teknokra.co: 24 September selalu diperingati sebagai hari tani di Indonesia. Hari tani memang tidak seperti hari besar lainnya yang diingat oleh banyak orang, karena memang hari tani ada bukan untuk dirayakan melainkan untuk direnungkan. Terlebih lagi hari tani tahun ini dimana situasi pandemi mengganggu berbagai sektor termasuk pertanian menjadikan renungan itu semakin dalam dan membingungkan.
Sejak akhir tahun 2019 dunia mulai
digemparkan oleh kemunculan virus baru yang berasal dari China. Saat itu pula berbagai negara mulai berada dalam status waspada dan melakukan segala upaya untuk mencegah virus ini menyebar di wilayahnya. S ebuah upaya yang ternyata belum berhasil karena toh virus ini mampu menyebar ke segala penjuru dunia.
Di Asia Tenggara sendiri sejak awal tahun virus ini sudah berhasil menyerang banyak negara, kecuali Indonesia. Saat di negara tetangga angka pertambahan kasus positif corona mulai melonjak, Indonesia secara ajaib tidak mencatatkan sama sekali adanya kasus positif corona di wilayahnya, hingga saat itu kita masih berseloroh bahwa corona bisa dicegah dengan makan nasi kucing.
Tetapi situasi dengan cepat berubah drastis ketika 3 orang warga Depok, Jawa Barat terkonfirmasi positif corona.
Kepanikan massal terjadi di mana-mana, orang-orang menyerbu toko-toko, pasar, dan swalayan guna memborong bahan pangan yang dikhawatirkan akan melonjak harganya. Situasi bertambah buruk ketika jumlah kasus semakin meningkat dan pemerintah mengumumkan akan memberlakukan PSBB yang akan membatasi pergerakan dan aktivitas penduduk.
Panic buying menjadi semakin merajalela. Di tengah situasi ini muncul kekhawatiran akan stok pangan yang semakin menipis karena proses produksi dan distribusi menjadi lebih sulit dan dibatasi, situasi ini menjadi semakin pelik karena tentu negara-negara yang biasanya dengan senang hati menjual kelebihan produksi pangannya ke Indonesia menjadi ogah untuk mengekspor bahan pangan dan lebih memilih menyimpan sendiri produksi pangannya karena mereka pun juga khawatir akan terjadi krisis pangan.
Karena kita tidak berhasil melakukan impor maka satu-satunya cara adalah menggenjot produksi dalam negeri, tapi hal ini juga sulit karena sawah yang sebelumnya ada kini telah menjadi perumahan yang tidak laku dan bandara yang sepi pengunjung.
Sebuah gagasan lama pun muncul kembali, mencetak sawah secara besar-besaran. Gagasan ini langsung menjadi sorotan banyak pihak, sebab berpotensi merusak kestabilan ekosistem karena luasan lahan yang akan dirubah menjadi sawah mencapai jutaan hektar. Selain itu, gagasan ini pun sebenarnya sudah pernah dicanangkan dan dieksekusi pada masa orde baru, yang ternyata program tersebut gagal total dan justru meninggalkan kerugian dan kerusakan lingkungan.
Tentu saja ketika program ini mulai diumumkan langsung menuai kecaman dari banyak pihak yang menganggap pemerintah tidak belajar dari kegagalan program serupa sebelumnya. Beberapa solusi ditawarkan oleh berbagai pihak, salah satunya solusi yang sebenarnya klasik yaitu diversifikasi pangan, hal ini sebenarnya masuk akal karena dahulu memang sumber pangan masyarakat lebih variatif dan tidak hanya beras.
Di berbagai wilayah dahulunya orang-orang umum menjadikan ubi-ubian dan tanaman lain seperti sagu sebagai sumber pangan utama mereka. Tetapi pada masa orde baru sumber-sumber pangan yang lebih variatif tersebut digantikan oleh beras yang kala itu produksinya terpusat di Pulau Jawa.
Perlahan kebiasaan mengonsumsi sumber pangan lainnya yang lebih variatif menjadi memudar dan hilang, hingga seperti sekarang ini banyak orang-orang yang merasa belum makan kalau belum makan nasi. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan besar untuk menjalankan solusi diversifikasi pangan, karena hal ini berarti masyarakat harus mengubah kebiasaannya yang paling mendasar.
Dan yang namanya mengubah kebiasaan apalagi yang sudah tertanam sejak kecil pasti membutuhkan waktu yang panjang. Sedangkan situasi sekarang ini membutuhkan solusi yang bisa berhasil dalam jangka pendek karena ancaman krisis pangan memang sudah di depan mata.
Jika kita hanya mengacu pada jangka waktu maka saya rasa gagasan pemerintah tampak menggoda (walaupun saya tetap berharap ada opsi lainnya yang lebih baik).
Yang menjadi kekhawatiran terbesar saya adalah program ini hanya akan memindahkan krisis pada sektor pangan menjadi krisis pada sektor lingkungan. Gagasan ini pun semakin saya ragu karena yang diminta untuk mengomandoi program ini adalah Prabowo Subianto yang merupakan Menteri Pertahanan, bukan otoritas semestinya yaitu Kementerian Pertanian. Saya hanya bisa menerka-nerka kenapa yang diminta justru bukan pejabat yang berada di bidangnya.
Sampai akhirnya saya mengingat iklan pencapresan Prabowo Subianto pada 2014 yang menjanjikan swasembada pangan (ditunjukkan dengan burung garuda besar terbang di atas sawah diikuti harimau meraung), mungkin Presiden menganggap bahwa Pak Prabowo masih menyimpan visi dan rencana besar untuk mewujudkan swasembada itu.
Apabila memang benar itu alasannya tentu sangat absurd saya rasa. Ini seperti kita akan menjalani operasi bedah jantung yang dilakukan oleh insinyur roket luar angkasa, secerdas apapun insinyur itu kita tetap akan ragu karena itu bukan bidang keahliannya.
Hingga saat tulisan ini saya buat belum ada keputusan final terkait program apa yang dijalankan sebagai solusi menghadapi krisis pangan sedangkan grafik penambahan kasus harian semakin naik dan terus mencapai rekor-rekor baru.
Nampaknya kita masih harus berhadapan dengan potensi krisis pangan hingga nanti pandemi ini dinyatakan selesai yang sayangnya tidak ada yang tahu kapan hal itu akan terjadi.
Akhirulkalam saya ingin berpesan kepada rekan-rekan pembaca untuk selalu menjaga kesehatan dan mengikuti protokol kesehatan yang ada.
Karena semakin banyak penambahan kasus-kasus baru akan menyebabkan situasi pandemi berlangsung semakin lama. Dan semakin lama situasi ini berlangsung maka potensi terjadinya krisis pangan akan semakin dekat dengan kita terlebih lagi saat ini belum ada solusi konkrit yang dijalankan.
Opini: Fajar Nasution Mahasiswa Pertanian Universitas Lampung