuti pemilihan rektor, baru kali ini merasakan perbedaan. Panitia khusus yang dibentuk tidak diperdayakan, jadi untuk apa membentuk panitia khusus,” ujar mantan rektor Unila dua periode, 1999-2007 ini.
Menurut Muhajir, banyak yang mesti dievaluasi dari kepemimpinan Sugeng di periode pertama memimpin. Sebagai contoh, sarana dan prasarana belajar yang tak kunjung diperbaiki. Peringkat webomatric Unila juga mengalami penurunan dari empat tahun lalu (2007) dari peringkat 12 menjadi 24 per Juli 2011 (versi www.webometrics.info) atau posisi 31 nasional per September 2011 (versi www.4icu.org).
“Padahal bandwithnya telah dinaikan. Teknologi siakadnya jarang sekali diupdate,” ujar dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unila ini. “Bagaimana Unila ingin menuju top ten 2025 jika tak pernah ada evaluasi, tidak pernah melibatkan senat dalam menentukan kebijakan. Harusnya mencontoh FP yang saat ini sudah peringkat tujuh di Indonesia.”
Menurut Muhajir, selama Sugeng menjabat sebagai ketua senat, masalah transfaransi keuangan universitas jarang sekali dibicarakan dalam rapat senat. Semisal Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Kedokteran hingga biaya UML tak pernah dibahas. “Jika senat mempertanyakan ia (Sugeng) hanya menjawab “Senat urus akademik saja.”
Isnan Subkhi, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyayangkan terpilihnya kembali Sugeng sebagai rektor Unila. “Unila menjadi kampus komersil sejak ditangani Sugeng, terbukti dengan adanya Ujian Masuk Lokal,” ujar mahasiswa FMIPA ’06 ini.
Lulusan Unila juga banyak yang tidak terpakai karena akreditasi universitas yang C. Selain itu, sarana dan prasarana tak meningkat, serta iklim organisasi menurun karena ada pembatasan dana kemahasiswaan.
Isnan juga menyesalkan kebijakan Sugeng yang menggusur keberadaan PKL di Unila. “Dengan motif penghijauan banyak pedagang yang digusur. Lihat saja apakah misi penghijauannya berhasil? Tidak, malahan membuat pedagang yang bertahun-tahun mencari nafkah di Unila terlantar,” ujarnya.
Abdul Darda, mantan Presiden Mahasiswa periode 2006-2007 mengatakan, Sugeng telah gagal menjadi rektor. Kondisi ini juga diperparah dengan kegagalan Sugeng dalam mengengendalikan tawuran mahasiswa. “Tawuran kemarin (21 September) menggambarkan kegagalan Sugeng dalam menyatukan mahasiswa Unila. Nama Unila sekarang jelek di Jakarta,” ujarnya.
Ahmad Fatoni Perdata, (Ekonomi ’09) yang merasa tak mendapat keadilan. Ia berulang kali mengajukan beasiswa namun gagal, padahal tergolong tak mampu dan punya prestasi lumayan. Sedangkan beberapa temannya yang mengendarai mobil ke kampus mendapat jatah beasiswa karena kerabat dosen atau karyawan. “Harusnya sebagai rektor, tidak mendiamkan kecurangan yang terjadi.”
Jhon Hendry, mantan Ketua Lembaga Penelitian Unila mengatakan, selama Sugeng menjabat rektor, telah banyak kemajuan yang ia rasakan. “Sugeng low profil, sangat terbuka dalam menerima kritikan. Ia pernah berucap “Ingatkan saya jika saya terpilih nanti melakukan kesalahan”,”ujar Jhon menirukan Sugeng.
Jhon bahkan mendukung kebijakan Sugeng dalam menetapkan Ujian Masuk Lokal. Meski banyak yang menentang, kebijakan tersebut menurutnya sangat bagus untuk mensubsidi mahasiswa yang kurang mampu melalui program bidik misi. “Unila harus berorientasi komersil jika ingin maju. Karena kuliah memang harus ditunjang dengan fasilitas dan fasilitas memerlukan dana. Jika mengandalkan SPP itu tidaklah cukup, karena SPP Unila sangat murah,” jelasnya.
Hal serupa dikatakan oleh dosen Sosiologi FISIP Unila, Pairulsyah. Menurutnya, Sugeng adalah sosok pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan dosen dan karyawan Unila. Terbukti dengan diberikannya kesempatan kepada anak-anak kandung dosen dan karyawan untuk bisa kuliah di Unila.
Sugeng juga dinilai mampu menyelesaikan pekerjaan rumah periode sebelumnya seperti merampungkan Program Persiapan Fakultas Kedokteran menjadi fakultas. “Sugeng juga sosok pemimpin yang mau turun ke bawah dalam mengontrol kinerja bawahan,” tutur pria yang akrab disapa Bung Pai ini. Namun ia menyayangkan penghasilan (gaji) dosen biasa yang masih minim.
Dosen Hukum Tata Negara, Muhtadi, menyesalkan proses pemilihan rektor yang tak melibatkan pertimbangan dosen. Senat yang mewakili seluruh civitas akademika Unila yang tak memiliki hak suara mestinya menjaring aspirasi dosen, tentang siapa yang pantas menjadi rektor.
Laporan: Nely Merina