Teknokra.co : Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) Mahkamah Universitas Lampung (Unila) menyelenggrakan diskusi publik dengan tema “Kriminalisasi Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia dan Advokat” di Balai Rektorat Unila pada Senin (10/02). Diskusi ini membahas terkait sejumlah kasus kriminalisasi yang dialami oleh pejuang dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Lampung.
Sumaindra Jawardi selaku Direktur LBH mengungkapkan bahwa instrumen hukum di Indonesia sering kali disalahgunakan untuk melakukan krimnialisasi.
“Hukum bisa digunakan untuk memenjarakan kelompok-kelompok yang tidak mampu, lemah, serta yang termarjinalkan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kasus para petani di Lampung Selatan yang hingga saat ini belum mendapatkan keadilan, bahkan memperoleh tindakan kriminalisasi berupa tuduhan pengrusakan traktor dalam laporan pasal 177 KUHAP oleh Pemerintah Provinsi Lampung.
“Bahkan kawan kawan petani dari Kota Baru, Lampung Selatan dikriminalisasi dengan tuduhan pengrusakan dalam pasal 177 KUHAP, ” ujarnya.
Tak hanya itu, Anton Heri selaku advokat yang membela masyarakat Way Kanan dalam konfilk agraria juga mengalami tindakan kriminalisasi oleh salah satu perusahan di Way Kanan.
“Bung Anton Heri dikriminalisasi karena membela kelompok petani yang berusaha mempertahankan tanahnya yang direbut oleh Perusahaan dengan mengunakan Undang-Undang Perkebunan,” tambahnya.
Sumaindra menyimpulkan bahwa siapa pun yang mengkritik dan memperjuangakan HAM dapat dikriminalisasi dengan penyalahgunaan instrument hukum.
“Kawan-kawan mahasiswa UM Metro mengkritik fasilitas kampus, tetapi dikriminalisasi oleh Dekan dengan UU ITE, hari ini siapa pun yang mengkritik dan memperjuangakan HAM,” tegasnya.
Irfan Tri Musri selaku Direktur WAlHI juga ikut menambahkan. Menurutnya, hukum di Indonesia sering kali lebih berpihak kepada pemilik modal dibandingkan masyarakat kecil.
“Kita melihat banyak kasus kriminalisasi terhadap petani dan aktivis. Misalnya kasus Bung Anton yang dikenai hukuman percobaan selama enam bulan meskipun bukti yang digunakan dalam persidangan tidak kuat. Ini bukan kasus pertama, sebelumnya di Kota Baru ada petani yang dilaporkan, bahkan di Tulang Bawang pada 2016, sejumlah petani sempat ditangkap,” ungkapnya.
Ia menyoroti ketimpangan hukum yakni laporan petani terkait perampasan lahan bertahun-tahun diabaikan, sementara laporan korporasi langsung ditindak.
“Pada akhir Januari 2025, Kapolda Lampung baru turun ke lapangan untuk menyelidiki laporan petani yang sudah bertahun-tahun mengeluhkan pengambilalihan lahan mereka, sedangkan kasus yang melibatkan korporasi, di mana proses hukum bisa berjalan sangat cepat,” tambahnya.
Irfan menegaskan, di bawah kepemimpinan baru, kriminalisasi terhadap petani dan nelayan semakin marak. Negara dinilai gagal melindungi masyarakat kecil dari eksploitasi berkedok pembangunan.
“Pada tahun 2020, nelayan di Margasari, Lampung Timur, berulang kali menyampaikan keberatan mereka terhadap aktivitas pertambangan, baik secara formal maupun informal, kepada pemerintah daerah dan provinsi. Sayangnya, tidak ada respons hingga akhirnya terjadi aksi yang berbuntut kriminalisasi. Ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan hanya pada pelaku kriminalisasi, tetapi juga pada negara yang gagal memberikan perlindungan terhadap warganya,” jelasnya.
Ketua pelaksana, Rizky Ahma Novendra (Ilmu Hukum ’24) menyatakan bahwa acara ini lahir dari keresahan kolektif terhadap maraknya kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia dan advokat.
“Kriminalisasi terhadap pembela HAM dan advokat semakin marak. Diskusi ini bertujuan membangun kesadaran akan pentingnya perlindungan hukum yang adil bagi semua,” ujarnya.
Ia menambahkan, lokasi diskusi dipilih agar lebih inklusif dan bisa diakses berbagai kelompok.
“Kami ingin tempat yang dapat menjangkau semua pihak, agar lebih banyak elemen masyarakat yang bisa ikut bersuara,” jelasnya.
Ia berharap diskusi ini Menghasilkan langkah konkret.
“Kami ingin hukum ditegakkan dengan adil dan para penegak hukum menjalankan tugasnya dengan integritas,” pungkasnya.