teknokra.co: Setiap tahunnya, tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota selalu bertambah. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk pembangunan bangunan gedung, pengembangan dan penambahan jalur jalan yang terus bertambah. Hal ini memengaruhi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memiliki peran penting dalam tata kota.
Fungsi ekologis RTH dengan meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim dapat menjadi pertimbangan suatu kota. Peraturan Pemerintah yang tertuang dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen dari luas kota tersebut. Dimana 20 persen sebagai RTH publik dan 10 persen sebagai RTH privat.
Namun tampaknya bagi kota-kota di Indonesia khususnya Bandarlampung, akan sulit terealisasi. Pasalnya hasil identikasi pihak Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) tahun 2013, kini RTH di ibukota Lampung ini hanya mencapai 12,62 persen untuk ruang publik dan 1,4 persen untuk ruang privat dari 197,22 km2 luas kota Bandarlampung.
Chepi Hendri Saputra, selaku Kepala sub bidang Tata Lingkungan Hidup menyatakan pihaknya sudah mengupayakan pencapainya target RTH tersebut. Namun pihaknya mendapatkan beberapa kendala dalam upaya pencapaian. Salah satunya status tanah harus milik pemerintah, dan juga kesiapan anggaran Pemerintah untuk pembangunan, pengelolaan, dan pengawasan dari RTH. “enggak ada RTH, kota ini sakit, kalau kotanya sakit warganya juga akan sakit,” tambahnya.
Menurut Chepi, Pemerintah lazimnya setiap tahun menganggarkan dana untuk pembebasan lahan RTH agar target 30 persen dapat tercapai. Ia pun tak menampik bahwa RTH di Bandarlampung semakin berkurang. “masih banyak program Pemerintah yang lebih urgen, sehingga pertumbuhan RTH agak lebih lambat,” tambahnya.
Namun, pihaknya akan terus berusaha untuk mencapai target dengan mendata penyerahan fasilitas umum dan fasilitas sosial dari perumahan di seluruh Bandarlampung ke Pemerintah Daerah untuk dikelola sebagai RTH nantinya. “Disini perlu adanya koordinasi dari seluruh steakholder yang ada di dalamnya,” harapnya.
Untuk merealisasikan keberadaan RTH yang mumpuni di perkotaan, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Pemangku kepentingan lainnya. Upaya tersebut antara lain mendorong pemukiman melalui bangunan vertikal supaya dapat meningkatkan kualitas RTH tanpa membutuhkan pembebasan lahan.
Menurut Hendrawan selaku Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bandarlampung, ibu kota Lampung semakin mengalami penurunan RTH. Dari penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2011 terhitung RTH di Bandarlampung hanya mencapai 11 persen dari luas daerah. “dapat kita lihat dari tahun ke tahun semakin banyak pembangunan, akan sulit untuk menambah presentase RTH,” ungkapnya.
“kalau Pemerintah mau banyak yang bisa jadi objek RTH. Contohnya sepadan pantai, sepadan sungai, taman kota, kuburan, dan bantaran rel kereta api,” tambahnya. Ia berharap Pemerintah dapat lebih memperhatikan Lingkungan, sebab RTH sebagai paru-paru kota.
Laporan : Rika Andriani